Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 104/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Sandi Ebenezer Situngkir, S.H., M.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002

Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 2/2002 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, in casu hak konstitusional Pemohon, sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, pada pokoknya Pemohon telah menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai berikut:
1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002, yang rumusannya adalah sebagai berikut:
Pasal 15 ayat (2) huruf k UU 2/2002:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.”

Pasal 16 ayat (1) huruf l UU 2/2002:
“Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”

Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002:
“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”

Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002:
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk:
a. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan
c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.”

Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002:
“Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari unsur- unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat.”

2. Bahwa Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam norma Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945;
3. Bahwa Pemohon merupakan perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat [vide bukti P-1, bukti P-2, dan bukti P-3];
4. Bahwa dalam menguraikan ada tidaknya anggapan kerugian hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian, Pemohon menyampaikan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon tidak mendapatkan jaminan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan karena berlakunya norma Pasal 15 ayat (2) huruf k dan Pasal 16 ayat (1) huruf l UU 2/2002 yang tidak memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian kewenangan dan tindakan lain. Sehingga, dapat menyebabkan adanya tindakan yang sewenang-wenang dan tidak terukur dari anggota kepolisian dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Terlebih lagi, norma Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002 memberikan keleluasaan bagi anggota kepolisian ketika melaksanakan tugas dan wewenangnya yang dapat bertindak menurut penafsiran atau penilaiannya sendiri tanpa parameter menurut undang-undang sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon;
b. Bahwa norma Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002 tidak memberikan kewenangan kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengawasi kinerja dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial. Sebab, Kompolnas hanya memberikan saran dan masukan kepada Presiden sehingga menyebabkan hak konstitusional Pemohon secara potensial terlanggar;
c. Bahwa norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 telah membatasi hak Pemohon untuk menjadi komisioner Kompolnas karena Pemohon bukanlah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM atau Menteri Dalam Negeri, serta bukan juga sebagai pakar kepolisian atau pimpinan tokoh masyarakat;
d. Bahwa Pemohon sebagai pihak yang juga tergabung dalam Tim Advokasi Penegak Hukum dan Keadilan (TAMPAK), yang melakukan advokasi terhadap terbunuhnya Brigadir Jhosua Hutabarat juga dirugikan karena tidak terdapat pengaturan mengenai pengawasan terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam UU 2/2002.

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama penjelasan Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, menurut Mahkamah, Pemohon adalah benar sebagai perseorangan warga negara Indonesia, yang dalam hal ini berprofesi sebagai advokat. Selain itu, Pemohon juga telah menjelaskan perihal hak konstitusionalnya yang menurut Pemohon dianggap telah dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sebagaimana dijamin dalam norma Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, terkait dengan uraian kerugian hak konstitusional Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa berkaitan dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon untuk dapat mengajukan permohonan harus dikaitkan dengan keterpenuhan syarat- syarat sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.4] di atas. Oleh karena itu, dalam beracara di Mahkamah Konstitusi harus ditentukan apakah Pemohon memiliki kepentingan nyata yang terdampak dengan berlakunya suatu norma dalam undang-undang yang secara hukum harus dilindungi sehingga dapat diajukan di depan pengadilan, in casu permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Artinya, tidak semua orang mempunyai hak untuk dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, hanya pihak yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya untuk dapat menjadi pemohon. Hal ini sesuai dengan adagium: ada kepentingan, ada gugatan (point d’interet point d’action). Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan hukum yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya atas berlakunya norma suatu undang-undang yang dilakukan pengujian terhadap UUD 1945 yang dirumuskan dalam bentuk anggapan kerugian hak konstitusional. Merujuk beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah telah menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk dapat diberikan kedudukan hukum bagi pemohon [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007]. Artinya, dengan tidak terpenuhi salah satu syarat tersebut maka tidak terpenuhi pula kerugian konstitusional Pemohon. Dengan demikian, Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang harus menguraikan secara jelas serta membuktikan tentang kualifikasi dan keterpenuhan seluruh syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas.

