Moch. Ojat Sudrajat S. (Wiraswasta), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materil UU Pers dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999, Pemohon mengemukakan dalil-dalil sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut Pemohon, dalam menjalankan fungsinya sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999, seharusnya Dewan Pers hanya menerima permasalahan pemberitaan pers/kasus pers yang diadukan oleh masyarakat yang dirugikan dengan pemberitaan pers dengan syarat dilakukan oleh wartawan dan perusahaan pers yang memenuhi syarat ketentuan UU 40/1999 dan Peraturan Dewan Pers, yaitu perusahaan pers yang terdata di Dewan Pers, untuk meminta Hak Jawab atau Hak Koreksi sebagai bentuk reward atau keistimewaan bagi media yang perusahaannya terdata di Dewan Pers;
2. Bahwa menurut Pemohon, adanya frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999, seakanakan mewajibkan kepada masyarakat jika terjadi sengketa pemberitaan atau kasus pers walaupun termasuk delik pers harus diselesaikan di Dewan Pers sebagaimana yang dialami Pemohon walaupun yang melakukan adalah media yang perusahaan persnya tidak terdata di Dewan Pers. Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Dewan Pers Nomor 01/PeraturanDP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers;
3. Bahwa menurut Pemohon, apabila frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 dimaknai “semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers” dan penyelesaiannya harus melalui Dewan Pers dengan menggunakan Hak Jawab atau Hak Koreksi, maka tidak heran jika saat ini marak pemberitaan pers yang berisi berita-berita yang mengandung pemberitaan jahat yang dapat dikategorikan sebagai delik pers. Delik-delik tersebut yaitu: delik penghinaan/pencemaran nama baik, fitnah, delik penyebaran kebencian, dan delik kesusilaan/pornografi dan juga marak nuansa berita sepihak yang cenderung memojokkan pihak-pihak yang diberitakan bahkan di dalam pemberitaannya mengandung unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana;
4. Bahwa menurut Pemohon, apabila ada media yang perusahaan persnya dan/atau wartawannya tidak terdata di Dewan Pers dapat dikategorikan pemberitaannya sama dengan media sosial, akan tetapi ketika terjadi sengketa pemberitaan/kasus pers, tetap ditangani oleh Dewan Pers, karena berlindung pada Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 dan penyelesaiannya “harus diselesaikan” dengan Hak Jawab atau Hak Koreksi, tanpa dapat menggunakan hak untuk melakukan gugatan perdata ataupun pidana. Hal ini telah menimbulkan diskriminasi hukum karena berbeda jika dilakukan oleh orang yang bukan berprofesi wartawan atau bukan perusahaan yang bergerak di bidang pers dan mengunggah tulisan yang dapat dikategorikan pemberitaan dan dilakukan di media sosial/media online, maka atas pemberitaan yang ditulisnya apabila hoax, atau mencemarkan nama baik dapat dilakukan pelaporan ke pihak kepolisian dengan menggunakan UU ITE dan lainnya;
5. Bahwa menurut Pemohon, frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 harus ditinjau keberlakuannya dan harus dibatasi apabila terkait dengan kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers yang dilakukan oleh wartawan dan/atau perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers; dan “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” yang mengandung unsur-unsur delik pers;
6. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk “menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 terhadap frasa, “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers”;
[3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat atau tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-6.
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas, makaMahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi maupun kebutuhan untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK.
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon pada pokoknya berkaitan dengan inkonstitusionalitas frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang dimaknai “semua pemberitaan pers, termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers”;
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menjawab dalil-dalil permohonan yang diajukan oleh Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa pembentukan UU 40/1999 merupakan bagian dari pelaksanaan reformasi yang menghendaki adanya jaminan kemerdekaan pers. Dengan adanya jaminan tersebut diharapkan pers memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi yang juga penting guna mewujudkan hak asasi manusia yang pada saat reformasi tersebut dijamin melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (Tap MPR). Dalam Tap MPR dimaksud antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan norma Pasal 19 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah” [vide Penjelasan Umum UU 40/1999]. Ketentuan dalam Tap MPR tersebut juga termuat dalam UUD 1945, yakni Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, dan hasil perubahan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Secara substansial UU 40/1999 menghendaki kelembagaan, struktur, keanggotaan, dan kegiatan Dewan Pers disesuaikan dengan semangat reformasi. Dalam kaitan ini, ditegaskan peran dan fungsi Dewan Pers adalah memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers agar masingmasing organisasi pers tidak membentuk peraturan secara sendiri-sendiri sehingga berpotensi bertentangan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Agustus 2022]. Oleh karena itu, adanya fungsi pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 sekalipun akan diatur dalam Peraturan Dewan Pers maka pengaturan tersebut diharapkan tetap dapat menjamin kemerdekaan pers.
