Rega Felix (Advokat), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 196 UU 36/2009
Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 196 UU 36/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa kesehatan adalah hak setiap orang karena kesehatan merupakan bagian terpenting bagi kehidupan manusia. Tanpa kesehatan yang baik setiap manusia akan sulit melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Hal ini sejalan dengan maksud Pasal 1 UU 36/2009 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pada umumnya, dalam keseharian tubuh manusia akan merasakan kondisi sehat dan sakit, apabila dirasakan kondisinya kurang sehat atau sakit maka mengkonsumsi obat merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi rasa sakit maupun menghilangkan suatu penyakit di dalam tubuh.
Dalam hal pengawasan obat, negara telah menunjuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan yang beredar di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun obat dan makanan tersebut terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisonal, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
Selain dari segi pengawasan peredaran obat dan makanan, pertanggungjawaban pelaku usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab atas suatu produk juga sangat dibutuhkan. Pertanggungjawaban pelaku usaha tersebut telah diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dalam Pasal 19 ayat (1) menyatakan, “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, negara melakukan berbagai upaya untuk terus memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap obat dan makanan yang beredar di masyarakat, demikian pula mengenai perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya agar kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan dapat diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Hal ini artinya, bahwa jika terjadi gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian sosial-ekonomi yang besar bagi negara, dan terhadap setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti peningkatan investasi bagi pembangunan negara [vide bagian Konsiderans Menimbang huruf b dan huruf c UU 36/2009].
[3.10.2] Bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis [vide Pasal 3 UU 36/2009], UU 36/2009 juga mengatur upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular atau kejadian luar biasa [vide Pasal 156 UU 36/2009]. Sementara itu, berkaitan dengan pengertian kejadian luar biasa adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa penyakit yang merebak dan dapat berkembang menjadi wabah penyakit. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004, telah diatur dalam peraturan pelaksana dari undang-undang kesehatan sebelumnya mengenai status kejadian luar biasa yang ditentukan sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91 tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan tersebut, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya, peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 (dua) kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya, dan jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 (dua) kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018) menyatakan dengan tegas bahwa, “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara”.
[3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan ketentuan pemidanaan dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 sangat ringan sehingga tidak memiliki efek jera, padahal perbuatan pidana tersebut menurut Pemohon termasuk kategori extraordinary crime. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa berkenaan dengan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extraordinary crime telah ditentukan pengaturannya, misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). Pasal 7 UU a quo menyatakan pada pokoknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibatasi pada dua bentuk yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 8 UU 26/2000 menyatakan bahwa:
“Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”.
Sementara, ketentuan Pasal 9 UU 26/2000 menyatakan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid”.
Selain ketentuan UU 26/2000 di atas, dalam perkembangannya terdapat kejahatan lain yang dikategorikan sebagai extraordinary crime sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002) yang mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Sebab, korupsi di Indonesia dipandang sudah meluas dan sistematis melanggar hak-hak ekonomi masyarakat sehingga diperlukan cara-cara yang luar biasa pula untuk pemberantasannya. Selain korupsi, berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) terorisme juga merupakan kejahatan luar biasa dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak yang paling dasar, yaitu hak hidup.
Terlebih lagi, karena dilakukan secara terencana, sistematis dan terorganisir sebagai kejahatan transboundary yang melibatkan jaringan internasional. Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa bukan hanya karena membunuh manusia semata tetapi juga menghancurkan seluruh fasilitas publik, memperburuk ekonomi dan mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Sementara itu, dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 196 UU 36/2009 yang dikaitkan dengan kasus konkret jenis penyakit yang belum lama ini ditimbulkan oleh karena penyalahgunaan zat dalam obat untuk dimasukkan dalam kategori kejadian luar biasa, Mahkamah berpendapat ada perbedaan yang prinsipil antara pengertian kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dengan kejadian luar biasa. Dengan demikian, apabila yang dimaksud Pemohon adalah menyamakan kejahatan luar biasa dengan kejadian luar biasa, maka apabila dikaitkan dengan kejadian konkret yang didalilkan oleh Pemohon sehingga hal tersebut tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai extraordinary crime. Terlebih lagi, UU 6/2018 telah mengatur mengenai jenis kedaruratan kesehatan dan mekanisme penanggulangannya, contohnya memasukkan kategori bioterorisme yang berkaitan erat dengan tindakan terorisme yang termasuk dalam kejahatan luar biasa. Namun demikian, terhadap persoalan yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan berkenaan dengan kejadian luar biasa tersebut. Di samping itu, terhadap kasus konkret tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilainya, ternyata Pemerintah telah melakukan upaya antara lain, melakukan penarikan terhadap semua obat sirup di masyakarat, menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak, yang ditujukan kepada seluruh dinas kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan organisasi profesi, sehingga persoalan tersebut secara perlahan mulai teratasi dan diobati. Namun demikian, terlepas dari kasus konkret tersebut, Mahkamah melalui Putusan a quo perlu menegaskan agar pemerintah harus terus meningkatkan pengawasan terhadap siapapun yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dalam mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat tanpa memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang telah ditetapkan [vide Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009].
