Fernando M. Manullang, Dina Listiorini, Eriko Fakri Ginting, dan Sultan Fadillah Effendi dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dkk, kesemuanya adalah advokat/pengacara dan penasihat hukum di kantor hukum Leo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.
Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum para Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden serta tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan norma tersebut, para Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-3, bukti P-4, bukti P-5, dan bukti P-7]. Para Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya Pasal-Pasal a quo, sehingga para Pemohon menyatakan tidak diperlukannya pasal yang mengatur secara tersendiri terkait penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, maupun Lembaga Negara;
[3.6.2] Bahwa norma Pasal-Pasal a quo terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup, Undang-Undang a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, Undang-Undang a quo akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun Permohonan para Pemohon diajukan pada tanggal 9 Januari 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 12 Januari 2023, sehingga pada saat Permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Undang-Undang a quo yang diajukan pengujiannya belum berlaku;
[3.6.3] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini, para Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah, terkait dengan hal a quo secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh para Pemohon, telah ternyata hak konstitusional para Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh para Pemohon terdapat dalam Undang-Undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011) yang menyatakan, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”. Berkaitan dengan itu, berdasarkan Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada para Pemohon;
[3.6.4] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual adalah anggapan kerugian konstitusional konkret/riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkret/riil dialami, namun suatu saat berpotensi dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah adanya norma undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum bahwa UU 1/2023 baru mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan [vide Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup UU 1/2023], pemberlakuan demikian berakibat hukum UU a quo belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Dengan demikian, para Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif;
[3.6.5] Bahwa di samping fakta hukum tersebut di atas, para Pemohon juga tidak memberikan bukti yang cukup dalam menjelaskan kedudukan hukumnya yang menurut para Pemohon hak konstitusionalnya dianggap dirugikan, baik bersifat aktual maupun potensial yang terjadi atau akan terjadi kepada para Pemohon dalam menjalankan aktivitas yang terkait dengan pekerjaannya dan dianggap dapat terancam dengan berlakunya pasal yang diajukan pengujiannya. Bahkan, jika anggapan kerugian konstitusional para Pemohon tersebut dikaitkan dengan KUHP yang saat ini masih berlaku, para Pemohon pun tidak memberikan bukti yang cukup tentang aktivitas para Pemohon yang dapat diancam dengan KUHP khususnya pasal yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, karena sesungguhnya KUHP yang berlaku saat ini pun dan tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal-pasal KUHP yang masih berlaku, masih mengatur bentuk perlindungan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, maupun Lembaga Negara dari penghinaan dan pencemaran nama baik, sebagaimana perlindungan terhadap hak-hak warga negara;
[3.6.6] Bahwa berkenaan dengan uraian kedudukan hukum para Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023 yang diucapkan sebelumnya dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023, di antaranya telah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.6.5] Bahwa terkait dengan pendirian Mahkamah dalam mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di mana dalam putusan tersebut Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sekalipun pada saat permohonan perkara yang bersangkutan dilakukan pengujian terhadap pasal-pasal undang-undang yang belum dinyatakan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah menegaskan bahwa UU SPPA mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan UU 1/2023, di mana UU SPPA adalah undang-undang yang memuat norma yang kemudian dilakukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara yang bersangkutan, berkaitan dengan ancaman pidana bagi para penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum, yang tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya yang berkaitan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu, sekalipun UU SPPA belum diberlakukan pada saat permohonan perkara yang bersangkutan diajukan, Mahkamah menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskannya terhadap perkara dimaksud, agar tidak ada rasa kekhawatiran atau bahkan ketakutan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan tersangka/terdakwanya adalah anak. Kekhawatiran demikian dapat terjadi disebabkan proses perkara pidana bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin saja akan melewati proses pra dan pasca saat dinyatakannya mulai berlaku UU SPPA. Oleh karena itu, sangat mungkin berdampak dikenakannya norma pasal-pasal yang bersangkutan untuk memidanakan para penegak hukum. Dengan demikian, fakta-fakta hukum tersebut dapat memberikan peluang adanya ketidakpastian hukum dalam implementasi norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam UU SPPA, apabila norma tersebut dinyatakan konstitusional. Fakta hukum tersebut berbeda dengan karakter UU 1/2023, di mana secara faktual belum diberlakukannya norma-norma yang ada tidak mengakibatkan adanya kekosongan hukum, karena terdapat KUHP yang masih berlaku, sehingga potensi adanya ketidakpastian hukum tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apabila norma-norma dalam UU 1/2023 telah dinyatakan berlaku, sama halnya dengan Mahkamah membenarkan berlakunya dua KUHP (yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku) dalam waktu yang bersamaan. Jika hal demikian dibenarkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana.
[3.6.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, adanya pendirian demikian, juga didasarkan pada argumen, bahwa Mahkamah mempunyai alasan lain yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja mengalami penyempurnaan, sepanjang hal tersebut dikaitkan dengan hubungan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif, yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum pemohon di Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya, Mahkamah dapat memberikan pertimbangan yang berbeda.
Dengan demikian, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023 di atas mutatis mutandis berlaku pada putusan ini. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena terkait ketentuan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga terhadap hal demikian Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan yang prematur.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.
[3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430