Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Di Tolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 98/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2019 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-11-2022

Irfan Kamil (wartawan) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada VST and Partners, Advocates & Legal Consultans, untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal 273 ayat (1) UU 22/2019

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 22/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung pembangunan serta mengintegrasikan wilayah Indonesia. Oleh karena itu, lalu lintas dan angkutan jalan perlu dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggara negara [vide Penjelasan Umum UU 22/2009].
Bahwa lalu lintas dan angkutan jalan selain harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum, juga harus memerhatikan nilai keselamatan semua orang. Oleh karenanya sebagai bagian dari sistem transportasi nasional lalu lintas harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanaan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah [vide Konsiderans Menimbang huruf b UU 22/2009]. Hal ini kemudian dengan tegas diatur dalam Pasal 3 huruf a UU 22/2009 yang pada pokoknya menyatakan salah satu tujuan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan adalah untuk terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar dan terpadu dengan moda angkutan lain agar dapat mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.
]3.11.2] Bahwa dalam kaitan dengan tujuan di atas, UU 22/2009 telah merumuskan pula mengenai kecelakaan lalu lintas dalam Pasal 1 angka 24 UU 22/2009 yang didefinisikan sebagai suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas ini yang kemudian menjadi kekhawatiran Pemohon sebagai pengguna jalan yang sehari-hari bekerja menggunakan kendaraan bermotor di jalan dan menemukan jalanan rusak yang berpotensi menyebabkan kecelakaan. Kecelakaan merupakan potensi kerugian hak konsitusional yang Pemohon anggap potensial akan dialami jika frasa “penyelenggara jalan” dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 tidak mendapat pemaknaan yang kemudian menjadi persoalan konstitusional dalam permohonan a quo;
[3.11.3] Bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusional Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mencermati esensi norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 yang dimohonkan pengujian yaitu, “Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”. Ketentuan a quo adalah ketentuan sanksi yang menjadi ancaman atas pelanggaran aturan norma pokok yang diatur dalam Pasal 24 UU 22/2009, yang pada pokoknya menentukan 2 (dua) hal esensial yakni kewajiban bagi penyelenggara jalan untuk segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas [vide Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009]. Apabila perbaikan jalan yang rusak tersebut belum dapat dilakukan maka penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas [vide Pasal 24 ayat (2) UU 22/2009]. Selanjutnya, Pemohon mempersoalkan siapa yang dimaksud dengan penyelenggara jalan yang menjadi subjek norma dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 juncto Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009. Pemohon dalam dalil permohonannya mempersoalkan tidak dijelaskannya siapa yang dimaksud penyelenggara jalan baik dalam Penjelasan Pasal 273 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009, serta pada Bagian Ketentuan Umum UU 22/2009. Oleh karenanya dipertanyakan siapa yang akan dipidana jika melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009 dimaksud.
[3.11.4] Bahwa menurut Mahkamah sekalipun Pasal 273 ayat (1) tidak menjelaskan frasa “penyelenggara jalan” dalam Penjelasan pasal dan dalam ketentuan umum tidak serta merta mengakibatkan norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 menjadi inkonstitusional. Untuk memahami suatu undang-undang secara komprehensif tidaklah dapat dibaca secara parsial atau terpisah antara norma yang satu dengan lainnya karena dalam sebuah undang-undang norma-norma tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Bahwa dalam kaitan ini UU 22/2009 telah mengatur mengenai pertanggungjawaban lalu lintas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UU 22/2009 bahwa negara bertanggung jawab atas lalu lintas dan angkutan jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah. Kemudian, Pasal 5 ayat (3) UU 22/2009 mengatur lebih lanjut pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan yang menjadi tanggung jawab negara tersebut di mana pelaksanaannya dilakukan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing urusan yang dimiliki instansi penanggung jawab. Dalam hal ini, yaitu: urusan pemerintahan di bidang jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang jalan; urusan pemerintahan di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri lalu lintas dan angkutan jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi lalu lintas dan angkutan jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bahwa pembagian urusan pembinaan tersebut dimaksudkan agar tugas dan tanggung jawab setiap pembina bidang lalu lintas dan angkutan jalan lebih jelas dan transparan sehingga penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dapat terlaksana dengan selamat, aman, tertib, lancar, dan efisien, serta dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (1) UU 22/2009 mengatur mengenai pembinaan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) UU a quo yang meliputi: a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem lalu lintas dan angkutan jalan nasional; b. penetapan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang berlaku secara nasional; c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang lalu lintas dan angkutan jalan secara nasional; d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Bahwa berdasarkan aturan di atas, kewenangan instansi pembina yakni pemerintah pusat adalah kebijakan-kebijakan di tingkat pusat, sedangkan kewenangan untuk pelaksanaan pembinaan pada tingkatan provinsi dan kabupaten/kota telah ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) UU 22/2009 yang pada pokoknya menyatakan dalam melaksanaan pembinaan, pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau 29 pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) UU 22/2009 yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 6
(3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.
(4) Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.

