Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H., dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Antoni Putra, S.H., M.H., dkk, bertindak secara bersama-sama dan/atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
pengujian formil atas UU 13/2022
pengujian formil atas UU 13/2022
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian formil atas UU 13/2022, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan, serta para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian formil, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan provisi dan pokok permohonan para Pemohon.
Dalam Provisi
[3.9] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya mohon menunda keberlakuan UU 13/2022 dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, oleh karena inkonstitusionalitas proses pembentukan UU 13/2022 baru akan dibuktikan bersama-sama dengan pembuktian pokok perkara, maka kebenaran akan adanya persoalan tata cara pembentukan UU 13/2022 belum dapat dibuktikan, sehingga tidak ada alasan secara hukum untuk menunda pemberlakuan UU 13/2022 dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana permohonan provisi para Pemohon. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum;
Dalam Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses penyusunan UU 13/2022 tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil atau argumentasi para Pemohon selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara):
1. Bahwa menurut para Pemohon, proses pembentukan UU 13/2022 cacat formil/cacat prosedur karena proses pembentukannya tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 serta terdapat pelanggaran dalam pembentukan UU 13/2022 yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka akibat putusan Mahkamah;
b. Proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa dan Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;
c. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok Kementerian Negara;
d. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism.
2. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan pembentukan UU 13/2022 bertentangan dengan UUD 1945.
[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-43, serta 2 (dua) orang ahli, yaitu Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum. dan Bivitri Susanti, S.H., LL.M., yang telah didengarkan keterangannya dalam persidangan pada 17 November 2022, dan menyampaikan satu keterangan tertulis ahli Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM., yang diterima Mahkamah pada 16 November 2022. Selain itu, para Pemohon juga telah menyerahkan kesimpulan bertanggal 21 November 2022 yang diterima Mahkamah pada 22 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara).
[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan pada 8 November 2022 dan telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada 8 November 2022. Selain itu, DPR juga menyampaikan 1 (satu) keterangan tertulis ahli, yaitu Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.H., S.I.P., M.H., M.Si. dan 1 (satu) keterangan tertulis saksi, yaitu Dr. Aminuddin Kasim, S.H., M.H. yang diterima Mahkamah pada 14 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara).
[3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima keterangan tertulis Presiden pada 6 Oktober 2022 dan 10 Oktober 2022 yang telah didengar dalam persidangan pada 10 Oktober 2022. Untuk mendukung dan membuktikan dalilnya, Presiden telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PK-1 sampai dengan bukti PK-3, dan mengajukan 1 (satu) orang ahli, yaitu Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H., dan 1 (satu) orang saksi, yaitu Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., yang keterangan tertulisnya diterima Mahkamah pada 7 November 2022. Selain itu, Presiden juga telah menyerahkan kesimpulan bertanggal 22 November 2022 yang diterima Mahkamah pada 22 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara).
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, DPR, dan Presiden, keterangan saksi DPR dan Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Presiden, kesimpulan tertulis para Pemohon dan Presiden, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan para Pemohon.
