Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MAATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Victor Santoso Tandiasa, S.H., M.H. (Advokat), selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah frasa “gangguan lainnya” dalam rumusan Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan konstitusi karena bersifat multitafsir sehingga tidak memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa UUD 1945 dalam BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 22E ayat (1) telah menentukan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur, dan adil (jurdil) setiap lima tahun sekali. Ketentuan tersebut kemudian menjadi pedoman atau asas yang harus dipenuhi dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Oleh karenanya, kerangka hukum Pemilu harus benar-benar mampu menerjemahkan asas-asas penyelenggaraan Pemilu yang telah ditetapkan dalam konstitusi tersebut, tidak hanya terbatas pada asas luber dan jurdil, namun juga dalam hal ini adalah prinsip periodik dalam pelaksanaannya, yaitu diselenggarakan setiap lima tahun sekali atau secara reguler. Secara filosofis, prinsip periodik atau reguler tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak warga negara agar dapat menentukan kembali siapa pemimpin yang dianggap mampu menjalankan pemerintahan selanjutnya dengan baik melalui pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam konteks demikian, pemilu berfungsi sebagai sarana pengejawantahan prinsip kedaulatan rakyat untuk memilih siapa yang akan memegang jabatan-jabatan publik atau pemerintahan. Dengan pemilu pula, rakyat dapat mengevaluasi kinerja pemerintahan sebelumnya dan membentuk serta menjalankan pemerintahan berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[3.10.2] Bahwa berkenaan dengan diskursus penentuan siklus lima tahun sekali dalam rapat pembahasan perubahan UUD 1945 mengenai Pemilu, diwarnai oleh munculnya pandangan ihwal adanya potensi pelaksanaan Pemilu yang dipercepat atau diperlambat karena adanya suatu keadaan tertentu yang mengakibatkan pelaksanaan Pemilu bergeser dari siklus lima tahun sebagaimana dapat dilihat kembali dalam beberapa pemaparan pandangan sebagai berikut:
Pandangan Andi Najmi Fuady dari F-KB [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku V mengenai Bab Pemilihan Umum, halaman 580]:
“Pimpinan dan teman-teman Anggota PAH I yang saya hormati. Menarik sekali diskusi kita pagi hari ini karena ini langsung menyangkut pada pembicaraan tentang pesta demokrasi rakyat yang sudah kita alami berkalikali, kalau istilahnya Pak Soedijarto tadi ada risetnya. Kemudian muncul berbagai pendapat, baik mulai kegelisahan, kekhawatiran, dan antisipasi-antisipasi yang lain, mulai dari bagaimana kalau Pemilunya ternyata maju, bagaimana Pemilunya mundur, Pemilu sela. Kemudian penyelenggaranya KPU-nya seperti apa? Barangkali kekhawatiran-kekhawatiran itu semuanya bisa terakomodir pada Ayat (6), yang kebetulan rancangan Badan Pekerja maupun Tim Ahli itu tidak ada perbedaan. Namun demikian semangat pada perdebatan ini semuanya itu menjadi penting karena harus diketahui oleh generasi kita yang akan datang, pasal tentang Pemilu yang secara eksplisit. Kemudian bisa saja nanti ada sesuatu yang menjadi interpretative ini akan bisa dipahami dipelajari ketika seseorang itu membaca naskah perdebatan ini apa semangat dari pasal itu akan tercermin. Itu yang menjadi perdebatan pasal demi pasal menjadi sangat berarti dan harus dilakukan.”

Pandangan Afandi dari F-TNI/Polri [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku V mengenai Bab Pemilihan Umum, halaman 583]:
“Kemudian mengapa lima tahun sekali fixed term, sudah jelaskan Bapak-Bapak yang terdahulu sebagai zero rolling plan secara nasional itu harus ada. Kalau sampai terjadi atau perlu terpaksa terjadi Pemilu sela toh hal yang lain itu kan diatur di dalam undang-undang bisa, dan hal ini berkenaan dengan Presiden dan Wakil Presiden sudah diatur terdahulu lex specialis tadi.”

Pandangan Frans F.H. Matrutty dari F-PDIP [vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku V mengenai Bab Pemilihan Umum, halaman 589]:
“Yang kedua, mengenai masa tenggang waktu untuk tiap kali kita melakukan pemilihan umum. Saya kira sudah tepat itu lima tahun, mungkin perlu di voorziening diprediksi ke depan bahwa bisa terjadi pemilihan umum dipercepat, bisa terjadi juga pemilihan umum lambat. Dipercepat kita sudah alami. Diperlambat itu pernah terjadi tetapi tidak disengaja, tapi misalnya diperlambat apa, menjadi lambat itu karena force major seperti bencana alam yang menyangkut lebih dari 50% wilayah ini, itu total tak bisa dilaksanakan pemilihan tepat pada waktunya. Itu kita harus melihat yang ini suatu force major dan menurut hemat saya ini jangan dimasukan di dalam rumusan ini, tapi dimasukan di dalam undang-undang yang menyangkut Pemilu sebagai lex specialis-nya itu.”