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, oleh karena undang-undang telah menentukan kategori kejahatan yang dapat dinyatakan sebagai extraordinary crime maka apabila dalam perkembangannya kejadian luar biasa yang berkaitan dengan kesehatan jika akan diperluas cakupannya sebagai kejahatan luar biasa sebagaimana dalil Pemohon, terhadap hal demikian dapat saja dilakukan sepanjang telah melalui proses kajian atau penelitian yang mendalam dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait. Sebab, hal demikian merupakan ranah kebijakan pembuat undang-undang untuk menentukannya. Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat dengan serta merta menambahkan jenis tindak pidana/kejahatan termasuk dalam hal ini, kejahatan farmasi untuk dimasukkan dalam kategori extraordinary crime.
[3.11.2] Bahwa selanjutnya Pemohon dalam mendalilkan konstitusionalitas norma Pasal 196 UU 36/2009 juga mengaitkan dengan ringannya ketentuan pidana yang diatur sehingga tidak menimbulkan efek jera. Oleh karenanya, Pemohon memohon agar ketentuan pidana dalam norma Pasal a quo diperberat menjadi “dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah penting dipahami secara doktriner bahwa perumusan ketentuan tindak pidana dalam suatu undang-undang setidak-tidaknya memuat rumusan tentang: (1) subjek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm); (2) perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik berupa dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan (3) ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut. Sedangkan, perumusan ancaman pidana dalam Buku I KUHP mengacu pada norma pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
Pasal 10
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Adapun perbedaan antara hukuman pokok dan hukuman tambahan, adalah hukuman pokok terlepas dari hukuman lain, berarti dapat dijatuhkan kepada terhukum secara mandiri. Hukuman tambahan hanya merupakan tambahan pada hukuman pokok, sehingga tidak dapat dijatuhkan tanpa ada hukuman pokok (tidak mandiri). Hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok. Penjatuhan hukuman tambahan itu biasanya bersifat fakultatif dan hakim tidak diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan. Menurut KUHP, ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut:
1. Pidana Mati, aturan pemidanaanya yaitu sebagai pidana pokok yang terberat yang diancamkan kepada tindak pidana yang sangat berat selalu disertai dengan alternatif pidana sumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun;
2. Pidana Penjara:
a. Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu tertentu (Minimal umum 1 hari, maksimal umum 15 tahun);
b. Boleh 20 tahun berturut-turut, jika ada alternatif pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu tertentu dan ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 52);
c. Tidak boleh melebihi 20 tahun;
d. Dapat ditambah pidana tambahan
e. Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya 2 tahun;
f. Masa percobaan dimulai saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap.
3. Pidana Kurungan:
a. Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 tahun;
b. Jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4 bulan;
4. Pidana Denda:
a. Minimal umum Rp 3,75
b. Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti (kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan)
Bahwa lebih lanjut, antara ”perbuatan yang dilarang” (strafbaar) dan “ancaman pidana” (strafmaat) mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Dilihat dari hakikatnya, perbuatan pidana adalah perbuatan yang tercela (tercela karena dilarang oleh undang-undang dan bukan sebaliknya), sedangkan pidana merupakan konkretisasi dari celaan. Bahkan ”larangan” terhadap perbuatan yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru ”timbul” karena adanya ancaman penjatuhan pidana yang ditujukan pada “setiap orang” (sebelumnya disebut barangsiapa) yang melakukan perbuatan tersebut.
