E. Ramos Petege, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.20] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama, telah ternyata permohonan Pemohon substansinya berkaitan dengan keabsahan dan pencatatan perkawinan. Untuk itu, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengutip pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, terkait dengan keabsahan perkawinan sebagai berikut:
“[3.12.3] ... Menurut Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J UUD 1945]. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat;
[3.12.4] ... Menurut Mahkamah, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
[3.12.5] ... Menurut Mahkamah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara;”
Selain pertimbangan hukum putusan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah juga telah mempertimbangkan mengenai pencatatan perkawinan, antara lain sebagai berikut:
“[3.12] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya;”
Berdasarkan pertimbangan hukum kedua putusan di atas, sesungguhnya Mahkamah telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan. Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi keagamaan tersebut. Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, oleh karena dalam hal perkawinan terdapat kepentingan dan tanggungjawab agama dan negara yang saling berkait erat maka melalui kedua putusan di atas Mahkamah telah memberikan landasan kontitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum.
[3.21] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan keabsahan dan pencatatan perkawinan sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974, in casu larangan perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama termasuk pencatatannya yang menurut Pemohon sama saja negara memaksakan warga negaranya dengan hanya memperbolehkan perkawinan seagama, padahal menikah adalah hak setiap orang. Sementara itu, di sisi lain masih menurut Pemohon tidak ada tolok ukur dan kesamaan tafsir yang digunakan untuk mengukur larangan dan kebolehan perkawinan beda agama. Terhadap persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.21.1] Bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang diakui oleh Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia. Meskipun demikian, hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa. Jaminan perlindungan hak asasi manusia secara universal tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan hak asasi manusia di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial, dan budaya rakyat di negara masing-masing. Mahkamah telah mempertimbangkan perihal kedudukan dan kekuatan mengikatnya UDHR, yang antara lain menyatakan pada pokoknya Universal Declaration of Human Rights hanya merupakan “statement of ideals” sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (legal binding) secara langsung [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 September 2006, hlm. 57].
Dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan dalam perkara ini, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara UDHR dan UUD 1945. Pasal 16 ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit “Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family”. Diterjemahkan bahwa “Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga”. UDHR secara tegas memberi jaminan perlindungan atas hak untuk menikah (right to marry). Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B ayat (1) yang menyebutkan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Berdasarkan rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada 2 (dua) hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo, yaitu “hak membentuk keluarga” dan “hak melanjutkan keturunan”. Adapun frasa berikutnya menunjukkan bahwa “perkawinan yang sah” merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya. Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. Berdasarkan uraian tersebut maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah (right to marry) terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945. Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi maka tanpa mengesampingkan hak asasi yang berlaku universal dalam UDHR, sudah seharusnya Mahkamah menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara.
Bahwa meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak
untuk melanjutkan keturunan, akan tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena,
tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Dengan menggunakan kaidah hukum “sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban, hukumnya menjadi wajib (ma laa yatiimmu alwajibu illa bihi fahuwa wajib)”, maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi.
[3.21.2] Bahwa perihal keberadaan negara dalam mengatur perihal perkawinan, Mahkamah pernah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Juli 2018, bahwa berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua. Pertama, beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi dengan pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XV/2017, hlm. 532]
Adapun perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan ibadah haji. Peran negara bukanlah dimaksudkan untuk membatasi keyakinan seseorang, melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Adanya pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.
Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, campur tangan negara dalam penyelenggaraan perkawinan tidak sampai menjadi penafsir agama bagi keabsahan perkawinan. Dalam hal ini, negara menindaklanjuti hasil penafsiran embaga atau organisasi keagamaan untuk memastikan bahwa perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hasil penafsiran tersebut yang kemudian dituangkan oleh negara dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian yang membuat penafsiran keabsahan perkawinan, in casu larangan perkawian beda agama tetaplah pemuka agama. Dalam hal ini yang telah disepakati melalui lembaga atau organisasi keagamaan, bukan penafsiran yang dilakukan oleh individu yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam konteks perkara a quo, Mahkamah telah pula mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait MUI dan DDII serta Pihak Terkait Tidak Langsung PAHAM Indonesia, SALIMAH, Yayasan AILA Indonesia, dan Perkumpulan Wanita Islam. Bahkan dalam perkara sebelumnya yang telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, yang juga menjadi rujukan putusan a quo, Mahkamah juga telah menghadirkan organisasi-organisasi keagamaan untuk menjelaskan keberadaan perkawinan dalam setiap agama. Organisasi yang diundang di antaranya adalah MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) yang pada pokoknya menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap agama untuk mengkonsepsikan perkawinan sesuai dengan ajaran agama, sehingga menurut Mahkamah tidak ada pemaksaan negara atas penyelenggaraan perkawinan bagi suatu agama apapun. Dalam hal ini, peran negara adalah menindaklanjuti hasil penafsiran yang disepakati oleh lembaga atau organisasi keagamaan. Terlebih lagi, salah satu sumber hukum dalam pengertian materil adalah ajaran-ajaran agama dan adat istiadat yang masih hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, keberadaan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah sesuai dengan esensi Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945 yakni berkaitan dengan kewajiban negara untuk menjamin pelaksanaaan ajaran agama.
[3.21.3] Bahwa Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai ikatan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa [vide Pasal 1 UU 1/1974]. Ihwal perkawinan, Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan tidak hanya sebatas perkawinan, tetapi lebih dari itu, yakni “perkawinan yang sah”. Adapun perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada ketentuan Pasal 2 UU 1/1974, pencatatan yang dimaksud ayat (2) haruslah pencatatan yang membawa keabsahan dalam ayat (1). Dengan demikian, UU 1/1974 menghendaki agar perkawinan yang dicatat adalah perkawinan yang sah. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara merupakan kewajiban administratif. Sedangkan perihal sahnya perkawinan, dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo negara justru menyerahkannya kepada agama dan kepercayaan karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya. Kaidah pengaturan dalam norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai hak untuk memilih agama dan kepercayaan. Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaannya tetaplah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih, menganut, dan meyakininya sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
[3.21.4] Bahwa untuk tertibnya administrasi dalam pencatatan perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU 23/2006) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khususnya Pasal 35 huruf a dan Penjelasan Pasal 35 huruf a sebagai berikut:
Pasal 35 huruf a:
“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;”
Penjelasan Pasal 35 huruf a:
“Yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”.
Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan bahwa setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan sah menurut peraturan perundang-undangan berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan yang beragama non-Islam dan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan beragama Islam. Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan yang dimaksud perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama. Karena negara dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya. Sebagai sebuah peristiwa kependudukan, kepentingan negara, in casu pemerintah, adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut [vide Konsiderans Menimbang huruf b UU 23/2006], termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan.
Tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal dalam UU 23/2006, menurut Mahkamah bahwa ketentuan tersebut harus dipahami sebagai pengaturan di bidang administratif kependudukan oleh negara karena perihal keabsahan perkawinan adalah tetap harus merujuk pada norma Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yaitu perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Pengaturan pelaksanaan pencatatan perkawinan di atas menunjukkan tidak ada persoalan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Justru sebaliknya dengan adanya pengaturan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara yang melangsungkan perkawinan secara sah menunjukkan bahwa negara telah berperan dan berfungsi memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tanggungjawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 [vide Pertimbangan Hukum pada Paragraf [3.12] Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010].
[3.22] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mendengarkan secara saksama keterangan para pihak, ahli dan saksi serta mencermati fakta persidangan, Mahkamah tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi ataupun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencataan perkawinan, sehingga tidak terdapat urgensi bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian Mahkamah pada putusan-putusan sebelumnya. Melalui rangkaian pertimbangan hukum di atas Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon mengenai norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah ternyata tidak bertentangan dengan prinsip jaminan hak memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya, persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif, hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28B ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.24] Menimbang bahwa hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430