Rudi Hartono Iskandar yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Alamsyah Hanafiah, S.H., M.H, dkk Advokat yang tergabung dalam kantor Hukum Alamsyah Hanafiah, S.H., M.H&Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan yang didalilkan Pemohon pada esensinya berkenaan dengan tidak diaturnya surat perintah penyidikan sebagai dasar dilakukannya penyidikan dalam Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah: 1). Apakah pengertian kata “laporan” dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP inkonstitusional apabila tidak dimaknai “disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan” dan 2). Apakah ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP inkonstitusional apabila tidak dimaknai dengan “disertai 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”. Terhadap persoalan konstitusional yang didalilkan Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut.
[3.11] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP tentang pengertian kata “laporan” yang menurut Pemohon untuk memberikan kepastian hukum harus dimaknai “satu laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana harus disertai 1 (satu) surat perintah penyidikan”, menurut Mahkamah, norma yang diujikan oleh Pemohon merupakan ketentuan umum dalam KUHAP yang berkaitan dengan batasan pengertian atau definisi dari suatu kata maupun hal-hal yang bersifat umum. Norma yang terdapat dalam bagian ketentuan umum akan mendasari norma-norma berikutnya, sehingga perumusan serta pemaknaan terhadap norma dalam ketentuan umum harus dilakukan secara saksama karena hal tersebut terkait dengan ketentuan norma dasar dari suatu undang-undang serta haruslah bersifat umum. Dengan demikian, jika norma dalam ketentuan umum tersebut akan mengalami perubahan harus dipertimbangkan konsistensinya dengan pasal-pasal berikutnya yang memiliki keterkaitan, sehingga perubahan tersebut tidak menimbulkan kerancuan bagi pasal- pasal yang terkait dengan norma dalam ketentuan umum tersebut;
Apabila dikaitkan dengan Permohonan Pemohon yang meminta pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 24 KUHAP dengan menambahkan frasa “satu Laporan Polisi atau Pengaduan yang disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”, menurut Mahkamah, hal demikian akan mempengaruhi struktur batang tubuh KUHAP khususnya pasal-pasal yang berhubungan dengan definisi kata “laporan”, karena jika dirunut ke dalam pasal-pasal berikutnya yang terkait dengan definisi kata “laporan”, maka pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 24 KUHAP sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon justru akan menimbulkan kerancuan makna dari norma pasal-pasal berikutnya tersebut. Terlebih lagi, jika dilihat dari maksud pembuat undang-undang merumuskan norma Pasal 1 angka 24 KUHAP serta mencermati pasal-pasal berikutnya yang terkait dengan kata “laporan”, menurut Mahkamah, pengertian kata “laporan” dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP lebih tepat dikaitkan dengan pemberitahuan yang berasal dari setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana [vide Pasal 108 KUHAP];
Adapun untuk dapat memahami proses tahapan sebuah laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP setelah diterima oleh penyelidik/penyidik hingga dapat dinyatakan akan dimulainya suatu penyidikan, menurut Mahkamah tidak dapat dipisahkan dengan persoalan konstitusionalitas yang terdapat pada dalil permohonan sebelumnya. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut penting terlebih dahulu Mahkamah menegaskan kembali pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU- XVII/2019, yang diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum pada 15 April 2019, yang mempertimbangkan pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13.1] ...Dari beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk terpenuhinya rumusan penyelidikan sebagaimana diuraikan pada ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tersebut di atas, unsur yang mendasar adalah adanya tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan oleh karenanya penyelidik mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dari tindakan lain. Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana.
Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut dipergunakan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya....
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat tindakan penyelidikan oleh pejabat penyelidik mempunyai maksud dan tujuan mengumpulkan bukti atau bukti yang cukup agar dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan. Oleh karenanya jika diperhatikan dengan saksama, doktrin penyelidikan mempunyai arah untuk mewujudkan bentuk tanggung jawab kepada penyelidik, agar dapat dihindari tindakan penyelidik untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum dengan dampak merendahkan harkat dan martabat manusia, baik sebelum maupun pada saat akan dimulainya penegakan hukum....
