Rega Felix, yang berprofesi sebagai Advokat
Pasal 25 UU SBSN beserta penjelasannya
Pasal 28 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008, Pemohon mengemukakan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan Pemohon selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
1. Bahwa menurut Pemohon, pengertian “prinsip-prinsip syariah” dengan melihat kepada penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 yang menyatakan, “"lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah" adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah.” memberikan makna yaitu banyaknya jumlah lembaga yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Hal ini menunjukan pluralitas prinsip syariah itu ditentukan dari pluralitas lembaga yang mempunyai kewenangan;
2. Bahwa menurut Pemohon, konstruksi berpikir Pasal 25 UU 19/2008 dan penjelasannya sangat rancu karena konteksnya adalah ketika Pemerintah membutuhkan legitimasi prinsip syariah dari otoritas agama, tetapi justru penentuan apakah otoritas agama tersebut memiliki legitimasi menetapkan fatwa prinsip syariah ditentukan oleh penunjukan Pemerintah itu sendiri. Dengan demikian, justru sebenarnya Pemerintah yang memiliki legitimasi untuk menentukan prinsip syariah yang diakui yang tidak lain justru kewenangan untuk menetapkan prinsip syariah itu sendiri;
3. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 25 UU 19/2008 mewajibkan menteri untuk meminta fatwa sebelum menerbitkan Sukuk Negara, maka berimplikasi pada fatwa tersebut merupakan penentu sah atau tidak sahnya Sukuk Negara yang diterbitkan. Dalam hal ini dapat dilihat politik hukum UU 19/2008 dengan UU 21/2008 berbeda, dimana dalam UU 21/2008 telah ditentukan lembaga yang berwenang menerbitkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sementara dalam UU 19/2008 tidak menentukan demikian;
4. Bahwa menurut Pemohon, berdasarkan amanat konstitusi serta didukung dengan hasil kajian akademis seharusnya makna Pasal 25 UU 19/2008 beserta penjelasannya adalah bukan memberikan kewenangan kepada Pemerintah (negara) untuk menunjuk lembaga fatwa mana yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Justru penetapan prinsip syariah terkait dengan ekonomi syariah merupakan bentuk tanggung jawab dari negara itu sendiri. Namun, mengingat saat ini banyak undang-undang yang menyatakan kedudukan MUI, serta belum adanya lembaga negara yang tersedia untuk melaksanakan kewenangan penetapan prinsip syariah dalam konteks ekonomi syariah, maka agar tidak terjadi kekacauan (kekosongan hukum) makna kewenangan MUI tersebut masih dapat dilaksanakan dengan arti bersifat sementara dengan tidak mengurangi kewajiban negara untuk membentuk lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk itu. Kebijakan hukum ini adalah suatu kebijakan yang bersifat terbatas karena hanya bersifat transisional. Negara beralih dari yang sebelumnya hanya sebatas engaged menjadi proactive dalam mengembangkan ekonomi syariah bukanlah sesuatu yang inkonstitusional, melainkan sesuatu yang seharusnya dapat dilakukan.;
5. Bahwa atas uraian di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah, sebagai berikut: 49
a. Menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “prinsip syariah”;
b. b. Menyatakan frasa “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
c. c. Menyatakan frasa “yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”;
[3.8] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P -28.
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon telah jelas maka dengan berdasar pada Pasal 54 UU MK menurut Mahkamah tidak terdapat urgensi untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK tersebut.
[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa dalil-dalil pokok permohonan Pemohon masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah:
1. Apakah benar frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 konstitusional apabila dimaknai “prinsip syariah”;
2. Apakah benar frasa “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan UUD 1945;
3. Apakah frasa “yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 konstitusional apabila dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”.
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 inkonstitusional apabila tidak dimaknai “prinsip syariah”, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist serta Ijma, instrumen pembiayaan syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Karakteristik lain dari penerbitan instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang diterbitkan oleh korporasi maupun negara adalah Surat Berharga berdasarkan prinsip syariah atau lebih dikenal dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan syariah ini berbeda dengan surat berharga konvensional. Salah satu perbedaan prinsipnya adalah digunakannya konsep imbalan dan diperlukannya sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan transaksi dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip syariah [vide Paragraf 3 dan Paragraf 4 Penjelasan Umum UU 19/2008]. Dengan demikian, sukuk atau lebih dikenal sebagai obligasi syariah adalah instrumen keuangan berupa surat berharga yang merupakan bukti kepemilikan atas aset, baik itu berupa tangible, intangible ataupun kontrak proyek dari aktivitas tertentu yang mewajibkan emiten membayar pendapatan bagi hasil kepada pemegang sukuk dan membayar kembali sukuk sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang sudah disepakati. Sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi konvensional, yaitu dalam kegiatan mulai dari transaksi diterbitkannya sampai pada aktivitas penyerahan hasil harus sesuai dengan prinsip syariah, antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat serta harus terbebas dari berbagai unsur larangan, antara lain riba, maysir, dan gharar. Berdasarkan hal tersebut, maka penerbitan Sukuk Negara atau SBSN harus memenuhi prinsip syariah.
