Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 87 huruf b UU MK
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 angka 1 dan angka 2 UU 7/2020, dan Pasal 87 huruf b UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan permohonan Pemohon sangat urgent untuk diputus karena berkaitan dengan independensi Hakim Konstitusi karena berkaitan dengan tindakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang melakukan pergantian Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dengan cara maupun prosedur di luar ketentuan Pasal 23 UU MK, sehingga perkara a quo perlu pemeriksaan sangat prioritas dan segera menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan yang bertujuan mengganti Hakim Konstitusi. Terhadap alasan permohonan Provisi Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat perkara a quo telah diperiksa dan diputus secara cepat, namun Mahkamah tidak sependapat bahwa alasan untuk mempercepat tersebut adalah dikarenakan adanya kasus konkret yang berkaitan dengan pemberhentian hakim yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 UU MK. Di samping itu, pendirian Mahkamah selama ini berkenaan dengan putusan provisi adalah dikarenakan adanya kepentingan mendesak untuk menangguhkan berlakunya suatu norma agar tidak semakin berdampaknya norma tersebut apabila dibiarkan tetap berlaku. Oleh karena itu, permohonan Provisi Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.8]…
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 87 huruf b UU MK yang menurut Pemohon bertentangan secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana terurai pada Paragraf [3.8]. Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK yang pada pokoknya menjelaskan kewenangan Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 apabila tidak dimaknai termasuk pengaduan konstitusional (constitutional complaint) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa terkait dengan persoalan pengaduan konstitusional, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 November 2019, mempertimbangkan sebagai berikut.
[3.12] Menimbang bahwa sebelum memberikan pertimbangan lebih jauh terhadap pokok permohonan para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal yang berkait dengan fungsi Mahkamah sebagai penafsir konstitusi dan sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara, dalam hal ini bukan hanya hak-hak konstitusional yang diturunkan dari hak-hak yang tergolong sebagai hak asasi manusia tetapi juga hak-hak lain yang oleh Konstitusi (in casu UUD 1945) dinyatakan sebagai hak konstitusional warga negara, baik secara eksplisit maupun implisit. Pertimbangan terhadap hal-hal tersebut harus diberikan karena para Pemohon menggunakannya sebagai titik tolak dalil-dalil yang dibangun dalam permohonannya. Atas dasar itu para Pemohon kemudian mendalilkan bahwa Mahkamah harus diberi kewenangan mengadili pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dengan argumentasi bahwa pengaduan konstitusional adalah bagian dari pengujian undang-undang sehingga Mahkamah dapat “memperluas” kewenangannya yang karenanya mencakup kewenangan mengadili pengaduan konstitusional melalui penafsiran konstitusional terhadap penjelasan undang-undang. Dalam hubungan ini, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal berikut:
[3.12.1] Bahwa para Pemohon menyatakan Mahkamah sebagai penafsir konstitusi. Pernyataan demikian adalah benar adanya. Sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi (supremacy of the constitution), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari syarat negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state), secara umum berlaku postulat bahwa praktik penyelenggaraan negara tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dengan kata lain, konstitusi harus benar-benar terjelma dalam praktik penyelenggaraan negara, bukan sekedar sebagai “dokumen suci” yang tertulis indah di atas kertas. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang akan menjaga bahwa konstitusi benar-benar ditaati dalam praktik penyelenggaraan negara? Kecuali di negara-negara yang menganut prinsip supremasi parlemen (parliamentary supremacy), jawaban atas pertanyaan itu adalah pengadilan – terlepas dari soal apakah pengadilan itu dilembagakan tersendiri ke dalam wujud mahkamah konstitusi atau tidak. Dari dasar pemikiran inilah peran Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution) berasal. Dari dasar pemikiran ini pula lahir ajaran atau doktrin supremasi pengadilan (judicial supremacy), ajaran yang saat ini telah umum diterima sebagai prinsip atau asas di negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang menganut atau memberlakukan prinsip supremasi konstitusi, termasuk Indonesia. Prinsip supremasi pengadilan ini diterima dalam penafsiran konstitusi sebab jika semua lembaga negara sama-sama diberi kewenangan untuk menafsirkan masalah-masalah yang berkait dengan konstitusi maka yang akan terjadi adalah pertengkaran atau pertikaian politik (political bickering) tanpa akhir. Hal itu bukan berarti lembaga-lembaga atau organ-organ negara lainnya tidak boleh memberi penafsiran terhadap konstitusi dalam pelaksanaan kewenangannya. Hak demikian tetap ada pada setiap lembaga atau organ negara namun penafsiran terakhir yang mengikat adalah penafsiran yang dibuat oleh pengadilan, in casu Mahkamah Konstitusi.
