Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-11-2022

H. Muhammad Ja’far Sukhairi Nasution (Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara) dan Atika Azmi Utammi (Wakil Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Adi Mansar, SH., M.Hum., dkk, para Advokat dan Penasihat Hukum pada “Adi Masar Law Institute” Legal: Consultant, Election & Research”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 yang pada pokoknya mengatur mengenai masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada bulan November 2024, yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);

[3.12] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:


Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan para Pemohon dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain, yang membedakan karena dalam perkara a quo pada pokoknya para Pemohon menguraikan mengenai rezim Pemilu dengan waktu lima tahun sekali dan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi peserta Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;

[3.13] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu apakah pengaturan masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilaksanakan serentak secara nasional pada bulan November tahun 2024 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi para Pemohon sehingga pasal tersebut harus dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon terkait dengan masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta pelakasanaan Pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah serentak pada bulan November tahun 2024 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016, Mahkamah telah mempertimbangkan hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pengaturan norma mengenai Pilkada dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah di luar Bab VIIB tentang Pemilihan Umum dalam UUD 1945 memiliki beberapa implikasi. Salah satunya adalah perbedaan terkait waktu penyelenggaraan pemilihan, di mana siklus 5 (lima) tahun sekali yang telah ditentukan oleh konstitusi adalah untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta untuk pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 18 ayat (3) juncto Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, terkait dengan Pilkada, penetapan waktu pemilihan sepenuhnya diatur dengan undang-undang yang selanjutnya diaktualisasikan dalam UU 10/2016 yang menentukan penyelenggaraan Pilkada secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024. Norma a quo merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, in casu pengaturan mengenai jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang semula ditetapkan pada tahun 2027 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) diubah menjadi tahun 2024. Pengaturan norma dalam ketentuan peralihan demikian telah sesuai dengan butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
[3.12.2] Bahwa dalam rangka penyesuaian tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional terdapat beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya diundur dan terdapat pula beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya dimajukan. Dalam konteks masa peralihan yang demikian, tidak dapat dihindari dampak adanya penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) dalam Pilkada. Namun demikian, Mahkamah menilai penundaan atas pemenuhan hak warga negara dimaksud tidak berarti menghilangkan hak warga negara tersebut dan telah sesuai dengan konsep pembatasan hak yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sebab, hak warga negara untuk memilih dan dipilih pada hakikatnya merupakan hak yang pemenuhannya dapat dibatasi oleh negara melalui undang-undang. Berkenaan dengan hal tersebut Mahkamah dalam beberapa putusan telah mempertimbangkan terkait konstitusionalitas pembatasan pemenuhan atas hak konstitusional warga negara berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan ukuran yang selalu digunakan oleh Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas pembatasan hak warga negara adalah keseimbangan (balancing) antara pembatasan hak individu warga negara dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Dalam konteks demikian, Mahkamah menilai, penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) pada sebagian Pilkada dalam rangka menuju pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 adalah masih dalam kerangka pembatasan hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terlebih, setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti kontestasi Pilkada, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, tetap terakomodir hak konstitusionalnya dalam Pilkada serentak tahun 2024 mendatang.