Berdasarkan pandangan dalam rapat pembahasan perubahan UUD 1945 di atas, menurut Mahkamah, penyusun perubahan UUD 1945 pada pokoknya menghendaki bahwa prinsip periodik dalam pelaksanaan pemilu setiap lima tahun (regularity) harus ditetapkan dalam UUD 1945, sedangkan berkaitan dengan adanya situasi dan kondisi tertentu yang dapat memengaruhi pelaksanaan periodisasi lima tahunan (flexibility) tersebut diatur lebih lanjut dalam undang-undang tentang Pemilu.
[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan amanat konstitusi tersebut, selanjutnya pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentang Pemilu telah merumuskan norma tentang Pemilu susulan dan Pemilu lanjutan, sebagaimana yang sedang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Jika ditelusuri pengaturan mengenai kedua hal tersebut, telah ternyata perumusan norma pada Bab XIV tentang Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan dalam UU 7/2017 berasal dari rumusan norma pada undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 8/2012) sebagaimana diatur dalam Pasal 230 sampai dengan Pasal 232 UU 8/2012. Bahkan, jauh sebelumnya, ketentuan mengenai Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 12/2003), yaitu dalam Pasal 118 dan Pasal 119 UU 12/2003. Selain itu, pengaturan mengenai Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan juga pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 23/2003), yaitu dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 74 UU 23/2003. Namun berbeda halnya dengan pengaturan mengenai alasan atau syarat dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dalam UU 7/2017 dan UU 8/2012, perumusan norma mengenai syarat dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan dalam UU 12/2003 dan UU 23/2003 belum menggunakan frasa “gangguan lainnya” yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74 ayat (1) UU 23/2003:
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Lanjutan dan/atau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Susulan dilakukan apabila di sebagian atau seluruh wilayah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, atau bencana alam yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dilaksanakan.

Pasal 119 ayat (1) UU 12/2003
Pemilu Lanjutan dan atau Pemilu Susulan dilakukan apabila di sebagian atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, atau bencana alam yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.