[3.6.2] Bahwa anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian sesuai dengan norma pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu:
a. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, dan Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang dan tidak terukur oleh anggota kepolisian pada saat menjalankan tugasnya sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon;
b. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, tidak memberikan kewenangan kepada Kompolnas untuk mengawasi kinerja dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian sehingga berpotensi menghilangkan hak konstitusional Pemohon;
c. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, telah membatasi hak Pemohon untuk menjadi komisioner Kompolnas karena syarat yang ditentukan dalam pasal a quo tidak mengakomodir Pemohon, baik selaku perseorangan warga negara Indonesia maupun advokat.

[3.6.3] Bahwa berdasarkan ketiga bagian tersebut, maka anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon pada huruf a dan huruf b di atas adalah bersifat potensial, sedangkan pada huruf c adalah bersifat aktual. Terhadap anggapan kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat potensial, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik bentuk kerugian yang secara potensial akan diderita atau dialami oleh Pemohon. Dalam hal ini, Pemohon tidak mengajukan bukti atau setidak-tidaknya memberikan argumentasi mengenai bentuk atau tindakan sewenang-wenang seperti apa yang dilakukan oleh anggota kepolisian serta kerugian seperti apa pula yang akan dialami oleh Pemohon berkaitan dengan tidak adanya kewenangan Kompolnas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran anggota kepolisian sebagaimana yang dijelaskan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terhadap anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang bersifat potensial yang harus dibuktikan adanya kepentingan yang dirugikan berkenaan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, Mahkamah tidak menemukan fakta hukum dimaksud. Sehingga, berdasarkan penalaran yang wajar, anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut belum dapat dipastikan akan terjadi.
Ikhwal bentuk kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud pada huruf c, yaitu syarat untuk menjadi komisioner Kompolnas, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan secara spesifik anggapan kerugian hak konstitusonal yang dialami, baik sebagai perseorangan maupun sebagai advokat. Mahkamah juga tidak menemukan argumentasi Pemohon yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa syarat untuk menjadi komisioner Kompolnas yang berasal dari unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat telah menimbulkan kerugian yang spesifik dan aktual terhadap hak konstitusional Pemohon sebagai perseorangan warga negara maupun dalam profesinya sebagai advokat. Sebab, anggapan kerugian hak konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya berkenaan dengan berlakunya norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 tidak dijelaskan kriteria unsur masyarakat seperti apa yang dimaksud oleh Pemohon, sehingga tidak diketahui apakah Pemohon memenuhi kriteria unsur masyarakat yang dimaksudkan oleh Pemohon.

[3.6.4] Bahwa terkait dengan hal tersebut di atas, Panel Hakim telah menyampaikan dalam Persidangan Pendahuluan agar Pemohon memperbaiki uraian argumentasi dalam menjelaskan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya yang bersifat spesifik, baik aktual atau setidak-tidaknya potensial. Selain itu, Panel Hakim juga telah memberikan saran perbaikan untuk melengkapi uraian mengenai kedudukan hukum dengan mencantumkan peristiwa konkret yang dialami oleh Pemohon, misalnya pernah dilaporkan terkait dengan pasal yang sedang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya untuk kemudian dikorelasikan secara causal verband dengan hak konstitusional Pemohon yang dianggap telah dirugikan [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 7 November 2022, hlm. 9, hlm. 16, dan hlm. 17]. Namun demikian, hingga lewatnya tenggat waktu penyampaian perbaikan permohonan, Pemohon tidak menyampaikan perbaikan dimaksud. Bahkan, dalam persidangan pendahuluan dengan agenda menyampaikan perbaikan permohonan dan pengesahan alat bukti pada tanggal 21 November 2022, Pemohon juga tidak menghadiri sidang tersebut tanpa alasan yang sah atau tanpa pemberitahuan yang disampaikan terlebih dahulu kepada Mahkamah. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang maka yang menjadi dasar pemeriksaan perkara a quo adalah permohonan Pemohon bertanggal 12 Oktober 2022 yang telah diterima Mahkamah pada tanggal 13 Oktober 2022.

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.8] Menimbang bahwa walaupun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan.

[3.9] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah karena dipandang tidak ada relevansinya.