Peran menafsirkan konstitusi tidaklah dilakukan oleh pengadilan (Mahkamah Konstitusi) sebagai kegiatan tersendiri melainkan bersamaan dengan pelaksanaan kewenangannya mengadili perkara-perkara konstitusi yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangannya. Menafsirkan konstitusi, secara umum, adalah kegiatan mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkannya melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepada pengadilan, in casu Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, melalui putusan-putusan Mahkamah Konstitusi atas kasus-kasus yang berada dalam lingkup kewenangannya itulah ditemukan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas elaborasinya terhadap pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi. Dengan demikian, dalam menafsirkan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dibatasi oleh kewenangan yang dimilikinya, meskipun kewenangan itu sendiri juga tunduk pada penafsiran Mahkamah Konstitusi karena acapkali konstitusi tidak memberi pengertian dan batas-batas yang tegas dari kewenangan dimaksud.
[3.12.2] Bahwa para Pemohon menyatakan Mahkamah adalah pelindung hak-hak konstitusional warga negara. Pernyataan ini pun benar adanya. Sebab, tatkala suatu hak ditegaskan oleh atau dimasukkan ke dalam Konstitusi, in casu UUD 1945, hak-hak tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Konstitusi. Oleh karena itu, seluruh cabang kekuasaan negara dan warga negara terikat oleh kewajiban konstitusional untuk taat kepadanya, dalam pengertian menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dimaksud. Mahkamah, sebagaimana halnya mahkamah konstitusi di berbagai negara, dibentuk dengan maksud menjamin penaatan terhadap Konstitusi. Oleh karena itu, dengan sendirinya termasuk di dalamnya menjamin penaatan terhadap keberadaan hak-hak konstitusional dimaksud. Namun, dalam melaksanakan peran ini pun Mahkamah dibatasi oleh kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Konstitusi.
[3.12.3] Bahwa para Pemohon menyatakan pengaduan konstitusional merupakan bagian dari pengujian undang-undang. Secara akademik, pernyataan ini juga benar adanya. Sebab, baik pengujian konstitusionalitas undang-undang maupun pengaduan konstitusional pada dasarnya adalah bagian dari pengujian konstitusional (constitutional review) yang merupakan fungsi utama mahkamah konstitusi di manapun di dunia. Dari fungsi constitutional review inilah diturunkan dua “tugas” utama Mahkamah Konstitusi. Pertama, menjamin bekerjanya hubungan saling mempengaruhi dan saling mengimbangi antarcabang kekuasaan negara, dengan kata lain menjaga bekerjanya mekanisme “checks and balances” antarcabang kekuasaan negara. Dalam konteks Indonesia, dari tugas inilah diturunkan kewenangan Mahkamah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kedua, tugas untuk melindungi hak-hak individu warga negara dari kemungkinan pelanggaran oleh cabang-cabang kekuasaan negara. Dalam konteks Indonesia, dari tugas inilah diturunkan, antara lain, kewenangan Mahkamah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam sistem hukum sejumlah negara, dari tugas ini pula diturunkan kewenangan mengadili pengaduan konstitusional yang acapkali bertaut erat dengan kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang.
Mencermati pertimbangan hukum di atas, secara substansial, menurut Mahkamah pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XVII/2019 telah menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Mahkamah dalam kedudukannya adalah sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution) dan sekaligus pelindung hak-hak konstitusional (guardian of constitutional rights) memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, Mahkamah pun menyadari, pengaduan konstitusional merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal ini, pengaduan konstitusional merupakan suatu wadah bagi warga negara yang merasa hak konstitusionalnya atau hak yang diberikan oleh konstitusi dilanggar atau diabaikan dalam penyelenggaraan negara.
