Eliadi Hulu, S.H., Saiful Salim, S.H., M.Andrean Saefudin, S.H., Meky Yadi Saputra. B, S.H., Gino Septian Manatap, Rizky Gunawan Taniloton, Salmen Jaindru Purba, Deshandra Yusuf Siswaan Atmadja, S.H., Subadria Nuka, S.H., Randika Fitrah Darmawan, S.H., M.H., Andi Takdir Palaguna, S.H., M.H., dan Hayirul R, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 6/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon I Mahkamah menemukan fakta dalam UU 6/2014 yang diakses oleh Mahkamah melalui laman peraturan.go.id pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, pada bagian Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 tidak terdapat Penjelasan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 sebagaimana didalilkan Pemohon I. Adapun Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 seutuhnya adalah:
“Yang dimaksud dengan “terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun. Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” [vide Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495]
Berkenaan dengan substansi Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 di atas, Pemohon I justru secara berulang kali menyebutkan Penjelasan Pasal 39 a quo dalam dua ayat, yaitu Penjelasan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 sebagaimana penyebutan tersebut terdapat mulai dari bagian perihal permohonan, posita hingga petitum. Bahkan, dalam petitum angka 4 dan angka 5, Pemohon I meminta kepada 5 Mahkamah untuk memaknai Penjelasan Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 [vide petitum angka 4] dan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 [vide petitum angka 5] bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara bersyarat. Terhadap petitum angka 4 dan angka 5 dimaksud dikaitkan pula dengan alat bukti yang diajukan Pemohon I berupa UU 6/2014 [vide bukti P-1], Mahkamah juga tidak menemukan ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 sebagaimana yang didalilkan Pemohon I. Sehingga, menurut Mahkamah, petitum angka 4 dan angka 5 dalam permohonan Pemohon I adalah tidak jelas atau kabur (obscuur). Seandainyapun petitum dimaksud adalah terkait dengan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 tanpa mencantumkan ayat, quod non, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Mahkamah telah memberikan tafsir terhadap Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 sebagaimana termaktub dalam amar angka 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 September 2021 yang menyatakan:
“Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”. Sehingga Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) yang semula berbunyi “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” menjadi selengkapnya berbunyi “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undangundang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”.
Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, petitum permohonan Pemohon I angka 4 dan angka 5 tidak jelas atau kabur (obscuur). Seandainyapun dalil Pemohon I tidak kabur, quod non, Mahkamah telah berpendirian terkait dengan konstitusionalitas Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 yang menurut Mahkamah hingga saat ini belum ada alasan kuat untuk mengubah pendirian Mahkamah dimaksud.
[3.11] Menimbang bahwa selanjutnya, Mahkamah akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan Pemohon I berkenaan dengan pengujian norma Pasal 39 UU 6/2014. Namun demikian, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil pokok permohonan Pemohon I berkenaan dengan pengujian norma Pasal 39 UU 6/2014, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon I berkaitan dengan ketentuan keberlakuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 pernah diajukan sebelumnya dan telah
diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 April 2022, dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon. Adapun terhadap Pasal 39 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 telah pula dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021.
Selanjutnya, setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, dalam Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 menggunakan dasar pengujian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dalam Perkara Nomor 42/PUUXIX/2021 menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adapun permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Kemudian berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan, dalam Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 menyatakan pembatasan masa jabatan beralasan karena tidak mencukupi bagi kepala desa dalam melaksanakan visi dan misinya sehingga seharusnya masa jabatan kepala desa ditentukan sendiri oleh desa sesuai dengan adat istiadat desa. Selanjutnya, alasan konstitusional dalam Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021 adalah mengenai cara penghitungan periodisasi masa jabatan kepala desa yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Sedangkan alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah perlunya pembatasan masa jabatan kepala desa menjadi 5 (lima) tahun dengan periodisasi masa jabatan 2 (dua) kali sama seperti masa jabatan presiden dan kepala daerah.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam permohonan Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021 dengan dasar pengujian permohonan a quo, yaitu dalam permohonan a quo, menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021. Selain itu, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 3/PUU-XX/2022 dan Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon I beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, secara formal permohonan a quo dapat diajukan kembali.
[3.12] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon I berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 sepanjang berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma pasal tersebut lebih lanjut.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon I berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 mengenai masa jabatan kepala desa yang harus dibatasi sesuai dengan konstitusi yaitu 5 (lima) tahun dengan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa sebagai negara hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pembatasan kekuasaan merupakan prinsip pokok yang harus dihadirkan dalam penyelenggaraan negara untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan serta dalam rangka melindungi hak asasi manusia. Secara hakiki UUD 1945 menganut prinsip pembatasan kekuasan termasuk di dalamnya pembatasan terhadap periodisasi masa jabatan alat-alat kelengkapan negara. Salah satu bentuk pembatasan kekuasaan ialah berlakunya ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal demikian dikarenakan Presiden adalah jabatan tunggal pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan.
Bahwa berkenaan dengan pembatasan masa jabatan publik pada umumnya, UUD 1945 hanya menentukan secara eksplisit pembatasan masa jabatan untuk beberapa jabatan publik saja. Dalam hal ini, jabatan kepala desa tidak diatur dalam UUD 1945 melainkan diatur dalam undang-undang. Salah satu alasan pembedaan pengaturan demikian tidak terlepas dari kekhasan pemerintahan desa dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Berkaitan dengan pembatasan masa jabatan kepala desa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 adalah selama 6 (enam) tahun dan dapat menjabat kembali paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. Dengan kata lain, seseorang dapat menjabat sebagai kepala desa paling lama 18 (delapan belas) tahun. Dalam batas penalaran yang wajar, pembatasan demikian tidak hanya sebatas dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepastian terjadinya alih generasi kepemimpinan di semua tingkatan pemerintahan termasuk di tingkat desa, tetapi juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan (power tends to corrupt) karena terlalu lama berkuasa [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021].
