M. Yasin Djamaludin, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Janses E. Sihaloho, S.H. dkk, kesemuanya adalah Advokat dan Asisten Advokat pada Sihaloho & CO. Law Firm untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 82 ayat (1) huruf d UU Hukum Acara Pidana
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
[3.9] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 yang pada pokoknya mengatur mengenai praperadilan, yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Februari 2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Oktober 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 9 November 2016, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 Oktober 2018. Oleh karena itu, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;
[3.10] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
Pasal 60 UU MK
(1) “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”;
(2) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda”.
Pasal 78 PMK 2/2021
(1) “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”;
(2) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, ternyata terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain, dalam perkara a quo pada pokoknya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar frasa “maka permintaan tersebut gugur” dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981, sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”permintaan praperadilan tetap dilanjutkan sampai adanya putusan dengan menangguhkan pemeriksaan pokok perkara”. Hal ini tidak dimohonkan dalam permohonan-permohonan sebelumnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti surat bertanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-9.
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama dalil permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa isu konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon adalah gugurnya permohonan praperadilan karena perkaranya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, sehingga proses pemeriksaan praperadilan tersebut tidak dilanjutkan karena menimbulkan ketidakpastian hukum.
[3.12.2] Bahwa untuk menjawab isu tersebut, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu untuk mengutip kembali pertimbangan Mahkamah dalam putusan Mahkamah sebelumnya mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981, yakni dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, yang mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
[3.12.1] … adalah logis bahwa proses praperadilan sudah semestinya berakhir atau gugur ketika pemeriksaan telah memasuki pokok perkara atau telah memasuki tahapan persidangan. Selain itu, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 a quo juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak terjadi dualisme hasil pemeriksaan, yaitu antara pemeriksaan yang sah yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dengan pemeriksaan yang diduga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon sehingga diajukan praperadilan.
Menimbang bahwa, dalam praktik, ternyata ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 tersebut seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran dan implementasi oleh para hakim praperadilan. Menurut Mahkamah perbedaan penafsiran demikian bukanlah semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma sebab perbedaan penafsiran itu lahir sebagai akibat dari ketidakjelasan pengertian yang terkandung dalam rumusan norma itu sendiri, dalam hal ini pengertian tentang “perkara mulai diperiksa” yang dapat menyebabkan gugurnya praperadilan. Tegasnya, penafsiran dan implementasi yang dimaksudkan adalah mengenai kapan batas waktu suatu perkara permohonan praperadilan dinyatakan gugur yang disebabkan adanya pemeriksaan terhadap pokok perkara di pengadilan negeri. Dalam praktik ternyata tidak ada keseragaman penafsiran di kalangan para hakim praperadilan mengenai hal tersebut. Ada hakim praperadilan yang berpendapat bahwa perkara permohonan praperadilan gugur setelah berkas pokok perkara dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan registrasi di Pengadilan Negeri dengan alasan tanggung jawab yuridis telah beralih dari Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri. Sebaliknya, ada pula hakim praperadilan yang berpendapat bahwa batas waktu perkara permohonan praperadilan gugur adalah ketika pemeriksaan perkara pokok sudah mulai disidangkan.
Bahwa hakikat dari perkara permohonan praperadilan adalah untuk menguji apakah ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 UU 8/1981 dan Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015 yang dalam pertimbangannya pada pokoknya menyatakan, “...penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya....Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum” [vide Putusan Mahkamah nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, halaman 105-106]. Selanjutnya amar putusan Mahkamah tersebut kemudian menyatakan bahwa Pasal 77 huruf a UU 8/1981 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, sehingga tidaklah adil apabila ada perkara permohonan praperadilan yang pemeriksaannya sudah dimulai atau sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena berkas perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan telah dilimpahkan dan telah dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri, padahal ketika perkara permohonan praperadilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya diperlukan waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dijatuhkan putusan terhadap perkara permohonan praperadilan tersebut [vide Pasal 82 ayat (1) huruf c UU 8/1981]. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 telah nyata-nyata multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Bahwa untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan implementasi sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur pada saat telah digelar sidang pertama terhadap perkara pokok atas nama terdakwa/pemohon praperadilan. Menurut Mahkamah, penegasan inilah yang sebenarnya sesuai dengan hakikat praperadilan dan sesuai pula dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981.”
Selanjutnya terhadap pertimbangan tersebut, Mahkamah telah menjatuhkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”. Oleh karena itu, dengan adanya putusan tersebut, Mahkamah telah menegaskan penafsiran batas waktu yang dimaksud oleh norma Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981, yaitu permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan terlepas dari apapun agenda dalam sidang pertama tersebut.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana di atas, menurut Mahkamah, terhadap praperadilan, Mahkamah telah memiliki pendirian sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015. Pendirian Mahkamah dimaksud diperkuat kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018, sebagaimana dinyatakan dalam Pertimbangan Hukum Paragraf [3.13]:
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon berkenaan pengujian konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP tidak beralasan menurut hukum dan oleh karena itu permohonan Pemohon selebihnya agar ketentuan norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP secara mutatis mutandis dinyatakan inkonstitusional karena merupakan akibat dikabulkannya permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP kehilangan relevansinya untuk dipertimbangkan. Dengan kata lain, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, Mahkamah tetap berpendirian sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015”.
Dengan demikian, substansi permohonan Pemohon pada prinsipnya bertentangan dengan pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018. Sekalipun Pemohon mendalilkan memiliki alasan yang berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya, namun apabila permohonan Pemohon dikabulkan, hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena fungsi lembaga praperadilan pada dasarnya untuk mengontrol pelaksanaan kewenangan upaya-upaya paksa (pro justitia) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum sebelum pokok perkara diperiksa oleh pengadilan. Oleh karena itu, pemeriksaan praperadilan dibatasi waktu 7 (tujuh) hari sebagai wujud dari peradilan cepat (speedy trial), dengan maksud untuk mendapatkan kepastian hukum atas pokok perkara.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil permohonan Pemohon yang menyatakan norma Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, bertentangan dengan kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430