Maria Theresia Asteriasanti
Pasal 4 ayat (1) UU 34 Tahun 1964 sepanjang kalimat “Yang mendapatkan
jaminan berdasarkan undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di
luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”.
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU 34 Tahun 1964
sepanjang kalimat “Yang mendapatkan jaminan berdasarkan undang-
undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan yang
menyebabkan kecelakaan”, MK memberikan pertimbangan hukum
sebagai berikut:
1) Bahwa masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 yaitu sepanjang frasa “Yang
mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang
berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”.
Penjelasan dimaksud dianggap telah menyebabkan terjadinya ketidak-
pastian hukum terhadap Pemohon untuk mendapatkan dana santunan
kecelakaan tunggal suaminya. Pada saat yang sama, menurut Pemohon,
keberadaan frasa di dalam penjelasan itu pun telah menyebabkan
terjadinya diskriminasi terhadap warga negara. Dengan alasan itu,
Pemohon menilai bahwa hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 terlanggar
dan/atau potensial terlanggar. Karena itu, untuk mengakhiri atau
menghindari kerugian konstitusional atau potensi kerugian yang
dialaminya, Pemohon meminta agar frasa “Yang mendapatkan jaminan
berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang berada di jalan di luar
alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan” dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945.
2) Bahwa menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang a quo hanya menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan
frasa “setiap orang” dan menjelaskan frasa “disebabkan oleh alat
angkutan” dalam Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964, bukan menambah norma
baru. Sebab memang seperti itulah maksud dibuatnya Undang-Undang a
quo. Dalam hal ini, frasa “setiap orang” dimaksudkan sebagai bukan tiap-
tiap orang, melainkan hanya mereka yang berada di jalan. Frasa “oleh
alat angkutan” dijelaskan dengan frasa “di luar alat angkutan”, yang
berarti sebagai faktor eksternal yang menyebabkan seseorang mati atau
cacat tetap. Artinya hanya orang yang mengalami kecelakaan di jalan
yang disebabkan oleh alat angkutan sebagai faktor eksternal saja yang
diatur sebagai subjek yang akan menerima dana kerugian akibat
kecelakaan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964
sama sekali tidak mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) melainkan hanya
memperjelas atau membuat terang saja, yang justru menjamin bahwa
Undang-Undang a quo sejalan dengan maksud pembentukannya.
3) Bahwa kesan penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo
mempersempit norma Pasal 4 ayat (1) sebagaimana didalilkan Pemohon
timbul jika tidak memperhatikan hubungan sistematis semua norma
Undang-Undang a quo, mulai dari konsideran, batang tubuh dan
penjelasannya. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) hanya sekadar memperjelas
maksud yang dikehendaki Pasal 4 ayat (1), sehingga ia tidak dapat
dianggap atau dinilai telah membuat peraturan lebih lanjut atau
mencantumkan rumusan yang berisi norma baru. Demikian pula apabila
dihubungkan dengan paradigma jaminan sosial dalam UU 34/1964, dalil
bahwa penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang a quo telah
mempersempit maksud norma Pasal 4 ayat (1) juga tidak beralasan.
Sebab, penjelasan Pasal 4 ayat (1) justru bertujuan untuk mempertegas
konsistensi Pasal 4 ayat (1) dengan filosofi atau paradigma dan tujuan
dibentuknya UU 34/1964. Dengan penjelasan itu, makin terang bahwa
pertanggungan yang diatur dalam UU 34/1964 adalah untuk orang yang
menjadi korban kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan dan
orang itu berada di luar alat angkutan dimaksud. Bahwa berdasarkan
seluruh pertimbangan di atas, dalil Pemohon yang menyatakan
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.
4) Bahwa sebelum lebih jauh memberikan pendapat terkait dalil a quo,
perlu dipertegas, dalam sejumlah putusan terdahulu Mahkamah telah
memberikan pembatasan terhadap apa yang dimaksud dengan
diskriminasi. Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-
V/2007, bertanggal 11 Desember 2007, yang menyatakan bahwa
diskriminasi sebagai sesuatu yang dilarang dalam rangka perlindungan
hak asasi manusia adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan
lainnya”. [vide Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Article 2 Paragraph (1) International Covenant on Civil and Political
Rights]. Berdasarkan pengaturan tersebut, diskriminasi adalah berbeda
dan harus dibedakan dengan tindakan atau kebijakan pembatasan hak
asasi manusia yang diatur dengan undang-undang di mana pembatasan
hak asasi dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD
1945, yaitu pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang diatur dengan
undang-undang dapat dibenarkan sepanjang untuk maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis.
5) Bahwa dalil Pemohon, yaitu ihwal siapa subjek yang dapat
menerima dana pertanggungan dari sistem pertanggungjawaban wajib
kecelakaan lalu-lintas jalan dalam Undang-Undang a quo telah
menyebabkan terjadinya diskriminasi, menurut Mahkamah tidaklah tepat.
