Trijono Hardjono, Muhammad Afif Syairozi, Salyo Kinasih Bumi, Abdul Ghofur, S.H., Hendrikus Rara Lunggi, Frederikus Patu, dan Muhammad Fajar Ar Rozi untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.
Pasal 7 ayat (1) huruf b, Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011
Pasal 12, Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 22A, Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 30 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materiil UU PPP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dalam menguraikan sebagai relawan jaringan Program Demokrasi Musyawarah Indonesia, menguraikan telah membentuk sejumlah lembaga alat perjuangan sesuai dengan kebutuhan wilayah dan bidang garapan. Meskipun telah memberikan beberapa bukti [vide bukti P-1A, bukti P-1B, dan bukti P-1C], bukti tersebut tidak cukup menyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon telah aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian, yaitu berkenaan dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011.
Selain itu, para Pemohon tidak menguraikan secara jelas ihwal anggapan hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan akibat berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011. Dalam hal ini, para Pemohon hanya menerangkan sebagai warga negara Indonesia merupakan relawan jaringan Program Demokrasi Musyawarah Indonesia telah merasakan “kemandegan” negara di seluruh sektor ekonomi dan perdagangan karena tidak adanya pengendalian dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pada berbagai bidang pembangunan. Sebagaimana diterangkan para Pemohon, hal demikian terjadi akibat norma Konstitusi yang tidak sesuai dengan Pancasila secara sistemik, struktural, dan konsepsional konstitusional. Seluruh uraian kerugian hak konstitusional yang diuraikan tersebut sesungguhnya bukanlah merupakan uraian ihwal anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian UndangUndang (PMK 2/2021), melainkan hanya uraian mengenai frasa-frasa berupa kepentingan, kehendak, dan harapan. Para Pemohon juga tidak dapat menjelaskan keterkaitan Penjelasan pasal-pasal a quo secara aktual atau setidak-tidaknya potensial dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan atau dalam batas penalaran yang wajar setidak-tidaknya potensial dirugikan oleh berlakunya Penjelasan Pasal-Pasal a quo.
Bahwa terkait dengan hal di atas, dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 24 Januari 2023, Majelis Hakim Panel telah memberi nasihat kepada para Pemohon agar memperbaiki uraian kedudukan hukumnya sehingga Mahkamah dapat meyakini bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan [vide Risalah Sidang tanggal 24 Januari 2023]. Namun dalam perbaikan permohonan, para Pemohon masih belum mampu menguraikan kerugian hak konstitusional yang bersifat aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi. Artinya, para Pemohon tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialaminya dengan berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011;
Bahwa selain itu, jika dibaca permohonan para Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, Pokok Permohonan, Kesimpulan, dan Petitum. Terhadap Perbaikan Permohonan a quo dimaksud pada dasarnya Mahkamah dapat memahami telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama pada bagian alasan-alasan permohonan (posita), para Pemohon sama sekali tidak menguraikan argumentasi mengenai pertentangan antara Penjelasan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Dalam hal ini, para Pemohon lebih fokus menguraikan masalah kekosongan hukum berkenaan dengan kewenangan pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). Terlebih lagi, para Pemohon tidak menguraikan argumentasi konstitusional yang cukup mengenai pertentangan norma yang diajukan dengan norma dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
Selanjutnya permintaan para Pemohon sebagaimana termaktub dalam petitum adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum pengujian undang-undang. Dalam hal ini, sekalipun telah dinasihati Majelis Panel, masih ditemukan petitum “kosong”, yaitu Petitum Angka 2 dan Angka 3, serta Petitum Angka 5, “Menyatakan bahwa Tap MPRS/MPR materi muatan Pasal 6 Ketetapan MPR.RI Nomor I/MPR Tahun 2003 yang bersifat regelling, meski dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, masih berlaku sepanjang nyata-nyata belum dicabut oleh Ketetapan MPR.RI yang lain”. Begitu pula dengan Petitum Angka 6, “Menyatakan selebihnya atas implikasi yuridis pernyataan materi muatan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, menjadi ranah Legislative Review”. Kesemua petitum itu adalah tidak lazim. Secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011. Selain itu, tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Penjelasan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan para Pemohon adalah tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi persyaratan formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021;
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430