Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 117/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

Partai Berkarya yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Parat Berkarya) dan Fauzan Rachmansyah (Sekertaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Parat Berkarya) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rino, S.H., dkk, advokat yang tergabung dalam Kantor Hukum Rino Maulana Iskandar & Co, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 169 huruf n, Penjelsan Pasal 169 huruf n, dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017

Pasal 1 ayat (3), Pasal 7, Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan Pemohon, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah, yaitu apakah pengaturan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dan dilindungi Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan masalah tersebut, pertimbangan hukum Mahkamah akan disandarkan pada ketentuan UUD 1945, terutama norma Pasal 7 UUD 1945. Tidak hanya itu, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 juga berkaitan erat dengan norma persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden, pertimbangan hukum Mahkamah juga akan menyentuh ketentuan norma Pasal 6 UUD 1945, in casu norma Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Kesemua norma Konstitusi tersebut merupakan hasil dari perubahan UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR). Jamak diketahui, tujuan pokok perubahan UUD 1945 selama reformasi konstitusi 1999-2002, antara lain adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi. Apabila diletakkan dalam konteks sistem pemerintahan, sistem atau paham demokrasi yang dipilih oleh pengubah UUD 1945 adalah demokrasi presidensial.
[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 7 UUD 1945 merupakan salah satu norma dalam UUD 1945 yang diubah untuk pertama kalinya dalam agenda reformasi konstitusi tahun 1999. Sebagaimana diketahui, sebelum perubahan, Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Secara normatif, Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan tersebut tidak mengatur untuk berapa kali periode seseorang dapat menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Bahkan, dengan adanya frasa “sesudahnya dapat dipilih kembali”, membuka atau memberi kesempatan bagi seseorang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tanpa pembatasan periode secara jelas. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rumusan fleksibel Pasal 7 UUD 1945 inilah yang digunakan sebagai basis atau dasar argumentasi untuk mengangkat Presiden tanpa batasan periode pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Setelah perubahan, norma Pasal 7 UUD 1945 menjadi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”.
[3.17] Menimbang bahwa sekalipun norma Pasal 7 UUD 1945 berhasil diubah dalam perubahan pertama pada tahun 1999, dinamika ketatanegaraan pada awal era reformasi menunjukkan Pasal 7 UUD 1945 telah terlebih dahulu diubah sebelum perubahan UUD 1945. Karena Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan dinilai telah membuka celah (loop hole) bagi rezim Orde Baru merekayasa begitu rupa sehingga Soeharto menjadi Presiden lebih dari 32 tahun, Sidang Istimewa MPR 1998, sepakat untuk membatasi periodesasi masa jabatan Presiden dalam produk hukum bernama Ketetapan MPR, yaitu: Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Konsiderans “menimbang” huruf c Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menyatakan, “dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, tidak adanya pembatasan berapa kali Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali untuk memegang jabatannya telah menimbulkan berbagai penafsiran yang merugikan kedaulatan rakyat/kehidupan demokrasi”. Oleh karena itu, anggota MPR bersepakat untuk mengubah substansi Pasal 7 UUD 1945 tanpa menunggu perubahan UUD 1945 sesuai Pasal 37 UUD 1945 menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” [vide Pasal 1 Tap MPR No XIII/MPR/1998].
[3.18] Menimbang bahwa ketika tercapai kesepakatan untuk mengubah UUD 1945, MPR mengadopsi substansi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menjadi salah satu materi perubahan UUD 1945 dalam perubahan pertama tahun 1999. Salah satu alasan mengangkat substansi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menjadi substansi konstitusi, yaitu pengaturan di bawah konstitusi dinilai tidak memadai untuk materi yang sangat mendasar seperti pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Sekalipun secara konstruksi terdapat “sedikit perbedaan” antara norma Pasal 1 Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 dengan norma Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan, yaitu dari “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”, namun secara substansi kedua norma dimaksud membatasi kesempatan seseorang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tidak melebihi dari dua periode masa jabatan. Bahkan, selama pembahasan perubahan Pasal 7 UUD 1945 ditemukan beberapa original intent yang terkait langsung dengan pembatasan dimaksud, misalnya, ihwal dua kali masa jabatan tersebut apakah secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Berkenaan dengan hal tersebut, para pengubah UUD 1945 bersepakat, substansi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksudkan baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut [vide Naskah Komprehensif UUD 1945 Buku IV, Jilid 1, hlm. 477]. Bahkan, apabila diletakan dalam konteks demokrasi presidensial, batasan dua kali berturut-turut dimaksudkan merupakan batasan maksimal seseorang untuk dapat menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
[3.19] Menimbang bahwa oleh karena Pasal 7 UUD 1945 telah memberikan pembatasan yang jelas ihwal masa jabatan dan periodesasi masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, secara normatif diperlukan pengaturan lain dalam UUD dan ditindaklanjuti dalam peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi untuk mendukung agar pembatasan tersebut terwujud dalam proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, terutama berkenaan dengan syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Berkenaan dengan pengaturan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.19.1] Bahwa berkenaan dengan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden secara konstitusional diatur dalam Pasal 6 UUD 1945. Dalam hal ini, norma Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Karena norma konstitusi tidak mungkin mengatur secara detail persyaratan tersebut, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 mengatur lebih lanjut dengan menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
[3.19.2] Bahwa saat ini undang-undang yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah UU 7/2017. Sebagai pengaturan yang mendapat delegasi dari UUD 1945, Pasal 169 UU 7/2017 mengatur persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri;
c. suami atau istri calon Presiden dan suami atau istri calon Wakil Presiden adalah Warga Negara Indonesia;
d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
e. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden serta bebas dari penyalahgunaan narkotika;
f. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
g. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
h. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
i. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
j. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
k. tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD;
l. terdaftar sebagai Pemilih;
m. memiliki nomor pokok wajib pajak dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi;
n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
o. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
p. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
r. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah,
s. sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat;
t. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
u. organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan
v. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia
Selanjutnya, Pasal 227 UU 7/2017 menyatakan pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden melengkapi persyaratan sebagai berikut:
kartu tanda penduduk elektronik dan akta kelahiran Warga Negara Indonesia;
a. surat keterangan catatan kepolisian dan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. surat keterangan kesehatan dari rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk oleh KPU;
c. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi;
d. surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan/atau tidak memiliki tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri;
e. surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD;
f. fotokopi nomor pokok wajib pajak dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir;
g. daftar riwayat hidup, profit singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon;
h. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
i. surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
j. surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
k. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;
l. surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G.30.S/PKI dari kepolisian;
m. surat pernyataan bermeterai cukup tentang kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil Presiden secara berpasangan;
n. surat pernyataan pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak ditetapkansebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu; dan
o. surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu.
[3.19.3] Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.