[3.13.1] Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif (Anggota DPR, DPD dan DPRD) serta eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019 telah mendorong pembentuk undang-undang untuk mendesain ulang penyelenggaraan pemilu, termasuk pula Pilkada. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pemerintah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat karena proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi [vide Alinea ke-3 Penjelasan Umum UU 1/2015] yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui UU 1/2015. Lebih lanjut Pasal 3 ayat (1) UU 1/2015 menentukan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Oleh karena itulah sejak saat itu Pilkada serentak secara nasional beserta segala aspek penyelenggaraannya mulai ditetapkan secara bertahap dari yang awalnya akan dilaksanakan pada tahun 2027 kemudian berdasarkan UU 10/2016 diubah menjadi bulan November tahun 2024;
[3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya terkait dengan desain keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 telah memberikan sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.16] Putusan a quo, sebagai berikut:
1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; dan
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan model pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Pertimbangan pandangan Mahkamah terhadap penentuan model keserentakan yang dipilih merupakan domain pembentuk Undang-Undang tersebut juga kembali ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah terkait pilihan model keserentakan secara nasional dan lokal sebagaimana pertimbangan hukum Paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 November 2021, sebagai berikut:
Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yang ditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, semua pilihan yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 merupakan gagasan yang muncul (original intent) selama perubahan UUD 1945. Sebagai the sole interpreter of the constitution, sekalipun bukan satu-satunya penafsiran yang dipakai untuk menentukan pilihan model atau desain keserentakan pemilihan umum, Mahkamah tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari penafsiran original intent sebagai salah satu metode untuk memahami konstitusi.
Dengan demikian, menjadi jelas pendirian Mahkamah bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan untuk menentukan rancang bangun penyelenggaraan pemilu serentak, termasuk juga penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional sesuai dengan batas-batas konstitusional (constitutional boundary) yang telah diatur dan ditetapkan sebagaimana dijelaskan pada Sub-paragraf [3.11.2] di atas;
[3.13.3] Bahwa dalam rangka mewujudkan Pilkada serentak secara nasional, sebenarnya telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, tahun 2020, dan November 2024. Oleh karena itu, sepanjang Pikada serentak tetap dipertahankan, desain penyelenggaraan Pilkada transisi demikian merupakan proses integrasi jadwal penyelenggaraan Pilkada yang waktunya saling terpisah satu sama lain menuju penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional setiap 5 (lima) tahun yang akan dimulai pada tahun 2024 dan seterusnya. Berdasarkan tahapan transisi tersebut, maka desain pemilihan umum serentak secara nasional yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang pada tahun 2024 adalah pemilu serentak dalam 2 (dua) tahap, yaitu: (i) pemilihan umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD serta (ii) beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional. Dengan mengacu pada pilihan model keserentakan pemilihan umum sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut di atas, maka pilihan model pemilihan umum serentak yang ditentukan tersebut termasuk dalam kategori pilihan keenam, yaitu “Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”, sehingga pilihan keserentakan tersebut adalah telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan tentunya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Kemudian selanjutnya Mahkamah telah mempertimbangkan pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota serentak nasional pada awalnya diatur dalam Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 8/2015) yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027.” Waktu penyelenggaraan tersebut kemudian diubah dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.” Perubahan waktu penyelenggaraan tersebut diikuti dengan perubahan waktu penyelenggaraan pemilihan serentak bertahap yang dimulai pada 2015, 2017, 2018, dan terakhir pada 2020, sehingga berakibat gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 hanya menjabat sampai dengan tahun 2024 [vide Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016];
[3.10.2] Bahwa keberadaan ayat (7) yang dipersoalkan para Pemohon tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat lainnya dalam Pasal 201 UU 10/2016 yang secara keseluruhan merupakan ketentuan peralihan agar penyelenggaraan kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dapat terselenggara secara serentak nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada November 2024 [vide Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016]. Untuk itu, pada ayat-ayat sebelumnya termasuk yang dipersoalkan para Pemohon ditentukan waktu pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak yang dilakukan secara bertahap pada 2015, 2017, dan 2018 serta 2020 sesuai berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota [vide Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU 10/2016]. Dengan pengaturan tersebut tidak dapat dihindarkan akan terdapat provinsi dan kabupaten/kota yang mengalami kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, yakni yang menyelenggarakan pemilihan pada 2017 dan 2018, sehingga akan diisi oleh penjabat yang berasal dari aparatur sipil negara yang memegang jabatan pimpinan tinggi madya bagi penjabat gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama bagi penjabat bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016]. Adapun bagi provinsi dan kabupaten/kota yang gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 dan dilantik pada 2021 yang seharusnya berakhir masa jabatannya pada 2026 terkena pemotongan (cut off) masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sehingga tidak sampai 5 (lima) tahun, akan tetapi harus berakhir masa jabatannya pada 2024. Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang diselenggarakan secara serentak nasional dalam rangka untuk meminimalkan biaya baik sosial, politik maupun ekonomi dan diharapkan lebih efisien dari segi waktu dapat terselenggara pada 2024. Dengan demikian, semua provinsi dan kabupaten/kota (kecuali Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) akan mengadakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota bersamaan waktunya pada November 2024 dan untuk pemilihan seterusnya setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 10/2016.
Mengenai keserentakan waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menurut Mahkamah tidak hanya merujuk pada waktu pemungutan suara (voting time) melainkan juga waktu pelantikan (inauguration time) yang juga perlu diatur dan disinkronkan keserentakannya. Karena, keserentakan tersebut merupakan langkah awal bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota terpilih untuk mensinergikan kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta mensinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan disinkronkannya waktu penyelenggaraan baik pemungutan suara maupun pelantikan pasangan calon terpilih maka diharapkan tercipta efektivitas dan efisiensi kebijakan pembangunan antara daerah dan pusat.
[3.10.3] Bahwa berkenaan dengan kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 UU 10/2016 adalah bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024, sehingga di pemilihan-pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional.
Bahwa selain merupakan ranah kebijakan pembentuk undang-undang, pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yakni (a) dilakukan dengan undang-undang; (b) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; dan (c) untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Menurut Mahkamah, hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional. Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif.