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan a quo, dapat diperoleh kesimpulan bahwa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP kemudian akan ditindaklanjuti oleh penyelidik/penyidik sesuai kewenangannya dengan melakukan kajian awal tentang ada atau tidaknya peristiwa pidana sehingga laporan tersebut memenuhi persyaratan atau tidak untuk ditindaklanjuti ke tahap berikutnya. Jika setelah melalui proses kajian awal ternyata ditemukan bukti-bukti adanya tindak pidana, maka laporan tersebut akan dilanjutkan ke tahap penyidikan, namun jika terhadap suatu laporan tidak ditemukan peristiwa pidana maka penyelidik akan menghentikan penyelidikan. Adapun terhadap satu laporan yang memenuhi unsur adanya tindak pidana maka untuk dapat dilakukannya penyidikan, salah satu syarat yang dibutuhkan adalah adanya surat perintah penyidikan. Dengan demikian, surat perintah penyidikan yang merupakan dasar dimulainya penyidikan dikeluarkan terhadap satu laporan yang telah dilakukan kajian awal dan telah ditemukan bukti adanya tindak pidana dengan tujuan untuk melakukan penyidikan terhadap laporan tersebut;
Secara doktriner, meskipun terhadap surat perintah penyidikan tidak dikenal atau tidak diatur dalam KUHAP, namun terdapat diskresi (asas freies ermessen) yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara, dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk menggunakan kebijakannya dalam mengatur hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, terkait dengan penyidikan, Kapolri telah menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai legalitas Peraturan Kapolri sebagaimana disebutkan di atas, telah ternyata di dalam Peraturan Kapolri tersebut telah diatur tentang laporan/pengaduan serta surat perintah penyidikan;
Melalui penegasan tersebut, maka pemaknaan norma Pasal 1 angka 24 KUHAP sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, menyebabkan adanya contradictio in terminis. Sebab, terhadap satu laporan apabila harus disertai dengan 1 (satu) surat perintah penyidikan, padahal terhadap satu laporan yang disampaikan kepada penyelidik/penyidik masih membutuhkan kajian awal agar dapat ditentukan kelayakannya untuk dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan yang kemudian pelaksanaannya membutuhkan adanya surat perintah penyidikan, bahkan bisa jadi diperlukan tindakan penyelidikan terlebih dahulu. Dengan demikian, memberikan pemaknaan terhadap definisi kata “laporan” sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelapor ataupun terlapor karena pemaknaan demikian dapat ditafsirkan hilangnya proses kajian awal maupun tahapan penyelidikan guna mengumpulkan bukti-bukti awal yang menentukan apakah laporan tersebut mengandung suatu tindakan pidana atau tidak. Dengan memaksakan setiap laporan sudah harus disertai surat perintah penyidikan, maka sama halnya dengan membiarkan tindakan penegak hukum untuk melakukan upaya-upaya paksa (pro justitia) dalam menindaklanjuti setiap laporan yang belum tentu ada kebenaran tindak pidananya. Sehingga, hal tersebut akan berdampak terlanggarnya harkat dan martabat manusia yang sesungguhnya harus dilindungi dari perampasan akan hak asasinya;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang memohon pemaknaan terhadap norma Pasal 1 angka 24 KUHAP menjadi “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada Pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana” yang dimaknai “satu Laporan Polisi atau Pengaduan yang disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya berkaitan dengan dalil Pemohon yang berpendapat ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “disertai 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon dalam permohonannya baik pada bagian Perihal Permohonan, Kedudukan Hukum, dan Alasan-Alasan Permohonan (Posita) menyebutkan pengujian norma yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya adalah pengujian terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, sedangkan pada angka 3 bagian Petitum Permohonan, Pemohon meminta pemaknaan terhadap Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP. Dengan demikian, terdapat adanya ketidakkonsistenan terhadap permohonan pengujian norma yang diajukan oleh Pemohon, hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan apakah Pemohon meminta pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP secara keseluruhan, karena Pasal 7 ayat (1) KUHAP terdiri dari huruf a sampai dengan huruf j, ataukah Pemohon meminta pemaknaan hanya terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP. Namun demikian, dengan mencermati keterangan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon serta hal-hal yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah dapat memahami apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Pemohon;
Dalam kaitan ini, ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP merupakan bagian dari BAB IV tentang Penyidik dan Penuntut Umum khususnya bagian kesatu tentang penyelidik dan penyidik. Pada bagian kesatu tersebut mengatur tentang siapakah yang dimaksud penyelidik, penyidik, dan penyidik pembantu serta apa tugas, kewenangan, dan kewajibannya masing-masing jabatan tersebut. Adapun ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP mengatur tentang wewenang yang dimiliki oleh penyidik karena kewajibannya yang meliputi menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab [vide Pasal 7 ayat (1) KUHAP];
