Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 119/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

dr. Gede Eka Rusdi Antara, dr. Made Adhi Keswara, dr. Heryani HS Parewasi, M.Kes., Sp.OG., dr. A. Wahyudi Pababbri, Sp. PD., dan Dwi Bagas Andika (mahasiswa), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dan dr. Ardiyanto Panggeso, S.H., M.H., kesemuanya adalah Advokat dan konsultan hukum kesehatan, yang tergabung dalam Firma Hukum VST and Partners, Advocates & Legal Consultants, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa dalil-dalil pokok permohonan para Pemohon masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah:
1 Apakah benar kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Konsil Kedokteran Indonesia”;
2 Apakah benar frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi setelah mendapatkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia, serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata ataupun pidana”;

[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Konsil Kedokteran Indonesia”. Alasan para Pemohon, masuknya peran Menteri dalam menetapkan Anggota MKDKI akan menimbulkan ketidakpastian hukum atas struktur serta kedudukan MKDKI terhadap KKI yang akan berpengaruh pada kekuatan hukum keputusannya dengan KKI. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa MKDKI merupakan sebuah lembaga otonom yang independen dari KKI dan bertanggung jawab kepada KKI yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan disiplin profesi dokter dan dokter gigi di Indonesia [vide Pasal 55 dan Pasal 56 UU 29/2004]. MKDKI dibentuk untuk melaksanakan salah satu tugas dari KKI yaitu melakukan proses pembinaan dan penegakan disiplin dokter dan dokter gigi, memastikan apakah standar profesi yang telah dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar, termasuk mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi hingga menentukan sanksi terhadap pelanggaran tersebut [vide Pasal 1 angka 14 UU 29/2004]. Dengan demikian, domain atau yurisdiksi MKDKI adalah penegakan disiplin profesi yakni penegakan atas aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004]. Penegakan disiplin profesi dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI diawali dengan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran disiplin profesi dokter dan dokter gigi. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mencari kebenaran mengenai ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi dokter atau dokter gigi berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pengadu [vide Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014]. Penegakan disiplin dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI bertujuan untuk melindungi masyarakat (pasien), menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta menjaga kehormatan profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Walaupun MKDKI bertanggung jawab kepada KKI, namun agar dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai penerima layanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan, MKDKI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun atau lembaga lainnya [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (3) UU 29/2004]. Pengaturan demikian dimaksudkan untuk menjaga indepedensi MKDKI.
[3.11.2] Bahwa berkenaan hal di atas, sebelum mempertimbangkan lebih jauh ihwal kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004, terlebih dahulu Mahkamah mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, hlm. 219, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 Desember 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVI/2018, hlm. 234-235, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 21 Mei 2019. Dalam Paragraf [3.14] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, Mahkamah menyatakan:
[3.14] Menimbang bahwa berbagai upaya hukum telah dilakukan oleh negara dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak melakukan pelayanan kesehatan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dirasakan selama ini belum memadai karena masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang. Oleh karenanya untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak (profesi kedokteran dengan Pemerintah) serta untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan objektif dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Konsil Kedokteran Indonesia merupakan suatu badan independen yang menjalankan fungsi regulator terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran.
Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVI/2018, Mahkamah menyatakan:
“… Mahkamah berpendapat bahwa yang perlu dipahami adalah KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri nonstruktural dan bersifat independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU 29/2004 yaitu melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Adapun wewenangnya adalah menyetujui atau menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi, menerbitkan dan mencabut surat 235 tanda registrasi, mengesahkan standar kompetensi, melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi, serta melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.”
Pertimbangan hukum Mahkamah dalam kedua putusan di atas telah menjelaskan tugas dan fungsi KKI, yaitu sebagai pembuat regulasi dan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Oleh karena itu, apabila KKI selaku pembuat regulasi dan pembina anggota profesi kemudian menetapkan anggota MKDKI sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon (petitum), tentunya akan menimbulkan konflik atau setidak-tidaknya berpotensi terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest). Alasannya, pada satu sisi KKI memiliki tugas membuat regulasi yang berkaitan dengan standar profesi, sementara di sisi lain KKI juga mengangkat anggota MKDKI yang bertugas memastikan standar profesi yang dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar. Tak hanya memastikan hal tersebut, MKDKI pun bertugas mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota profesi. Sehingga, untuk menghindari adanya konflik kepentingan antara tugas dan fungsi KKI dan tidak terjadinya contradictio in terminis jika KKI sekaligus juga mengangkat anggota MKDKI, maka pembentuk undang-undang mengatur bahwa untuk menetapkan anggota MKDKI dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan usulan dari organisasi profesi sesuai dengan amanat Pasal 60 UU 29/2004. Terlebih lagi, tidak menutup kemungkinan MKDKI juga akan mengadili dokter yang merangkap sebagai anggota KKI yang masih aktif menjalankan profesinya dalam melayani masyarakat.