Adanya jaminan tersebut yang juga menjadi dasar dibentuknya Dewan Pers sebagaimana ditegaskan dalam UU 40/1999 yaitu untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional [vide Pasal 15 ayat (1) UU 40/1999]. Tujuan tersebut dapat dicapai antara lain dengan adanya peraturan di bidang pers yang menjadi acuan dalam pelaksanaan fungsi Dewan Pers. Untuk menjamin independensi dan kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat maka dalam penerapannya berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Oleh karenanya dalam penyusunan peraturan di bidang pers pun mengacu pada prinsip-prinsip dimaksud. Dalam kaitan dengan Pasal 15 UU 40/1999 pada pokoknya mengatur seluruh fungsi Dewan Pers agar dapat melaksanakan tujuannya. Salah satunya adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers [vide Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999].
Bahwa untuk menyeimbangkan antara kemerdekaan pers agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam UU 40/1999, UU a quo juga memberikan jaminan adanya peran serta masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan berupa: a) melakukan pemantauan dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; dan b) menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. Bahkan, untuk mewujudkan peran serta masyarakat tersebut dapat dibentuk lembaga pemantau media atau media watch [vide Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan UU 40/1999]. Oleh karena itu, terkait dengan kasus pers sebagai bagian dari karya jurnalistik dan/atau kegiatan jurnalistik oleh wartawan dan perusahaan pers disampaikan melalui hak jawab atau hak koreksi. Hak jawab dimaksud adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain [vide Pasal 1 angka 11 dan angka 12 UU 40/1999].
[3.11.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan kemerdekaan pers sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUUXIX/2021 telah pula mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.15] ... Landasan konstitusional pers di Indonesia adalah berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 haruslah dijamin.
…
Meskipun UU 40/1999 telah menjamin kemerdekaan pers serta penerapan self regulation, namun kini justru muncul kecenderungan pers yang terlalu bebas. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengingatkan kembali bahwa pers tidak cukup hanya berpegang pada prinsip kemerdekaan, kebebasan, dan independensi semata, namun juga mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi secara bertanggung jawab. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999]. Selain itu, dalam menjalankan profesinya, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik [vide Pasal 7 ayat (2) UU 40/1999]. Semangat reformasi pers di Indonesia menghendaki pers mampu bersuara untuk kepentingan rakyat dalam negara hukum yang demokratis sesuai dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila, bukan pers yang bebas sebebas-bebasnya sebagaimana pers di negara-negara yang menganut paham individualistik-liberalistik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memeroleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Pers nasional juga diharapkan berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial [vide konsiderans Menimbang UU 40/1999].