Perumusan norma dengan menggunakan frasa “gangguan lainnya” baru pertama kali digunakan dalam rumusan norma Pasal 230 ayat (1) dan Pasal 231 ayat (1) UU 8/2012, di mana rumusannya ternyata sama persis atau tidak mengalami perubahan sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon.
[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah memahami maksud baik dari Pemohon yang menginginkan syarat untuk dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan bersifat rigid agar tidak mudah ditafsirkan secara sewenang-wenang. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa untuk memahami suatu norma undang-undang tidak dapat hanya dilihat secara parsial, tetapi harus secara komprehensif sebagaimana halnya norma Pasal 431 dan Pasal 432 UU 7/2017 yang merupakan bagian dari Bab XIV yang mengatur mengenai Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan. Pemilu lanjutan yang dimaksud adalah Pemilu untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan [vide Penjelasan Pasal 431 ayat (1) UU 7/2017], sedangkan yang dimaksud dengan Pemilu Susulan adalah pemilu untuk melaksanakan semua tahapan Pemilu yang tidak dapat dilaksanakan [vide Penjelasan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017]. Dalam kaitan ini, penyelenggaraan Pemilu sejatinya telah ditentukan sesuai dengan tahapannya. Bahkan, UU 7/2017 juga menentukan penyelenggara pemilu berkewajiban untuk melaksanakan tahapan tersebut sesuai dengan waktunya [vide, antara lain, Pasal 14 huruf a UU 7/2017]. Oleh karena itu, pada pokoknya Pasal 431 UU 7/2017 menentukan apabila terdapat peristiwa atau serangkaian peristiwa yang menyebabkan sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya sehingga mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan maka 26 dilakukan pemilu lanjutan yang dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilu yang terhenti tersebut. Sedangkan, dalam hal di sebagian atau seluruh NKRI terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan yang dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu. Oleh karenanya, sekalipun telah dinyatakan sebab-sebab pemilu yang terhenti atau pemilu yang tidak dapat dilaksanakan dalam norma pasal yang dimohonkan pengujiannya karena telah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya, namun UU a quo tidak memperinci jenis masing-masing peristiwa atau serangkaian peristiwa baik berupa kerusuhan, gangguan keamanan, maupun bencana alam. Berkenaan dengan hal ini, jika Mahkamah merujuk, misalnya pada UU 24/2007 telah ternyata untuk kategori bencana alam pun tidak ditentukan secara sangat rigid karena bencana alam yang dimaksudkan dalam UU 24/2007 adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor [vide Pasal 1 angka1 UU 24/2007]. Demikian pula halnya dengan kategori bencana nonalam tidak disebutkan secara rigid karena yang dimaksud dengan bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam, antara lain, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit [vide Pasal 1 angka 2 UU 24/2007]. Oleh karenanya, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas frasa “antara lain” dalam norma Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU 24/2007 a quo, adanya frasa “antara lain” dimaksud merupakan bentuk pengaturan yang ditujukan untuk mengantisipasi apabila dikemudian hari terdapat jenis-jenis peristiwa atau rangkaian peristiwa yang tidak secara tegas disebutkan dalam kategori/jenis bencana alam atau bencana nonalam. Dengan demikian, adanya frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 juga merupakan bentuk pengaturan yang dimaksudkan untuk mengantisipasi apabila di luar kategori kerusuhan, gangguan keamanan, maupun bencana alam terdapat peristiwa atau rangkaian peristiwa lain yang dapat mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu yang tidak terakomodasi dalam ketiga kategori/jenis tersebut, sehingga perlu diantisipasi supaya jangan sampai terjadi tahapan pemilu menjadi terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
[3.12.2] Bahwa untuk melaksanakan pemilu lanjutan atau pemilu susulan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan agar penyelenggaraan pemilu tetap berjalan kembali mengikuti tahapan yang telah ditentukan. Dalam kaitan ini terlebih dahulu dilakukan penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu oleh KPU sesuai dengan tingkatan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang menyebabkan tahapan pemilu terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan, yaitu oleh: (a) KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kelurahan/desa; (b) KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan; (c) KPU Provinsi atas usul KPU Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota; atau (d) KPU atas usul KPU Provinsi apabila pelaksanaan Pemilu lanjutan atau susulan meliputi satu atau beberapa provinsi [vide Pasal 433 UU 7/2017]. Dalam hal peristiwa atau rangkaian peristiwa tersebut tingkatannya ternyata lebih luas lagi sehingga Pemilu terhenti tahapannya dan tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh persen) jumlah provinsi dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, maka penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU [vide Pasal 433 ayat (3) UU 7/2017]. Dengan demikian, telah terang benderang pengaturan dalam norma Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 mengenai ihwal apa saja yang menyebabkan tahapan pemilu terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan tidak hanya karena adanya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam namun juga jika terjadi gangguan lainnya. Frasa “gangguan lainnya” dimaksud harus dipahami manakala tahapan pemilu menjadi terhenti atau tahapan pemilu menjadi tidak dapat dilaksanakan karena adanya peristiwa atau rangkaian peristiwa yang tidak terakomodasi dalam pengertian kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam, serta bukan “gangguan lainnya” yang dapat dipolitisasi atau direkayasa untuk kepentingan tertentu sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon.
[3.13] Menimbang bahwa penggunaan frasa “gangguan lainnya”, baik dalam Pasal 230 ayat (1) dan Pasal 231 ayat (1) UU 8/2012, maupun dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017, menurut Mahkamah, merupakan bentuk antisipasi pembentuk undang-undang yang juga bertujuan untuk memperluas ruang lingkup atau cakupan atas situasi dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan terjadinya, namun dapat memengaruhi pelaksanaan Pemilu sehingga perlu dilakukan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan. Antisipasi pengaturan demikian adalah dalam rangka melindungi penyelenggaraan Pemilu termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Oleh karena itu, permohonan Pemohon yang memohon agar frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 dimaknai hanya “bencana nonalam dan bencana sosial”, menurut Mahkamah, justru akan membatasi ruang lingkup peristiwa atau rangkaian peristiwa kedaruratan atau gangguan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan karena tidak dapat diprediksi bentuk serta kapan terjadinya. Hal demikian juga justru akan bertentangan dengan sifat ideal materi perundang-undangan yang seyogyanya dapat menjangkau perkembangan kebutuhan hukum di masa yang akan datang dalam perspektif perlindungan hak konstitusional pemilih. Dengan demikian, secara a contrario, adanya penambahan frasa “gangguan lainnya” telah menjadikan ruang lingkup keadaan darurat yang menjadi syarat untuk dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan tidak hanya terbatas pada adanya kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam, melainkan juga keadaan darurat lainnya yang belum ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sepanjang bukan gangguan yang merupakan bentuk politisasi atau rekayasa untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, dengan mempertahankan norma frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 tidak berarti menimbulkan ketidakpastian penyelenggaraan pemilu, tetapi justru mengakomodir keinginan atau tujuan permohonan Pemohon yang sebenarnya menginginkan agar pemilu tetap dapat dilaksanakan dengan meneruskan tahapan yang terhenti atau melaksanakan tahapan yang tidak dapat dilaksanakan melalui skema pemilu lanjutan atau pemilu susulan.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat norma frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017, telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menghilangkan jaminan perlindungan hak pilih yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.