Sekalipun menyadari arti penting pengaduan konstitusional, politik hukum ketentuan judicial review di Indonesia pada dasarnya menganut dua lembaga secara terpisah yang berwenang menilai atau menguji peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sementara itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Ihwal pengaduan konstitusional sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945. Meskipun dalam praktik, sejumlah fakta menunjukkan, beberapa perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke Mahkamah, secara substansi merupakan pengaduan konstitusional. Namun dikarenakan UUD 1945 dan UU MK termasuk sejumlah undang-undang dalam rumpun kekuasaan kehakiman tidak mengatur perihal kewenangan untuk menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional, Mahkamah menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa permohonan-permohonan dimaksud.
Dengan telah adanya sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya telah berpendirian bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa permohonan pengaduan konstitusional, di satu sisi telah menyebabkan kekosongan hukum untuk memenuhi dan sekaligus menjawab kebutuhan dimaksud. Sementara di sisi lain, kebutuhan menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional adalah sebuah keniscayaan dalam melindungi hak-hak konstitusional warga dan sekaligus sebagai salah satu wujud nyata pemenuhan prinsip negara hukum. Keniscayaan demikian tidak dapat dilepaskan dari ketentuan dan sekaligus amanah dari norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, diperlukan dasar hukum yang jelas dan tegas berkenaan dengan pengaduan konstitusional dimaksud.
Jikalau dibaca secara keseluruhan substansi permohonan perihal norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, Pemohon menghendaki agar norma a quo juga dimaknai termaktub pengaduan konstitusional di dalamnya. Dalam batas penalaran yang wajar, jika dimaknai sebagaimana yang dikehendaki Pemohon tersebut, maka Mahkamah secara langsung akan menambah kewenangan Mahkamah. Berkenaan dengan hal tersebut, untuk saat ini Mahkamah berpendirian, menjadi lebih baik jika kewenangan pengaduan konstitusional dimaksud ditambahkan oleh pembentuk undang-undang dengan cara merevisi UU MK. Pilihan demikian menjadi masuk akal karena pengaduan konstitusional tidak hanya sekadar menambahkan kewenangan tetapi harus dipertimbangkan secara lebih komprehensif kemungkinan-kemungkinan konsekuensinya dalam desain besar penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman. Pertimbangan demikian lebih mungkin dilakukan oleh pembentuk undang-undang dengan melibatkan partisipasi berbagai pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK yang pada intinya menghendaki wewenang Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 termasuk dimaknai pengaduan konstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13.2] Bahwa Pemohon juga mendalilkan frasa “amar putusan” dalam Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK inkonstitusional karena paradigma yang terbentuk saat ini pihak eksekutor hanya menjalankan apa yang ada dalam amar putusan tanpa memperhatikan pertimbangan putusan. Menurut Pemohon, pertimbangan hukum dalam judicial review memiliki kekuatan hukum mengikat yang sama dengan Amar Putusan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum yang adil. Terhadap permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Bahwa rumusan norma dalam Pasal 57 ayat (1) UU MK telah jelas dan tegas mengatur Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai menyatakan inkonstitusionalnya pengujian materiil suatu undang-undang terhadap UUD 1945, sedangkan Pasal 57 ayat (2) UU MK adalah mengatur Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai menyatakan inkonstitusionalnya pengujian formil suatu undang-undang. Dengan demikian, jika suatu undang-undang, baik materi muatan maupun pembentukannya, terbukti bertentangan dengan UUD 1945 maka guna menegakkan prinsip supremasi konstitusi yang dilaksanakan melalui pengadilan yang bebas dan merdeka, kepada Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat;
2. Bahwa terkait dengan Putusan Mahkamah, berdasarkan Pasal 48 ayat (2) UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat a. kepala putusan berbunyi; “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, b. identitas pihak, c. ringkasan permohonan, d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan, e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, f. amar putusan; dan g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera. Dengan demikian, dalam menentukan Amar Putusan yang bersifat final and binding (terakhir dan mengikat) dibutuhkan dasar putusan yang terletak dalam pertimbangan hukum. Selain itu, pertimbangan hukum tersebut dapat dianggap sebagai tafsir atau interpretasi hakim terhadap suatu perkara berdasarkan UUD 1945;