[3.12.2] Bahwa surat perintah penyidikan sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Pemohon karena tidak diatur dalam KUHAP, pada pelaksanaannya dikeluarkan oleh atasan penyidik yang ditujukan kepada penyidik ataupun penyidik pembantu yang namanya disebutkan dalam surat perintah penyidikan tersebut setelah adanya kesimpulan dari hasil pemeriksaan terhadap suatu laporan bahwa telah terjadi tindak pidana. Surat perintah penyidikan yang sekurang-kurangnya memuat dasar penyidikan, identitas petugas tim penyidik, jenis perkara yang disidik, waktu mulainya penyidikan, dan identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah [vide Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana selanjutnya disebut Perkap 14/2012] dibutuhkan sebagai syarat administrasi penyidikan yang merupakan penatausahaan dan segala kelengkapan yang disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan penyidikan [vide Pasal 10 Perkap 14/2012]. Selanjutnya, surat perintah penyidikan merupakan dasar untuk diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang merupakan pemberitahuan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2017]. Keberadaan surat perintah penyidikan lebih memudahkan penyidik untuk melakukan penyelidikan, pengiriman SPDP, upaya paksa, pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke penuntut umum, penyerahan tersangka dan barang bukti ataupun penghentian penyidikan. Dengan demikian, terbitnya surat perintah penyidikan telah memberikan perlindungan dan jaminan penegakkan hak-hak konstitusional bagi terlapor, pelapor, penyidik, dan penuntut umum;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, telah ternyata surat perintah penyidikan merupakan surat yang dikeluarkan untuk kebutuhan teknis administrasi khususnya terkait dimulainya suatu penyidikan, dan sebagai alat pengaman untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Oleh karena itu, dasar hukum dari terbitnya surat perintah penyidikan apabila Pemohon ingin memaknainya, lebih tepat apabila dikaitkan dengan norma yang mengatur perihal penyidikan, khususnya proses dimulainya suatu penyidikan, bukan terhadap norma yang terkait dengan wewenang dari penyidik, karena esensi dari terbitnya surat perintah penyidikan lebih kepada kebutuhan teknis administrasi bagi pelaksanaan wewenang dari penyidik itu sendiri khususnya pada saat akan dimulainya penyidikan;
[3.12.3] Bahwa selanjutnya setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon, telah ternyata pokok permasalahan yang dihadapi Pemohon adalah lamanya waktu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik sejak ditetapkannya perkara Pemohon memenuhi unsur tindak pidana hingga penetapan Pemohon sebagai Tersangka. Hal mana membuat Pemohon merasa tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil akibat terkatung-katungnya nasib Pemohon dalam waktu kurang lebih selama lima tahun. Terhadap permasalahan tersebut, menurut Mahkamah, hal demikian bukanlah persoalan konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP, namun merupakan permasalahan implementasi dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Oleh karena itu, sepanjang dalam pemeriksaan suatu perkara yang didasarkan pada adanya laporan kemudian berkembang menjadi beberapa perkara dikarenakan sifat dari perkaranya yang melibatkan pihak yang banyak dan terkait dengan tindak pidana lain yang mempunyai kualifikasi yang berbeda-beda, maka hal demikian memungkinkan pemeriksaan perkara memerlukan waktu yang lama dan bertambahnya perkara lebih dari satu perkara. Dengan demikian, dibutuhkan penyidikan tersendiri terhadap dugaan adanya tindak pidana baru tersebut, dan demi memberikan jaminan dan perlindungan hukum serta tertib administrasi pemerintahan yang baik, perlu diterbitkannya surat perintah penyidikan baru untuk mengakomodir segala tindakan administrasi bagi penyidik untuk melaksanakan kewenangannya;
Bahwa meskipun terhadap proses penyidikan a quo disediakan mekanisme kontrol salah satunya melalui lembaga praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang diucapkan pada sidang pleno yang terbuka untuk umum pada 28 April 2015 dan juga upaya hukum praperadilan sebagaimana yang juga telah dilakukan Pemohon, namun tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah penting untuk menegaskan, sekalipun dalam setiap laporan adanya peristiwa pidana, aparat penegak hukum dibenarkan melakukan pengembangan penyidikan sehingga dimungkinkan laporan dimaksud dapat menghasilkan beberapa tindak pidana, maka melalui Putusan a quo diminta kepada aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik untuk tidak menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan proses penyidikan secara proporsional dan profesional. Sehingga, proses penegakkan hukum pidana benar-benar dijalankan dengan penuh kehati-hatian, oleh karenanya pelanggaran atas hak asasi manusia dapat dihindari, baik untuk pelapor, terlapor dan kepentingan umum;
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang memohon pemaknaan terhadap norma Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP menjadi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima Laporan atau Pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana disertai
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP telah ternyata memberikan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, oleh karena itu tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430