Herifuddin Daulay (guru honorer)
Pasal 169 huruf n, Pasal 222, Pasal 227 huruf i
Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 36 UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujiannya kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah membaca secara saksama materi permohonan Pemohon dan dibandingkan dengan semua permohonan yang pernah menguji inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017, permohonan a quo menggunakan beberapa dasar pengujian berbeda, yaitu dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 4 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 36 UUD 1945. Dengan demikian, tanpa harus memeriksa lebih jauh alasan-alasan yang berbeda dengan semua permohonan sebelumnya, adanya beberapa dasar pengujian tersebut telah terang dan cukup bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan menilai konstitusionalitas Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017.
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan Pemohon, perlu Mahkamah kemukakan, setelah mempelajari secara saksama dalil permohonan Pemohon yang pada pokoknya telah diuraikan dalam Paragraf [3.7], dari semua dalil tersebut hanya dalil angka 2 yang memiliki ketersambungan atau benang merah dengan petitum Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah akan memulai terlebih dahulu mempertimbangkan dalil yang termaktub pada angka 2 tersebut dikaitkan dengan petitum Pemohon. Pertimbangan hukum Mahkamah didasarkan pada kelompok isu dari ketiga norma yang dimohonkan tersebut sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan syarat pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden, in casu syarat sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 telah pernah diputus oleh Mahkamah. Berkenaan dengan kedua norma tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dalam Sub-paragraf [3.19.3] mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19.3] Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud.
Oleh karena isu konstitusional yang dimohonkan Pemohon dalam permohonan a quo pada intinya tidak jauh berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan Mahkamah tidak atau belum memiliki alasan hukum yang kuat untuk mengubah pendiriannya. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo. Artinya, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 adalah konstitusional. (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, hlm. 47-48, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 Februari 2023);
[3.12.2] Bahwa isu kedua adalah berkenaan dengan norma Pasal 222 UU 7/2017. Sampai sejauh ini, norma dimaksud pernah diuji konstitusionalitasnya sebanyak 27 (dua puluh tujuh) permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dari kesemua putusan tersebut, terdapat 5 (lima) putusan yang amar putusannya menyatakan menolak permohonan Pemohon, sedangkan putusan-putusan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karena isu konstitusional yang dimohonkan dalam permohonan a quo pada intinya tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya berkenaan dengan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Merujuk semua putusan tersebut, pada intinya Mahkamah berpendirian bahwa ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan norma Pasal 222 UU 7/2017 mutatis mutandis berlaku pula menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo.
[3.12.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa selain pokok permohonan sebagaimana dipertimbangkan dalam Paragraf [3.12] di atas, Pemohon juga mengajukan dalil-dali lain. Oleh karena dalil-dalil tersebut tidak jelas dan tidak memiliki ketersambungan (benang merah) dengan bagian petitum, Mahkamah menganggap tidak terdapat relevansinya untuk mempertimbangkan dalil-dalil dimaksud. Begitu pula dengan provisi Pemohon yang meminta Mahkamah “menyatakan Kaidah Hukum tunduk pada Kaidah Bahasa Indonesia”, menurut Mahkamah petitum berkaitan dengan provisi demikian adalah tidak jelas atau bersifat kabur sehingga harus dikesampingkan;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas terhadap pengujian Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430