Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Drs. Edi Damansyah, M.Si (Bupati Kutai Kartanegara), yang memberikan kuasa kepada Muhammad Nursal, S.H., Advokat & Konsultan Hukum di Kantor Hukum Nursam & Partner, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016

Pasal 28D ayat (1) dan (3), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13] Menimbang bahwa berkaitan dengan masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon pada pokoknya adalah mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 secara bersyarat sebagaimana yang termaktub dalam Petitum Permohonan Pemohon. Terhadap permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.13.1] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 secara bersyarat yang pada pokoknya menjelaskan Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara memiliki hak konstitusional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 untuk mencalonkan kembali sebagai Bupati sebagaimana yang telah ditentukan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yaitu:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
n belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;”
Menurut Pemohon, kata “menjabat” dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 belum memenuhi perlindungan hak atas kepastian hukum Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena tidak jelas kepada pejabat siapa ditujukan pembatasan periodisasi masa menjabat Bupati dimaksud, 48 apakah hanya ditujukan bagi Bupati yang menjabat secara definitif ataukah sekaligus dengan yang pernah menjabat sebagai pejabat sementara;

[3.13.2] Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa berkaitan dengan persoalan masa jabatan satu periode untuk kepala daerah, Mahkamah dalam putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 17 November 2009, telah berpendirian dalam pertimbangan hukumnya yang pada pokoknya sebagai berikut:
’’[3.18] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan ialah bagaimana jika masa jabatan periode pertama tidak penuh karena Pemohon menggantikan Pejabat Bupati/Walikota yang berhenti tetap, misalnya Pemohon II menjabat Bupati Karimun periode pertama selama kurang dari satu tahun (kurang dari separuh masa jabatan), sedangkan Pihak Terkait I menjabat Walikota Surabaya selama dua tahun sembilan bulan atau lebih dari separuh masa jabatan. Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak; Mahkamah menilai tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan. Oleh sebab itu berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”;

[3.13.3] Menimbang bahwa selain itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, Mahkamah juga telah berpendirian dalam pertimbangan hukum Putusan tersebut antara lain:
“Dengan memahami secara saksama pertimbangan hukum di atas, substansi yang berkaitan dengan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dipertimbangkan sedemikian rupa untuk memberikan kepastian hukum. Artinya, norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yang menyatakan, “Belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, harus dimaknai sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 dimaksud.
[3.17.3] Bahwa berdasarkan pemaknaan tersebut, khususnya pertimbangan yang menyatakan, “Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga persoalan permohonan para Pemohon yang memohon agar frasa sebagaimana dimaksudkan dalam Petitum para Pemohon yang menyatakan, “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau menjadi Pejabat Gubernur, Bupati, Walikota” telah dijawab secara tegas dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat tidak terdapat masalah konstitusionalitas dalam norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo”.

Berdasarkan pertimbangan putusan-putusan di atas, khususnya pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan” yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020 yang menyatakan, “…setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga Permohonan Pemohon yang menghendaki agar kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat secara definitif”, dengan sendirinya telah terjawab oleh pertimbangan hukum Putusan tersebut. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, makna kata “menjabat” dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Dengan demikian, kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ”masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun pejabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 adalah tidak bertentangan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; tidak bertentangan dengan prinsip setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana termaktub pula dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; dan tidak bertentangan dengan hak dan kebebasan setiap orang untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dipandang tidak ada relevansinya.