3. Bahwa terdapat dua jenis pertimbangan hukum, pertama adalah ratio decidendi, yaitu pendapat hukum yang langsung berkaitan dengan kesimpulan dan amar sehingga tidak dapat dipisahkan dari amar putusan serta mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan kedua adalah obiter dictatum, yaitu pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung dengan perkara maupun dengan amar putusan serta tidak mengikat. Oleh karenanya, jika dalam pertimbangan hukum telah ditemukan adanya persoalan konstitusionalitas norma maka akan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah tidak ada permasalahan konstitusionalitas norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon serta tidak terdapat pula relevansinya dalil Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma Pasal a quo. Oleh karenanya telah jelas apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, justru akan mengubah konstruksi norma UU MK karena berdampak pada norma lainnya. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK adalah tidak beralasan menurut hukum
[3.13.3] Bahwa selanjutnya Pemohon memohon kepada Mahkamah agar norma Pasal 87 huruf b UU MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan lain dari yang termaktub dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 Paragraf [3.22] hlm. 130, yakni Hakim Konstitusi yang sedang menjabat melanjutkan masa jabatannya tanpa mengenal periodisasi sehingga tidak dapat digantikan atau diberhentikan di luar dari ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang a quo. Berkenaan dengan permohonan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Secara normatif, Pasal 87 huruf b UU MK menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: b. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun”. Dalam perkembangannya, norma Pasal 87 huruf b UU MK tersebut diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh beberapa Pemohon, di antaranya dalam Permohonan Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Setelah melalui serangkaian persidangan, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan berkenaan dengan norma Pasal 87 huruf b UU MK. Artinya, Mahkamah Konstitusi menyatakan norma Pasal 87 huruf b UU MK adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional). Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan norma Pasal 87 huruf b UU MK dapat ditelisik dalam Paragraf [3.18] yang antara lain menyatakan:
“…, Mahkamah dapat memahami bahwa keberadaan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah sebagai norma “jembatan/penghubung” dalam rangka memberlakukan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 yang mengubah Pasal 15 UU 8/2011. Dapat juga dikatakan bahwa dari sisi penafsiran sistematis, Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” yang mentransformasikan konsep lama menjadi konsep baru. Anutan konsep lama adalah periodisasi jabatan hakim, sedangkan anutan konsep baru adalah non-periodisasi jabatan hakim”.
Berdasarkan pendapat tersebut, politik hukum pembentuk UU MK [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020)] dari masa jabatan hakim yang mengenal periodisasi menjadi non-periodisasi jabatan hakim adalah sesuatu yang konstitusional. Politik hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 19 Juli 2017, yang antara lain menyatakan independensi dan/atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman antara lain ditentukan oleh proses seleksi (the manner of the appointment or the mode of appointing judges) dan masa jabatan (term of office or the tenure judges). Oleh karena itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 ditegaskan lebih jauh bahwa masa jabatan (tenure of office) Hakim Konstitusi sebaiknya hanya satu periode dengan tenggat waktu lebih lama. Sebagaimana maksud dan substansi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016, sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman, in casu Mahkamah Konstitusi, pembentuk UU MK menghapus rezim periodisasi, yaitu masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan berikutnya.
Dengan hapusnya rezim periodisasi yang pemberlakuannya terhadap hakim yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) dijembatani oleh norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau konstitusional, Mahkamah merasa perlu memberitahukan berupa konfirmasi kepada masing-masing lembaga pengusul. Dalam hal ini Mahkamah menyatakan:
Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung);
Kemudian, beberapa waktu setelah pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, Mahkamah mengirim surat kepada lembaga pengusul (yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung), dengan perihal “Pemberitahuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020”, tertanggal 21 Juli 2022. Dalam surat Pemberitahuan dimaksud, sesuai dengan amar dan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, mengharuskan Mahkamah untuk melaksanakan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga yang mengusulkan dan mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi dimaksud hanya mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung).