Bahwa oleh karena itu telah jelas pemerintah sebagai instansi pembina dapat melakukan pembagian urusan pada pemerintah daerah baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengaturan mengenai penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dalam pelayanan langsung kepada masyarakat yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 22/2009, yaitu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat. Dalam rangka mengatur lebih lanjut pembagian urusan pemerintah pusat ke pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota tersebut, kemudian ditentukan mengenai rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang dibagi menjadi: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota [vide Pasal 14 ayat (3) UU 22/2009]. Demikian juga dengan rencana tata ruang wilayah juga dibagi berdasarkan wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota, serta kewenangan untuk menetapkan kelas jalan juga dibagi berdasarkan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten dan jalan kota [vide Pasal 20 ayat (1) UU 22/2009].
Bahwa dengan demikian, menurut Mahkamah terhadap persoalan yang didalilkan Pemohon mengenai siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009, meskipun tidak dapat dirujuk langsung dalam Penjelasan Pasal a quo maupun dalam ketentuan umum, namun dari ketentuan-ketentuan yang telah dijabarkan dalam UU 22/2009 maka pengaturan mengenai penyelenggara jalan telah diakomodasi dengan jelas. Bahwa pengaturan mengenai jalan selain diatur dalam UU 22/2009 sesuai dengan kebutuhan pengaturan dalam lalu lintas angkutan jalan, juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU 38/2004) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU 2/2022). Sebagai UU yang bersifat lex specialis maka pengaturan mengenai jalan secara lebih spesifik bisa ditemukan dalam UU a quo. Oleh karenanya dalam membaca ketentuan yang terkait dengan jalan dalam UU 22/2009 tidak boleh dilepaskan dengan UU tentang Jalan. Mengenai penyelenggara jalan yang dipersoalkan oleh Pemohon dengan tegas didefinisikan dalam Pasal 1 angka 3 UU 2/2022, yaitu pihak yang melakukan pengaturan pembinaan, pembangunan, pengawasan jalan sesuai dengan kewenangan. Sementara itu, berkenaan dengan pembagian dan pengelompokan jalan juga telah diatur secara terperinci dalam UU 2/2022. Bahkan, pengaturan mengenai pemeliharaan jalan dan perbaikan kerusakan jalan juga diatur dalam UU 2/2022. Persoalan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kerusakan jalan yang Pemohon persoalkan pun terjawab dalam UU 2/2022. Selain UU tentang Jalan, pengaturan teknis mengenai jalan juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (PP 34/2006). Dengan demikian, dalil yang menjadi kekhawatiran Pemohon atas potensi kerugian konstitusional yang potensial akan dialami akibat inkonstitusionalitas norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 menurut Mahkamah adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.11.5] Bahwa terhadap petitum Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar memaknai frasa “penyelenggara jalan” menjadi “Bahwa Penyelenggara Jalan antara lain Penyelenggara Jalan Nasional adalah Presiden dan/atau Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang jalan, Penyelenggara Jalan Provinsi adalah Pemerintah Daerah yang dilaksanakan oleh Gubernur, Penyelenggara Jalan Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”, menurut Mahkamah justru pemaknaan demikian akan mempersempit subjek hukum dari ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009 yang mengatur kewajiban penyelenggara jalan untuk memperbaiki kerusakan jalan, dan juga ancaman sanksi yang diatur dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009. Terlebih lagi, dalam UU 2/2022 telah diatur mengenai pembagian jalan berdasarkan peruntukannya yaitu jalan umum, dan jalan khusus, dan pembagian jalan umum berdasarkan fungsinya yaitu jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Sedangkan pembagian jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa yang merupakan pembagian jalan umum berdasarkan statusnya hanya sebagian dari jenis jalan yang diatur dalam UU 2/2022. Sehingga, jika mempersempit subjek hukum terhadap kerusakan jalan sebagaimana petitum Pemohon justru menjadi kontraproduktif dengan keinginan Pemohon sendiri untuk mendapatkan perlindungan sebagai pengguna jalan. Dengan kata lain, petitum Pemohon yang demikian, menjadi bertentangan dengan kehendak Pemohon dalam posita permohonannya.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.