Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 107/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Karminah (Ibu Rumah tangga), dalam hal ini memberi kuasa kepada Pho Iwan Salomo, SH., adalah Advokat pada LBH JATI RAGA, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 79 UU MA

Alinea ke-4 Pembukaan, Sila ke-5 PANCASILA dalam Alinea ke-4 Pembukaan, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 79 UU MA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 79 UU 14/1985 multitafsir karena memberi wewenang yang tidak terbatas kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturannya sendiri, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa pada umumnya undang-undang tidak mengatur secara rinci atau detail sehingga membutuhkan peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah. Perintah pengaturan lebih lanjut tersebut bertujuan agar ketentuan yang diatur dalam undang-undang bersangkutan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, termasuk dalam hal ini hal-hal lain yang tidak atau belum diatur secara detail dalam undang-undang yang bersangkutan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dimaksud.

[3.11.2] Bahwa dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) telah ditentukan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, dalam Pasal 8 UU 12/2011 juga telah ditentukan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU 12/2011, salah satunya peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung yang diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan [vide Pasal 8 UU 12/2011] yang juga menjadi peraturan lebih lanjut dari UU 14/1985 sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.11.1] tersebut di atas.

[3.11.3] Bahwa Mahkamah Agung sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki wewenang untuk menentukan bagaimana undangundang dapat dijalankan agar tercipta keadilan bagi masyarakat Indonesia dan juga dapat menyerap aspirasi masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada Pasal 79 UU 14/1985 yang menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, maka di dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Agung diberikan wewenang mengambil inisiatif untuk menetapkan peraturan tertulis yang bersifat mengatur, khususnya dalam hal-hal yang menyangkut peran dan pelaksanaan peradilan agar tidak terjadi kekurangan atau kekosongan hukum sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 79 UU 14/1985 menyatakan bahwa, "apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi”. Berdasarkan UU a quo Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam UU 14/1985. Dengan kata lain, Pasal 79 UU 14/1985 merupakan dasar untuk mejalankan salah satu fungsi Mahkamah Agung yakni fungsi mengatur di mana Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Dengan demikian, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif diberikan kewenangan yang bersifat atributif untuk membentuk suatu peraturan pelaksanaan, dengan salah satu cara menyerap aspirasi dari lembaga pengadilan yang ada di bawahnya terkait dengan hal-hal teknis peradilan yang perlu diatur dalam peraturan di lingkungan Mahkamah Agung. Dengan demikian, peraturan di lingkungan Mahkamah Agung tersebut mengikat para pihak yang hendak beracara di pengadilan.

[3.11.4] Bahwa permohonan Pemohon yang memohon kepada Mahkamah di dalam petitumnya agar Mahkamah menyatakan Pasal 79 UU 14/1985 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai peraturan mengenai Penundaan Eksekusi, dikarenakan kasus yang dihadapi oleh Pemohon di Pengadilan Agama Semarang berujung pada penundaan eksekusi yang menurut Pemohon penundaan eksekusi tersebut dikeluarkan dengan mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 UU 14/1985, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tersebut tidaklah tepat. Sebab, jika Pasal 79 UU 14/1985 dimaknai sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon maka justru hal tersebut akan mempersempit makna dari Pasal a quo dan akan terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan untuk hal-hal lainnya selain eksekusi. Dengan demikian, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya tidak memiliki acuan atau petunjuk lagi dalam mengadili suatu perkara jika aturannya belum diatur dalam suatu peraturan pelaksana. Selain itu, Pasal 79 UU 14/1985 merupakan dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturan lebih lanjut yakni peraturan Mahkamah Agung dan peraturan-peraturan lainnya yang menyangkut fungsi peradilan yang belum diatur dalam undang-undang, sehingga Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi peradilannya tidak menemukan kebuntuan atau ketidakpastian hukum dalam mengambil suatu keputusan untuk para pencari keadilan. Apalagi Peraturan Mahkamah Agung tidaklah hanya mengatur masalah eksekusi saja seperti yang dialami oleh Pemohon, melainkan juga mengatur hal-hal teknis beracara lainnya. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 yang memberi wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang termasuk peraturan Mahkamah Agung sendiri adalah tidak objektif, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa terhadap dalil Pemohon terkait dengan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004, Mahkamah telah mempertimbangkan hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 2 Februari 2010, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 24A dan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C. Adapun pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam permohonan a quo materinya adalah pemuatan kembali atau pengulangan materi kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945 dan materi yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan tersebut (Vide Pasal 55 UU 24/2003);

[3.9] Menimbang bahwa apabila Mahkamah menguji materi pasal-pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo, maka secara tidak langsung Mahkamah akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, yang berarti Mahkamah akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945. Adapun dipilihnya pasal-pasal lain dari UUD 1945 untuk menjadi dasar batu uji dalam permohonan pengujian materiil yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian bukan menjadi kewenangan Mahkamah karena keberadaan pasal-pasal dalam UUD 1945 adalah pilihan dari pembuat UUD 1945 dan Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut;

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009 sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah oleh karena esensi permohonan a quo sama dengan permohonan yang telah diputus tersebut, maka pertimbangan putusan Mahkamah tersebut menjadi mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum putusan perkara a quo. Adapun dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 yang memberi wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang termasuk peraturan Mahkamah Agung sendiri adalah tidak objektif dan bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua, sehingga Pemohon dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar pengujian peraturan Mahkamah Agung diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo merupakan asumsi Pemohon belaka yang dihubungkan dengan perkara konkret yang sedang dihadapi oleh Pemohon di Pengadilan Agama Semarang yang kebenarannya bukan menjadi kewenangan MK untuk menilainya. Terlebih lagi, berdasarkan Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sudah memiliki kewenangannya masing-masing. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 79 UU 14/1985 dan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 tidak bersifat multitafsir dan telah menjamin kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.