[3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya, masa jabatan kepala desa mengalami dinamika perubahan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UU 5/1979) sampai dengan UU 6/2014. Dinamika perkembangan masa jabatan kepala desa dimaksud telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021 Paragraf [3.11] yang menyatakan:
Bahwa pemerintahan desa merupakan bentuk administrasi pemerintahan paling bawah dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perkembangannya, sistem dan bentuk pemerintah desa, termasuk pengisian jabatan kepala desa mengalami perubahan pengaturan sejak Indonesia merdeka hingga pengaturan dalam UU 6/2014. Jika diikuti pengaturan tentang pemerintahan desa pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UU 5/1979), pembentuk undang-undang telah mengatur pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa. Dalam hal ini, Pasal 7 UU 5/1979 mengatur masa jabatan kepala desa adalah 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Artinya, seseorang hanya dapat menjadi kepala desa maksimal 2 (dua) periode dengan total masa jabatan seorang kepala desa maksimal adalah 16 (enam belas) tahun. Ketentuan dalam UU 5/1979 dapat dinilai sebagai bentuk perkembangan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia (UU 19/1965) yang sama sekali tidak mengatur perihal pembatasan periodesasi masa jabatan kepala desa. Perihal masa jabatan, Pasal 9 ayat (2) UU 19/1965 hanya mengatur masa jabatan kepala desa paling lama 8 (delapan) tahun, tanpa diikuti dengan ketentuan dapat dipilih kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 5/1979;
Bahwa sejak reformasi, pengaturan pemerintahan desa digabung dengan pemerintahan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999). Berkenaan dengan masa jabatan kepala desa, ketentuan Pasal 96 UU 22/1999 menyatakan, “masa jabatan kepala desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan”. Kemudian, Penjelasan Pasal 96 UU 22/1999 menyatakan, “Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat”. Sekalipun Penjelasan tersebut seolah-olah “membuka” katub prinsip pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan, namun dengan digantinya UU 22/1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) maka dapat dipastikan tidak ada kepala desa yang memegang jabatannya melebihi 10 (sepuluh) tahun. Terlebih lagi, dalam masa transisi dari UU 22/1999 ke UU 32/2004, ditentukan bahwa kepala desa yang sedang menjabat pada saat mulai berlakunya UU 32/2004 tetap menjalankan tugas sampai habis masa jabatannya [vide Pasal 236 ayat (2) UU 32/2004]. Selanjutnya, UU 32/2004 mengatur masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa sebagaimana termaktub dalam Pasal 204 UU 32/2004 yang menyatakan, “Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”. Norma a quo telah menentukan pembatasan masa jabatan kepala desa selama 6 (enam) tahun dan maksimal dua kali periode masa jabatan, sehingga seseorang tidak akan melebihi waktu 12 (dua belas) tahun menjadi kepala desa. Meskipun demikian, pembatasan yang ditentukan Pasal 204 a quo dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan peraturan daerah [vide Penjelasan Pasal 204 UU 32/2004]. Artinya, pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa dapat tidak sama dengan pembatasan yang telah ditentukan dalam Pasal 204 UU 32/2004 sepanjang memenuhi klausul “kesatuan masyarakat hukum adat masih hidup yang ditentukan dalam perda”.
Bahwa sebagai unit pemerintahan terbawah, dengan adanya pergantian UU 32/2004, pengaturan Pemerintahan Desa tidak lagi digabung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), tetapi diatur terpisah dalam UU 6/2014. Berkenaan dengan masa jabatan kepala desa, Pasal 39 UU 6/2014 menyatakan kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Dalam hal ini, bila seseorang telah dilantik sebagai kepala desa kemudian mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya, maka dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun [vide Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014]. Sedangkan berkaitan dengan frasa “secara berturut-turut” dan frasa “atau tidak secara berturut-turut” dijelaskan bahwa, “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” [vide Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014].”
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, dinamika perubahan pada pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa sangatlah tergantung pada faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis yang memengaruhi pada saat ketentuan tersebut dibuat. Dengan kata lain, apabila suatu saat pembentuk undang-undang berpendirian bahwa dengan memerhatikan perkembangan masyarakat terdapat kebutuhan untuk membatasi masa jabatan kepala desa, termasuk dengan menentukan periodisasi masa jabatan yang mungkin saja berbeda dengan ketentuan sebelumnya, hal itu tidaklah serta-merta dapat diartikan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pertimbangan untuk melakukan pembatasan demikian tidak memuat hal-hal yang dilarang oleh UUD 1945. Termasuk juga apabila terdapat pembedaan mengenai jangka waktu kepala desa menjabat dengan masa jabatan publik lainnya, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk mempersamakan antara masa jabatan kepala desa dengan masa jabatan publik lainnya, termasuk dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden serta masa jabatan kepala daerah.
Dengan demikian, dalil Pemohon I berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 mengenai masa jabatan kepala desa yang harus dibatasi sesuai dengan konstitusi yaitu 5 (lima) tahun dengan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan telah memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, dalil permohonan Pemohon I adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430