Tujuan penerbitan Sukuk Negara adalah mendapatkan dana masyarakat di luar pajak yang kemudian kumpulan dana tersebut digunakan untuk membiayai program pembangunan nasional. Penerbitan Sukuk Negara tidak hanya bermanfaat bagi negara tetapi juga bagi warga negara karena dapat digunakan sebagai sarana berinvestasi sekaligus membantu pemerintah dalam menyelesaikan program pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan penerbitan sukuk dan untuk mendukung perkembangan keuangan syariah maka pemerintah kemudian membentuk UU 19/2008 yang mengatur secara khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN. Dengan berlakunya UU 19/2008 maka menjadi dasar hukum (legal basis) bagi penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang akan menggunakan Sukuk Negara dalam berinvestasi berdasarkan prinsip syariah di mana hak warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam dalam menjalankan sistem ekonominya mengacu pada Al Qur’an, Hadist, dan Ijma pun menjadi lebih dilindungi oleh negara. [3.11.2] Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan apakah frasa “prinsip-prinsip syariah“ dalam Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah, secara umum prinsip syariah dalam transaksi keuangan terdiri dari Ta’awun yaitu prinsip kemitraan, Kemaslahatan yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat, Tawazun yaitu prinsip kesatuan dan saling bekerja sama, prinsip saling ridho yaitu tidak ada paksaan dalam menjalani perjanjian yang telah ditetapkan, dan Rahmatan lil ‘Alamiin yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat bagi siapa saja. Salah satu prinsip syariah yang diterapkan dalam Sukuk Negara atau SBSN adalah transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat sebagaimana yang dimuat dalam Penjelasan Umum UU 19/2008 yang telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.11.1]. Sehingga, jika dicermati secara substansi maka frasa “prinsip syariah” atau frasa “prinsip-prinsip syariah” sebenarnya adalah sama, yaitu menunjukan sesuatu yang jamak dan tidak tunggal. Penggunaan frasa “prinsip syariah” dalam arti jamak juga digunakan dalam Peraturan Pelaksanaan dari UU 19/2008, yaitu dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Dengan Cara Bookbuilding Di Pasar Perdana Dalam Negeri menyebutkan bahwa dalam melakukan kegiatan penerbitan dan penjualan SBSN dengan cara bookbuilding harus mencantumkan pernyataan kesesuaian SBSN dengan prinsip syariah dalam dokumennya. Oleh karena itu, UU 19/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, karena secara substansi keseluruhan UU 19/2008 adalah bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional warganya yang diamanahkan oleh UUD 1945. Terlebih lagi, frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak menjadikan Pemohon tidak dapat melaksanakan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pemohon tetap dapat melakukan transaksi keuangan berupa pembelian Sukuk Negara sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagai pelaksanaan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penggunaan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. [3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan inkonstitusional frasa “yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia” dan frasa “lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah“ dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUXIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 22 Agustus 2022 dalam pertimbangan hukum halaman 220 menyatakan: “Bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama tidak terlepas dari ketentuan konstitusi, dalam hal ini norma Pasal 29 UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, seluruh umat beragama, termasuk umat Islam berhak menjalankan agama dan beribadah menurut agamanya… dst”
Lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XIX/2021, Mahkamah telah pula menjelaskan berkait dengan tugas MUI, yaitu:
Bahwa MUI yang merupakan wadah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim adalah lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Pemberian atau penetapan fatwa MUI dilakukan atas permintaan (istifta) dari peminta fatwa (mustafti) baik secara pribadi, organisasi masyarakat, atau pemerintah. Dalam menetapkan fatwa di bidang keuangan syariah, hal ini dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Tugas DSN MUI adalah untuk menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa di lembaga perekonomian, keuangan, dan bisnis syariah serta mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha di bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah. Selain dilakukan secara kolektif oleh DSN MUI, penetapan fatwa dalam hal tertentu melibatkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Adapun DSN MUI ini diisi oleh para ulama, praktisi, dan para pakar yang memenuhi kualifikasi tertentu di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, Fiqh Muqorin, keuangan, bisnis, 223 perekonomian syariah, dan berkemampuan dalam penetapan hukum (istinbath hukum). Produk hukum yang dihasilkan oleh DSN MUI kemudian ditetapkan sebagai fatwa MUI yang didasarkan pada Al-Quran, Sunnah (Al-Hadis), Ijma, dan Qiyas serta dalil lain yang kokoh (mu’tabar). Tegasnya penetapan fatwa MUI dilakukan oleh para ahli yang memenuhi kualifikasi mujtahid dan dilakukan secara kolektif. Fatwa DSN MUI bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Persyaratan, sifat, metode, serta prosedur penetapan fatwa yang sedemikian ketat adalah agar diperoleh hasil yang akan bermanfaat bagi kemaslahatan umum (maslahatul ammah) dan sesuai dengan intisari ajaran agama Islam (maqashid alsyariah)…dst.
Melalui pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUXIX/2021 tersebut, Mahkamah memberikan penegasan bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama merupakan bagian dari pelaksanaan konstitusi khususnya Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Terkait dengan hal itu, Mahkamah menegaskan pula bahwa MUI merupakan lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan, salah satunya adalah permasalahan di bidang keuangan syariah. Sehingga, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 yang menyebutkan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah salah satunya MUI adalah sudah tepat karena salah satu tugas MUI adalah memberi fatwa di bidang keuangan syariah. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 memberi legitimasi kepada Pemerintah untuk menunjuk lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah selain MUI dan hal itu tidak dimaksudkan untuk membuat ketidakjelasan tetapi justru memberikan kepastian hukum terhadap fatwa yang diberikan dengan syarat sepanjang lembaga tersebut merupakan lembaga yang dimintai pendapatnya oleh Pemerintah.
Setelah Mahkamah membaca secara saksama dalil Pemohon a quo, hal yang diinginkan Pemohon justru telah diakomodir oleh pembentuk undang-undang melalui Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 di mana norma a quo memberikan landasan dan legitimasi kepada Pemerintah ketika akan membentuk lembaga lain selain MUI untuk memberi fatwa dalam rangka penerbitan Sukuk Negara. Sehingga, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 memberikan kepastian hukum bagi warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam apabila ingin menggunakan Sukuk Negara sebagai instrumen investasinya. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 khususnya frasa “lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah“ dan frasa “Yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum, ketidakterlindunginya hak dalam menjalankan kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaannya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430