Selain itu, untuk menghindari perdebatan dan kemungkinan adanya kekeliruan dalam memaknai perihal berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK, dalam Surat Pemberitahuan dimaksud Mahkamah memberitahukan masa jabatan masing-masing hakim konstitusi berdasarkan UU 24/2003 serta perubahan dan berakhirnya masa jabatan masing-masing hakim konstitusi setelah tidak adanya periodisasi berdasarkan UU MK, yaitu sebagai berikut:
Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan DPR, yaitu:
1. Arief Hidayat
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 1 April 2013 sampai dengan 27 Maret 2023
- berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 03 Februari 2026
2. Aswanto
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 sampai dengan 21 Maret 2024
- berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 21 Maret 2029
3. Wahiduddin Adams
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 sampai dengan 21 Maret 2024
- berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 17 Januari 2024.
Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan Presiden, yaitu:
1. Saldi lsra
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 11 April 2017 sampai dengan 11 April 2022
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 11 April 2032
2. Enny Nurbaningsih
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat 13 Agustus 2018 sampai dengan 13 Agustus 2023
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 27 Juni 2032
3. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat 7 Januari 2020 sampai dengan 7 Januari 2025
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 15 Desember 2034.
Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan Mahkamah Agung, yaitu:
1. Anwar Usman
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 6 April 2011 sampai dengan 7 April 2021
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 7 April 2026
2. Suhartoyo
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 7 Januari 2015 sampai dengan 7 Januari 2025
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 15 November 2029
3. Manahan M.P. Sitompul
- berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 28 April 2015 sampai dengan 8 Desember 2023
- berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 8 Desember 2023.
Sekalipun Mahkamah telah menjelaskan dan menegaskan berakhirnya masa jabatan masing-masing hakim konstitusi dimaksud, hal demikian tidak berarti hakim konstitusi tidak dapat diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan, yaitu sebelum mencapai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau sebelum selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Dalam hal ini pemberhentian hakim konstitusi dalam masa jabatannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan UU MK. Selain itu, sebagaimana diatur dalam UU MK, mulai dari UU 24/2003 sampai dengan UU 7/2020, pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan keputusan presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK. Seandainya terjadi alasan pemberhentian dalam masa jabatan tersebut, pemberhentian oleh Presiden baru dilakukan setelah adanya surat permintaan dari Ketua Mahkamah Konstitusi. Penegasan demikian perlu dinyatakan secara tegas karena proses penggantian hakim konstitusi oleh lembaga pengusul baru ditindaklanjuti setelah adanya keputusan presiden mengenai pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatan. Dalam batas penalaran yang wajar, adanya pengaturan yang jelas dan tegas mengenai kemungkinan memberhentikan seorang hakim konstitusi sebelum habis masa jabatan dimaksudkan untuk menjaga independensi dan sekaligus menjaga kemandirian serta kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Artinya, tindakan yang dilakukan di luar ketentuan norma Pasal 23 UU MK adalah tidak sejalan dengan UUD 1945. Hal demikian, selain potensial merusak dan menganggu independensi hakim konstitusi, tindakan di luar ketentuan tersebut juga merusak independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai benteng utama negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Apabila dikaitkan dengan dalil Pemohon, pertimbangan hukum tersebut di atas telah cukup untuk menjelaskan dan menegaskan keberadaan norma Pasal 87 huruf b UU MK dikaitkan dengan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Pertimbangan hukum dimaksud, sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan lainnya, memiliki kekuatan mengikat sehingga Hakim Konstitusi yang sedang menjabat hanya dapat diberhentikan sebelum berakhir masa jabatannya sepanjang sesuai dengan norma dalam Pasal 23 UU MK. Dengan demikian, norma Pasal 87 huruf b UU MK tidak perlu dan tidak relevan dimaknai sebagaimana yang dimohonkan Pemohon. Selain telah ditegaskan dan dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, memberikan penegasan langsung ke dalam norma Pasal 87 huruf b UU MK, sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dapat menggeser makna norma a quo sebagai norma peralihan yang bersifat einmalig. Oleh karena itu, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai kepastian hukum yang adil dalam menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 87 huruf b UU MK, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430