Dalam kaitan ini, norma pokok (primer) yang diberikan pengancamannya dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 adalah norma Pasal 98 UU 36/2009 yang pada pokoknya menentukan bahwa, “Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau” [vide Pasal 98 ayat (1) UU 36/2009]. UU a quo melarang setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat karena segala ihwal mengenai perbuatan tersebut harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang telah ditetapkan [vide Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009]. Terhadap norma pokok dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo jika dilanggar diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) [vide Pasal 196 UU 36/2009]. Berkenaan dengan ancaman pidana dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 yang dipandang ringan oleh Pemohon, Makamah menegaskan bahwa hal tersebut berkaitan dengan strafmaat yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kualifikasi delik pidana. Sehingga tidak mungkin kualifikasi delik pidana dimaksud diserahkan ke pembuat undang-undang, sedangkan ancaman pidananya diserahkan ke Mahkamah. Sebab, ancaman pidana merupakan refleksi dari kualitas perbuatan pelaku tindak pidana yang menjadi parameter untuk menjatuhkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Oleh karenanya, hal demikian seharusnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang. Sementara itu, berhubungan dengan jenis ancaman pidana, menurut Mahkamah haruslah diawali dengan kajian-kajian dan penelitian yang komprehensif sehingga tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana hal ini juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016, Paragraf [3.12] hlm. 441442, bahwa:
“…Benar pula bahwa Mahkamah melalui putusannya telah berkali-kali menyatakan suatu norma undang-undang konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) ataupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma undang-undang untuk dapat dikatakan konstitusional, yang artinya jika persyaratan itu tidak terpenuhi maka norma undang-undang dimaksud adalah inkonstitusional. Namun, ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy). Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang di mana pembatasan demikian, sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang. Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan pembentuk undang-undang. Berbeda dengan bidang hukum lainnya, hukum pidana dengan sanksinya yang keras yang dapat mencakup perampasan kemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang, maka legitimasi negara untuk merumuskan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana serta jenis sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan itu dikonstruksikan harus dating dari persetujuan rakyat, yang dalam hal ini mewujud pada organ negara pembentuk undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yang keduanya dipilih langsung oleh rakyat), bukan melalui putusan hakim atau pengadilan. Hanya dengan undang-undanglah hak dan kebebasan seseorang dapat dibatasi. Sejalan dengan dasar pemikiran ini, Pasal 15 dan Lampiran II, C.3. angka 117 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa materi muatan mengenai pidana hanya dapat dimuat dalam produk perundangundangan yang harus mendapatkan persetujuan wakil rakyat di Lembaga perwakilan, yaitu DPR atau DPRD, seperti Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Sedangkan Mahkamah berada dalam posisi menguji apakah pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang itu telah sesuai dengan Konstitusi atau justru melampaui batas-batas yang ditentukan dalam Konstitusi. Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan hukum pidana, selama ini permohonan yang diajukan justru memohon agar dilakukan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang diatur dalam undang-undang karena dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sehingga harus dapat diuji konstitusionalitasnya. Sebab, kewenangan pengujian undang-undang memang ditujukan untuk menjaga agar hak dan kebebasan konstitusional warga negara yang dijamin oleh Konstitusi tidak dilanggar oleh kebijakan kriminalisasi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, meskipun secara konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan kriminalisasi, pembentuk undang-undang pun harus sangat berhati-hati. Pembentuk undang-undang harus benar-benar memperhatikan bukan hanya perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia tetapi juga perkembangan dunia. Simposium Pembaruan Hukum Nasional yang dilakukan di Semarang pada bulan Agustus 1980, untuk menunjuk sebuah referensi, merekomendasikan bahwa untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi perlu diperhatikan kriteria umum, yaitu:
a. apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban;
b. apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;
c. apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya;
d. apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat…”
Bahwa selain itu, Pemohon mendalilkan adanya kekhawatiran dan rasa takut yang luar biasa terhadap kejadian yang menimpa anak-anak sebagai korban. Menurut Mahkamah, hal tersebut tidaklah harus diatasi dengan memberatkan sanksi pidananya, karena sanksi pidana adalah sanksi terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium), sehingga penting pula bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa kasus-kasus epidemi penyakit karena adanya dugaan penyalahgunaan bahan kimia pada produk farmasi yang dimungkinkan akan terus berpotensi untuk muncul. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi secara berkala terhadap regulasi dan implementasi izin edar dan pengawasan atas produk-produk kimia dalam makanan, minuman, dan sediaan farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga masyarakat merasa aman pada saat menggunakan produk tersebut.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 196 UU 36/2009 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan perlidungan rasa takut dan hak untuk hidup sebagaimana dijamin oleh Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430