Sebab, pertama, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) dan Penjelasannya, UU
34/1964 memang membatasi hak sejumlah orang untuk dapat menjadi
subjek penerima pembayaran dana pertanggunggan kecelakaan. Di
mana, hanya orang atau mereka yang berada di jalan di luar alat
angkutan saja yang berhak mendapatkan jaminan. Hanya saja,
pembatasan dimaksud sama sekali bukan pembatasan untuk tujuan
memberikan perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pembatasan hanya
dilakukan atas dasar jenis korban kecelakaan. Pembatasan yang demikian
sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif.
Lebih-lebih, kebijakan atau aturan tersebut berlaku secara umum bagi
semua warga negara yang mengalami kecelakaan lalu-lintas. Kedua,
bahwa sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana
disinggung sebelumnya, pembatasan terhadap hak asasi manusia dapat
dilakukan dengan undang-undang sepanjang sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis. Dalam hubungannya dengan pokok
permohonan a quo, paradigma pembentukan UU 34/1964 adalah
berangkat dari paradigma perlindungan bagi masyarakat lain yang
menjadi korban kecelakaan lalu lintas, di mana kecelakaan terjadi bukan
karena kesalahannya, tidak bertentangan dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, dan juga ketertiban umum. Masyarakat yang menjadi
korban kecelakaan lalu lintas memang selayaknya mendapatkan jaminan
dari negara dan dibayarkan dari iuran wajib yang dibebankan kepada
setiap pemilik atau pengusaha angkutan umum. Oleh karena itu,
penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sama sekali tidak dapat dinilai
telah mengandung diskriminasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon.
6) Bahwa lebih jauh, sehubungan dengan kasus konkret yang dialami
oleh Pemohon, di mana suami Pemohon yang mengalami kecelakaan
tunggal akibat mengantuk sehingga motor yang dikendarainya menabrak
pembatas jalan sehingga jatuh dan berujung dengan meninggal dunia,
termasuk jenis kecelakaan tunggal yang memang tidak dapat ditanggung
sesuai dengan UU 34/1964. Meski demikian, sebagaimana diterangkan
Pihak Terkait, kepada keluarga yang bersangkutan telah diberikan
santunan secara ex-gratia sebagai kebijakan perusahaan sesuai dengan
Keputusan Direksi Nomor KEP/205.2/2013, tanggal 31 Oktober 2013.
Secara sepintas, kebijakan tersebut terkesan telah bertentangan dengan
pembatasan subjek yang berhak menerima jaminan berdasarkan Pasal 4
ayat (1) UU 34/1964, namun kebijakan tersebut masih dalam kerangka
perlindungan terhadap masyarakat dalam kecelakaan lalu-lintas. Lebih
jauh, sepanjang santunan secara ex-gratia tidak diposisikan dan tidak
dimaksudkan sebagai bagian dari jaminan kecelakaan sesuai Undang-
Undang a quo, maka diskresi itu sama sekali tidak keluar dari apa yang
diatur Undang-Undang dimaksud.
7) Bahwa, sebaliknya, pemberian santunan secara ex-gratia justru
semakin mempertegas bahwa regulasi terkait jaminan sosial kecelakaan
yang diatur dalam UU 34/1964 sama sekali tidak mengandung
diskriminasi. Santunan ex-gratia merupakan wujud kepedulian negara
terhadap korban kecelakaan tunggal yang memenuhi syarat-syarat
tertentu, salah satunya korban merupakan kepala keluarga. Dalam hal ini,
negara tidak serta-merta diam saja dalam kasus kecelakaan tunggal,
melainkan telah mengambil bagian melalui jalur yang bukan merupakan
bagian dari jaminan sosial yang diatur UU 34/1964. Perihal belum adanya
pengaturan dalam bentuk undang-undang (rechtsvacuum) tentang
santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu
tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab
memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini.
Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan
bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan
sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang
karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan
“menyalahkan” undang-undang a quo.
8) Bahwa terkait asuransi yang dapat diterima suami Pemohon sebagai
korban kecelakaan tunggal, sebagaimana diterangkan Pemerintah, hal itu
dapat ia peroleh dari asuransi kecelakaan kerja sesuai Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam
konteks ini, kesempatan pemohon untuk memperoleh asuransi terkait
kecelakaan yang dialami sama sekali tidak tertutup, melainkan terdapat
sarana lain yang lebih sesuai. Sehubungan dengan itu, dalil Pemohon
berkenaan dengan keberadaan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964
telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
9) Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sepanjang frasa “Yang
mendapatkan jaminan berdasarkan Undang-undang ini ialah mereka yang
berada di jalan di luar alat angkutan yang menyebabkan kecelakaan”
tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430