Nandang Rakhmat Gumilar, S.H., Bayu Alhafizh Nurhuda, S.AP., Achmad Rizki Zulfikar, S.Pd., Muhammad Alfian, S.E., Sofyan Hadimawan, S.E., yang dalmam hal ini memberikan kuasa kepada Muhammad Iqbal Sumarlan Putra, S.H., M.H., dkk, advokat yang berdomisili pada Kantor Hukum “IQBAL SUMARLAN PUTRA LAW OFFICE” untuk selanjutnya baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri disebut sebagai para Pemohon.
Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa berkaitan dengan norma yang dipersoalkan para Pemohon pada pokoknya adalah mengenai inkonstitusionalitas norma yang mengatur batas usia minimal konsiliator perselisihan hubungan industrial dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 secara bersyarat sebagaimana yang termaktub dalam Petitum Permohonan para Pemohon. Terhadap permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa dalam mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004, para Pemohon mengaitkannya dengan adanya disparitas pengaturan syarat usia untuk menjadi konsiliator dengan mediator, sehingga menurut para Pemohon hal tersebut melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana dijamin oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Terhadap persoalan ini, menurut Mahkamah adanya pelanggaran terhadap persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan terjadi manakala warga negara tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak sama serta tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Dalam rangka melaksanakan ketentuan konstitusi yang menjamin tetap diberikannya kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan. Dalam kaitan ini ketentuan peraturan perundang-undangan, in casu UU 2/2004 telah menetapkan sejumlah syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar seseorang berhak dan dapat diberikan kepercayaan untuk menjabat dalam posisi atau jabatan tertentu. Sepanjang syarat-syarat tersebut diberlakukan sama terhadap seluruh warga negara dalam suatu posisi atau jabatan tertentu maka tidak terjadi pelanggaran terhadap prinsip konstitusi dimaksud. Dalam hal ini, adanya pengaturan yang berbeda mengenai syarat antara konsiliator dan mediator sebagaimana diungkapkan para Pemohon tidak serta merta dapat dikatakan sebagai perbedaan dalam persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Pemahaman yang serupa juga berlaku dalam memahami dan menerapkan apa yang dimaksud dengan perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Suatu aturan dapat dikatakan menerapkan perlakuan diskriminatif apabila terdapat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, maupun keyakinan politik. Dengan didasarkan pada pertimbangan tersebut pula, maka adanya pembedaan pengaturan syarat antara konsiliator dan mediator di mana untuk mediator tidak dinyatakan batasan usia minimalnya bukanlah aturan yang menimbulkan pelanggaran atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Terlebih lagi, keduanya memiliki tugas yang berbeda dari sumber daya yang berbeda sehingga tidak mungkin menyamakan sesuatu yang memang berbeda.
Dalam kaitan ini, pembentuk undang-undang berhak menentukan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara berhak menduduki suatu posisi atau jabatan tertentu sepanjang syarat-syarat tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Penentuan syarat batas usia minimal konsiliator sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam menentukan syarat apa saja yang menurut penalaran yang wajar perlu diterapkan agar seseorang dapat diangkat sebagai konsiliator. Hal yang sama berlaku pula terhadap penentuan syarat untuk memperoleh jabatan lain sebagaimana ditentukan dalam UU 2/2004 a quo, di antaranya syarat untuk menjadi mediator dan arbiter. Oleh karena itu, pembedaan syarat untuk menjadi konsiliator dengan mediator merupakan penerapan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), di mana UUD 1945 tidak mengatur dan membatasi mengenai syarat tersebut dan menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang sesuai dengan karakter dan kebutuhan dari jabatan dimaksud. Dengan demikian, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, pembedaan syarat antara konsiliator dan mediator bukanlah pembedaan yang diskriminatif dan bukan pula pembedaan yang bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, sehingga tidak ada alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk membatalkan atau memaknai norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 sebagaimana petitum para Pemohon.