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan konstitusionalitas frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 apabila dimaknai “semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers”. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa untuk memahami secara komprehensif ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang dimohonkan pengujiannya tidak dapat dipisahkan dari norma-norma lainnya. Dalam kaitan ini, norma a quo berkelindan dengan fungsi Dewan Pers lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e UU 40/1999 yang pada pokoknya menyatakan fungsi Dewan Pers adalah mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Secara substansial, ketentuan pasal a quo telah mengakomodir hal yang sesungguhnya dimohonkan oleh Pemohon, yang mempersoalkan konstitusionalitas fungsi Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Fungsi ini juga merupakan bagian dari upaya Dewan Pers mewujudkan ketentuan peran serta masyarakat yang juga dijamin dalam Pasal 17 UU 40/1999 di mana salah satu kegiatan masyarakat dimaksud dapat berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Bahkan, dalam rangka pemantauan tersebut masyarakat dapat membentuk lembaga organisasi pemantau media (media watch) [vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Penjelasan UU 40/1999]. Dalam konteks ini, hak masyarakat memantau pemberitaan pers tersebut merupakan bagian dari fungsi kontrol yang dilakukan melalui kegiatan yang dapat menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Karena, UU 40/1999 telah memberikan jaminan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran [vide Pasal 4 ayat (2) UU 40/1999]. Oleh karenanya dalam melaksanakan fungsi kontrol publik tersebut, masyarakat dapat mengusulkan dan memberikan saran kepada Dewan Pers agar dapat menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional [vide Pasal 17 ayat (2) huruf b UU 40/1999]. Pemantauan atau kontrol publik penting untuk dilakukan sebagai wujud membangun keseimbangan dengan kewajiban pers nasional yang memberitakan peristiwa dan opini kepada publik dengan tetap menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999]. Dalam negara yang berlandaskan nilai-nilai ideologi Pancasila adanya penghormatan terhadap hal-hal tersebut merupakan rambu-rambu penting dalam pemberitaan sehingga tetap terjamin keberadaban kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, berkaitan dengan norma Pasal 5 ayat (1) UU a quo dijelaskan lebih lanjut bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut [vide Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999];
[3.12.2] Bahwa dalam kaitan dengan pertimbangan hukum di atas menjadi penting untuk menegaskan mengenai arti fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dalam konteks ini, terkait dengan pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan maka untuk mempertanggungjawabkan pemberitaannya tersebut di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak yakni hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya [vide Pasal 1 angka 10 dan Pasal 4 ayat (4) UU 40/1999]. Oleh karena itu, berkaitan dengan fungsi Dewan Pers dalam memberikan pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat tersebut pun dilakukan dengan hak jawab, hak koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik. Hak jawab dan hak koreksi dimaksud sesungguhnya merupakan bagian dari kontrol publik yang dijamin oleh UU 40/1999 [vide Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU 40/1999]. Oleh karenanya, menjadi bagian kewajiban pers untuk melayaninya yakni melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan [vide Pasal 1 angka 13 UU 40/1999];
Bahwa dalam kaitan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 yang dianggap Pemohon sebagai dasar berlindungnya Dewan Pers menyelesaikan sengketa pemberitaan/kasus pers dengan hak jawab atau hak koreksi tanpa dapat menggunakan hak untuk melakukan gugatan perdata ataupun pidana walaupun yang melakukan adalah media yang perusahaan persnya tidak terdata di Dewan Pers sehingga tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers. Hal tersebut juga menurut Pemohon menimbulkan diskriminasi hukum karena berbeda jika dilakukan oleh orang yang bukan berprofesi wartawan atau bukan perusahaan yang bergerak di bidang pers yang mengunggah tulisan/pemberitaan di media sosial/media online, maka atas pemberitaan tersebut, apabila hoax atau mencemarkan nama baik, dapat dilakukan pelaporan ke pihak kepolisian dengan menggunakan UU ITE. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon dan menilai legalitas Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/VII/2017, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma sehingga Mahkamah tidak berwenang menilainya. Terlebih lagi, Pemohon dalam menguraikan argumentasi konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 telah keliru, karena hanya memahami norma dimaksud secara parsial atau tidak membacanya secara utuh/komprehensif dalam kaitan dengan norma-norma lainnya. Apabila yang dipersoalkan oleh Pemohon semua pemberitaan pers termasuk yang mengandung delik pers sudah diatur tersendiri dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, yaitu pada Pasal 18 UU 40/1999. Lebih lanjut, apabila yang dipersoalkan termasuk perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers, rumusan norma tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan norma Pasal 1 angka 2 UU 40/1999, yang menyatakan, “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” Dengan demikian, yang dimaksud dengan perusahaan pers sudah secara jelas diuraikan dalam Ketentuan Umum UU 40/1999. Lebih lanjut, menjadi fungsi Dewan Pers untuk mendata perusahaan pers dimaksud [vide Pasal 15 ayat (2) huruf g UU 40/1999];
Bahwa apabila norma dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 dimaknai sebagaimana petitum Pemohon maka yang akan terjadi justru kebebasan berkomunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah harus terdata di Dewan Pers, dan hal tersebut akan mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Terlebih jika dicermati petitum permohonan, Pemohon justru menghendaki ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa, “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” dimaknai “semua pemberitaan pers, termasuk yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers”. Dengan demikian, hal itu menunjukkan justru Pemohon menegaskan bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas norma di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 40/1999 telah ternyata tidak terdapat pertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan serta tidak menimbulkan diskriminasi hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430