Dalam desain sistem pemerintahan, ditetapkannya anggota MKDKI oleh menteri atas usul organisasi profesi harus ditempatkan dalam bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaktubkan dalam Konsideran Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan, “Setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD1945”. Oleh karena itu, masing-masing menteri memiliki tugas tanggung jawab dalam urusannya untuk mewujudkan tujuan bernegara. Berkenaan dengan urusan tersebut, menteri yang dimaksudkan dalam Pasal 60 UU 29/2004 adalah menteri yang menyelenggarakan urusan bidang kesehatan. Dengan demikian, secara konstitusional, sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, pelaksanaan urusan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari posisi menteri sebagai pembantu presiden. Meski demikian, dalam menetapkan anggota MKDKI, menteri bertindak berdasarkan atas usulan organisasi profesi. Artinya, menteri tidak dapat menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk menetapkan anggota MKDKI secara sepihak selain dari usulan organisasi profesi.
Dengan konstruksi penetapan anggota yang demikian akan menciptakan MKDKI sebagai lembaga otonom independen dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat mencegah kemungkinan pengaruh atau intervensi lembaga lain. Selain itu, dengan tidak ditetapkannya anggota MKDKI oleh KKI, hal tersebut dapat dikatakan atau dinilai memberi kepastian hukum yang adil dalam proses penanganan dugaan pelanggaran disiplin. Dalam hal ini, MKDKI dapat mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak, terutama memberi kesempatan kepada dokter teradu atau yang diadukan untuk membuktikan apakah telah melanggar disiplin kedokteran atau sebaliknya. Sementara itu, mereka yang merasa dirugikan, in casu pasien, diberikan haknya untuk mengadu. Proses demikian akan menciptakan kepastian hukum yang adil antara keduanya.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai norma kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam norma Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 apabila tidak dimaknai “bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi setelah mendapatkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia, serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata ataupun pidana” adalah inkonstitusional, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa sehubungan dengan persoalan disiplin profesi, Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.13.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014, hlm. 60, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 April 2015, mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.2] Adapun disiplin profesi pada dasarnya adalah etika yang khusus berlaku bagi orang atau kelompok orang tertentu yang melakukan praktik profesi tertentu pula, namun dengan bentuk dan kekuatan sanksi yang lebih tegas dibanding sanksi etika pada umumnya, meskipun tetap lebih “lunak” dibandingkan sanksi hukum. Sanksi yang diancamkan oleh suatu disiplin profesi relatif lebih keras dibandingkan sanksi etika pada umumnya, karena sanksi disiplin berkaitan dengan dapat atau tidaknya pemegang profesi tertentu untuk terus memegang atau menjalankan profesinya. Dalam UU 29/2004 dapat diketahui bahwa arti disiplin profesi adalah “aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi” [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004].
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas telah jelas bahwa profesi dokter adalah profesi tertentu yang berkait dengan manusia baik tubuh maupun nyawanya, sehingga profesi dokter dituntut untuk melakukan kegiatan praktik kedokteran dengan hati-hati dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sebagaimana Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004. Hal tersebut juga dipertegas oleh Mahkamah melalui Putusan yang sama yaitu dalam Paragraf [3.14] yang menyatakan:
[3.14] Menimbang bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah ilmu pengetahuan kedokteran umum maupun kedokteran gigi, adalah memuliakan kehidupan manusia. Posisi ilmu pengetahuan kedokteran menjadi istimewa, setidaknya di hadapan hukum, karena ilmu kedokteran dan praktiknya memiliki kaitan yang signifikan dengan kesehatan bahkan kehidupan/keselamatan manusia. Mahkamah sependapat dengan Presiden/Pemerintah yang menyatakan bahwa keistimewaan atau kekhasan profesi dokter dan dokter gigi adalah adanya “pembenaran yang diberikan oleh hukum, yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan”. Keistimewaan tersebut terlihat manakala seseorang yang bukan dokter atau dokter gigi melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia, maka tindakan yang demikian dapat digolongkan sebagai tindak pidana.
Dengan demikian, seorang dokter tunduk dan patuh terhadap kode etik dan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran sebagai standar supaya dokter bertindak dengan penuh rasa tanggung jawab dan hati-hati.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya persoalan yang harus dijawab Mahkamah adalah apakah putusan penegakan disiplin kedokteran kemudian tidak dapat dijadikan rujukan atau dasar mengajukan perkara perdata atau perkara pidana sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Terhadap persoalan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk merujuk terlebih dahulu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014, yang menyatakan sebagai berikut:
[3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah pertanyaan selanjutnya adalah, apakah suatu tindakan dokter atau dokter gigi yang telah diperiksa dan diputus oleh MKDKI, masih dapat diajukan pelaporannya kepada pihak berwenang dan/atau digugat secara perdata.
