Emir Dhia Isad, S.H., Syukrian Rahmatul’ula, S.H. dan Rahmat Ramdani, S.H. untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28J ayat (1), Pasal 28J ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon dalam menguraikan profesinya sebagai pemerhati Hukum Keluarga tidak memberikan bukti yang cukup sehingga dapat menyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon telah aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujiannya yaitu Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 yang pada pokoknya mengatur mengenai administrasi pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pengadilan.
Selain itu, anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 yang dianggap sebagai legitimasi atas perkawinan beda agama sehingga menyebabkan para Pemohon merasa resah, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan asumsi yang tidak dapat dibuktikan pula kebenarannya. Adapun terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon III yang menerangkan telah memiliki keturunan sehingga setidak-tidaknya berpotensi anaknya akan tercatat dalam perkawinan beda agama, hal itu tidak dapat dibuktikan oleh Pemohon III karena dalam bukti P-3 berupa KTP Pemohon III masih berstatus belum menikah. Dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Penjelasan Pasal a quo. Terlebih lagi, dalam permohonan para Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian.
Bahwa terkait dengan hal tersebut di atas, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 21 Juli 2022, Majelis Hakim Panel telah memberi nasihat kepada para Pemohon agar memperbaiki uraian kedudukan hukumnya sehingga Mahkamah dapat meyakini bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Namun dalam perbaikan permohonan, para Pemohon masih belum dapat menguraikan kerugian hak konstitusional yang bersifat khusus atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi. Para Pemohon juga tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialaminya dengan berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006;
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Penjelasan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430