[3.10.5] Bahwa sebagai ketentuan peralihan, sebagaimana juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 bertanggal 20 April 2022 yang diucapkan sebelumnya, Pasal 201 UU 10/2016 dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, sehingga menurut Mahkamah telah memenuhi pemuatan ketentuan peralihan sebagaimana ditentukan dalam Butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). Menurut Butir 127 Lampiran II UU 12/2011 ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Khusus mengenai kepastian hukum, adanya pengaturan bahwa masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024 telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016. Dalam batas penalaran yang wajar ketentuan dimaksud sudah pasti diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut berkontestasi dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020. Artinya, pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sudah diketahui secara pasti oleh masing-masing pasangan calon.
Berkenaan dengan hal di atas, dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal adanya fiksi hukum (presumptio iures de iure) yang dijelaskan dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya [vide Penjelasan Pasal 81 UU 12/2011]. Menurut Mahkamah para Pemohon telah mengetahui masa jabatan pemilihan bupati dan wakil bupati yang diikuti para Pemohon pada 2020 tidak sampai 5 (lima) tahun, bahkan sebelum mencalonkan diri sebagai pasangan calon, sehingga menjadi tidak relevan untuk dipersoalkan setelah para Pemohon terpilih dan dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara. Terlebih lagi, masa jabatan tidak sampai 5 (lima) tahun juga dialami oleh seluruh gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, jadi bukan hanya para Pemohon. Mahkamah juga tidak menemukan bukti ketentuan pemotongan atau pengurangan masa jabatan yang dialami para Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 menyebabkan para Pemohon tidak dapat menjalankan visi dan misinya. Terkait dengan hal ini, visi dan misi yang dijanjikan calon kepala daerah yang nantinya akan dijabarkan dalam rencana pembangunan daerah dan alokasi anggaran seharusnya disesuaikan juga dengan masa jabatan yang telah diketahui sebelum penyusunan visi dan misi.
Sementara itu, berkenaan dengan perlindungan hukum sebagai akibat dari tidak terpenuhi masa jabatan sampai dengan 5 (lima) tahun, undang-undang pun telah mengantisipasi secara jelas. Dalam hal ini, pihak yang terkena dampak dari berkurangnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota), menurut Mahkamah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak sampai 5 (lima) tahun, diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, yaitu sejak pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2018, kompensasi yang diterima gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terkurangi masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015). Bentuk kompensasi yang akan diperoleh oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2018 berupa diberikan uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode. Selanjutnya untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, kompensasi yang diterima oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya mengikuti ketentuan Pasal 202 UU 8/2015 yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah oleh karena esensi permohonan a quo sama dengan permohonan-permohonan yang telah diputus tersebut, maka pertimbangan kedua putusan Mahkamah tersebut menjadi mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum putusan perkara a quo.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, Pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

[3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.