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan revisi kedua UU 12/2011 dengan membentuk UU 13/2022 tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka akibat Putusan MK. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024 (vide Bukti PK-1) juncto Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 [vide Bukti PK-3], UU 13/2022 termasuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Prioritas Tahun 2022 (Nomor Urut 23). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, UU 13/2022 pembentukannya telah memenuhi tahapan dan proses pembentukan undang-undang karena perencanaan penyusunannya dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, Kedua Keputusan DPR tersebut telah menunjukkan bahwa pembentukan UU 13/2022 merupakan salah satu rancangan undang-undang dalam Prolegnas. Terlebih lagi, Badan Legislasi DPR sesuai dengan tugas dan fungsinya adalah salah satunya memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR [vide Pasal 105 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 66 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib]. Artinya, rancangan UU 13/2022 telah dibahas di Badan Legislasi DPR adalah sesuai dengan proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya. Di samping itu, berdasarkan keterangan DPR dalam persidangan, diperoleh fakta hukum bahwa pembentukan Undang-Undang a quo adalah dalam rangka menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan bukan menggunakan sistem kumulatif terbuka [vide Keterangan DPR bertanggal 8 November 2022, hlm. 20]. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan proses pembentukan UU 13/2022 tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon a quo, berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 31 Oktober 2022, perihal pengujian formil UU 13/2022 terhadap UUD 1945, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU XX/2022 mengenai permasalahan tersebut, berlaku mutatis mutandis pula untuk pertimbangan hukum di dalam menjawab dalil para Pemohon dalam Perkara a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan pembentukan UU 13/2022 merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok kementerian negara. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa terkait dengan eksistensi Kementerian Negara, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, menyatakan “Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan”. Di samping ketentuan ketentuan tersebut di atas, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, ditegaskan bahwa “Pengaturan mengenai kementerian negara tidak didekati melalui pemberian nama tertentu pada setiap kementerian. Akan tetapi undang-undang ini melakukan pendekatan melalui urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara. Urusan-urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut tidak berarti satu urusan dilaksanakan oleh satu kementerian. Akan tetapi satu kementerian bisa melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Presiden”. Dalam pembentukan UU 13/2022, Presiden telah menunjuk atau menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri untuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan [vide Keterangan DPR bertanggal 8 November 2022, hlm. 53]. Sementara itu, berdasarkan keterangan Pemerintah dalam persidangan, Presiden juga memiliki kewenangan menugaskan menteri untuk mewakili pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahwa pembahasan suatu rancangan undang-undang tetap dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, in casu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bersama dengan menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang [vide Keterangan Presiden bertanggal 6 Oktober 2022 dan Risalah Sidang Perkara Nomor 82/PUU XX/2022 bertanggal 10 Oktober 2022]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah penugasan terhadap seorang menteri untuk melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Presiden dalam rangka pencapaian tujuan negara, adalah hal yang dapat dibenarkan karena Presiden menggunakan kewenangannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang dalam pelaksanaan kewajibannya tersebut dibantu para menteri sesuai dengan dinamika kebutuhannya. Terlebih lagi, berdasarkan fakta hukum di dalam persidangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bukanlah satu-satunya perwakilan Pemerintah untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang a quo melainkan bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, beserta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 13/2022 merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok kementerian negara adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 13/2022 adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa pembentukan Undang-Undang a quo berangkat dari semangat untuk menyempurnakan peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang undangan yang sesuai dengan perkembangan hukum dan untuk menampung kebutuhan masyarakat serta perkembangan dinamika legislasi. Semangat tersebut bersamaan dengan penyusunan kajian teoritis dan praktik empiris terhadap 2 (dua) tema besar, yakni metode omnibus law dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi informasi sehingga tidak bersifat konservatif sebagaimana dilakukan sebelumnya. Dalam praktik pembentukan peraturan perundang undangan terdapat beberapa permasalahan, di antaranya belum diakomodasinya metode penyusunan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law sebagai implikasi dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Menurut Mahkamah, upaya mengakomodasi metode baru tersebut untuk menghindari pembentukan undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang tindih, tidak efektif dan tidak efisien sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Oleh karena itu, sepanjang semangat untuk menciptakan kepastian hukum dimaksud tetap mempertahankan esensi dengan tidak memutuskan mata rantai dari setiap hakikat undang-undang yang dibentuk dengan menggunakan metode omnibus law, maka kekhawatiran para Pemohon berkaitan dengan pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism adalah sesuatu yang tidak beralasan karena dalam pembentukannya tetap bersumber dan berlandaskan pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Terlebih lagi, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, dan tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas substansi atau norma dari Undang-Undang yang bersangkutan, telah ternyata pengaturan metode omnibus law memberikan efek yang positif dalam pembentukan undang-undang dan pembangunan hukum nasional. Dengan demikian, pengaturan mekanisme partisipasi masyarakat memberikan dampak positif untuk mewujudkan prinsip good governance dalam proses legislasi yang demokratis dan transparan. Hal tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas, berkaitan dengan hal tersebut telah ternyata proses pembentukan UU 13/2022 jauh lebih luas penerapan asas keterbukaannya dibandingkan dengan UU 12/2011; Berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 13/2022 menjadikan pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat telah ternyata proses pembentukan UU 13/2022 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 13/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430