Dengan merujuk pada pertimbangan hukum yang telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa proses pengadilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata selama terkait dengan tindakan profesi kedokteran (baik dokter atau dokter gigi) harus dilakukan dalam lingkup profesi kedokteran. Artinya standar penilaian terhadap tindakan/asuhan dokter dan dokter gigi tidak boleh semata-mata dilihat dari kacamata Undang-Undang mengenai hukum pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya, melainkan harus didasarkan pada standar disiplin profesi kedokteran yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan.
Hal demikian terkait dengan keistimewaan profesi dan ilmu kedokteran yang secara hakiki memang lebih dekat dengan risiko yang berakibat kecacatan bahkan hilangnya nyawa seseorang. Meskipun bisa jadi tindakan profesi kedokteran dan tindakan profesi lain sama-sama mengakibatkan atau menimbulkan risiko cacat atau kematian, dan keduanya diatur dalam Undang- Undang yang sama, misalkan KUHP, tetapi tentu harus dibedakan konsekuensi hukumnya bagi dokter atau dokter gigi karena mereka memang diizinkan untuk melakukan tindakan terhadap tubuh manusia, sementara profesi lain tidak demikian adanya.
Perbedaan tersebut menurut Mahkamah memberikan dasar yang kuat bagi penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan untuk perkara pidana, maupun pengadilan baik pidana maupun perdata, untuk memperlakukan dokter dan dokter gigi secara berbeda. Perbedaan demikian harus dilakukan atau ditunjukkan dengan menjadikan ilmu kedokteran, khususnya yang tertuang dalam peraturan disiplin profesional dokter, sebagai rujukan utama dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan persidangan.
[3.19] Menimbang, pertimbangan hukum yang demikian menegaskan pendapat Mahkamah bahwa makna keadilan adalah memperlakukan sama terhadap yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap dua hal yang memang berbeda. Konsep keadilan yang demikian merupakan pengetahuan yang bersifat umum (tacit knowledge) yang diyakini Mahkamah telah dimiliki dan disadari oleh semua aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan.
Terkait dengan hal tersebut Mahkamah berpendapat bahwa proses pidana dan/atau gugatan perdata yang diatur dalam Pasal 66 ayat (3) Undang- Undang a quo, secara kontekstual tidak memiliki makna lain selain menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai salah satu rujukan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang. Tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang yang menjadikan kode etik dan disiplin profesi kedokteran sebagai salah satu rujukan, antara lain, dengan mendengarkan pendapat atau keahlian dari pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran, ketika aparat penegak hukum melakukan penafsiran terhadap peraturan hukum yang mengatur tindakan dokter atau dokter gigi, serta ketika melakukan penilaian terhadap tindakan dokter atau dokter gigi dimaksud.
Dilaksanakannya peradilan yang menjadikan ilmu kedokteran sebagai salah satu rujukan dalam mengadili dokter dan/atau dokter gigi yang diduga melakukan malpraktik, menurut Mahkamah telah membatasi risiko yang harus ditanggung dokter dan/atau dokter gigi dari pelaporan pidana atau gugatan perdata. Artinya dalam proses pengadilan yang demikian akan tertutup kemungkinan dijatuhkannya sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter atau dokter gigi yang tindakan medisnya oleh MKDKI telah dinyatakan sesuai atau tidak melanggar disiplin profesi kedokteran.
Adapun ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien.
Dalam konteks sebagaimana telah diuraikan oleh Mahkamah dalam rangkaian pertimbangan hukum di atas, ketakutan bahwa dokter dan/atau dokter gigi akan dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi perdata jika melakukan tindakan kedokteran yang lebih lanjut menimbulkan praktik defensive medicine di kalangan medis, menurut Mahkamah tidak berdasar dan tidak lagi memiliki relevansi untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Dengan berdasar pada pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi di atas, jelas bahwa ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien. Artinya, dokter yang telah diperiksa oleh MKDKI tetap dapat digugat atau dipersoalkan di pengadilan baik perdata maupun pidana. Ketentuan tersebut diberlakukan karena UU 29/2004 bertujuan untuk melindungi masyarakat, baik pasien sebagai pengguna layanan kesehatan maupun dokter dan dokter gigi sebagai pemberi layanan, sehingga norma yang diatur dalam UU 29/2004 tidak hanya memberikan perlindungan terhadap pasien tetapi juga perlindungan hak konstitusional terhadap dokter dan dokter gigi. Jika Mahkamah mengikuti substansi yang dimohonkan oleh para Pemohon, tujuan dari pembentukan UU 29/2004 dan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 tidak akan tercapai.
Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai Pasal 69 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata norma kata “menteri” dalam Pasal 60 dan frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 telah sejalan dengan prinsip negara hukum dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.