Selain itu, perlu pula dipahami bahwa syarat untuk menjadi konsiliator sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU 2/2004 merupakan syarat yang keberlakuannya bersifat kumulatif. Rumusan syarat pada norma tersebut menggunakan kata-kata “harus memenuhi” yang berarti keseluruhan syarat pada norma tersebut, mulai dari huruf a sampai dengan huruf i haruslah dipenuhi tanpa pengecualian. Hal ini sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundangundangan yang diatur dalam Angka 269 LAMPIRAN II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011), yang pada pokoknya menyatakan bahwa kata “harus” dalam suatu norma digunakan untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memeroleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut. Dengan demikian, pengecualian sebagaimana dimohonkan para Pemohon dalam rumusan konstitusionalitas bersyarat pada Petitum angka (2) permohonan para Pemohon apabila dikabulkan justru akan bertentangan dengan keharusan dan sifat kumulatif syarat a quo serta akan menimbulkan ketidakjelasan rumusan norma dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, permohonan a quo haruslah dinyatakan tidak beralasan.
Berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai anggapan bahwa berlakunya Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 menimbulkan disparitas persyaratan antara konsiliator dengan mediator dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.11.2] Bahwa lebih lanjut para Pemohon juga mendalilkan mengenai berlakunya syarat usia minimal 45 (empat puluh lima) tahun berpotensi menghilangkan kesempatan untuk diangkat menjadi konsiliator dan mendapatkan hak honorarium bagi setiap calon konsiliator yang berusia di bawah 45 (empat puluh lima) tahun tetapi telah memenuhi persyaratan lainnya dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i UU 2/2004 dan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Permenaker Nomor 10 Tahun 2005. Menurut Mahkamah, hak untuk mendapatkan honorarium bukan merupakan hak absolut yang melekat pada warga negara, melainkan pada profesi warga negara. Hak honorarium yang dimaksud oleh para Pemohon tersebut merupakan hak yang melekat dengan jabatan konsiliator itu sendiri, di mana tanpa diangkat sebagai konsiliator, maka dengan sendirinya seorang warga negara tidak memiliki hak terhadap honorarium tersebut. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.11.1] di atas, oleh karena berlakunya syarat batas usia minimal konsiliator tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka dengan sendirinya tidak diangkatnya para Pemohon sebagai konsiliator bukan merupakan pelanggaran hak konstitusional warga negara termasuk hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.11.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan minimnya jumlah konsiliator hubungan industrial sehingga terdapat urgensi untuk segera melakukan rekrutmen konsiliator dengan mengecualikan syarat umur minimal, menurut Mahkamah persoalan tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Sedikitnya jumlah konsiliator tidak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan syarat usia atau syarat lain sebagaimana diatur dalam norma Pasal 19 UU 2/2004, terlebih persyaratan untuk menjadi konsiliator bersifat kumulatif. Dipenuhinya syarat tertentu tidak dapat menegasikan syarat yang lain karena merupakan satu kesatuan syarat yang harus dipenuhi sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.11.1]. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan konsiliator dalam penerapan UU 2/2004 tidak ada relevansinya dengan konstitusionalitas syarat batas usia minimal konsiliator, sehingga tidak tepat apabila fakta tersebut dijadikan alasan untuk membatalkan atau menyatakan norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 inkonstitusional.
Adapun mengenai persoalan faktual yang dialami oleh para Pemohon, di mana para Pemohon telah diundang dan ditugaskan untuk mengikuti semua tahapan rekrutmen calon konsiliator, walaupun faktanya usia para Pemohon belum memenuhi syarat yang ditentukan oleh norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004, sehingga para Pemohon tidak dapat diangkat dan tidak diberi legitimasi sebagai konsiliator merupakan persoalan implementasi atau penerapan norma, bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Dalam hal ini seharusnya pihak yang memberikan sosialisasi, mengundang dan menugaskan para Pemohon telah memberikan informasi yang tepat sebelum para Pemohon menjalani proses rekrutmen sebagai calon konsiliator mengenai seluruh persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU 2/2004. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 telah menjamin kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430