Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 88/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Sulistya Tirtoutomo yang membeirkan kuasa kepada Dr. I Wayan Suka Wirawan, S.H., M.H., advokat pada Digesta Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2 ayat (4), Pasal 6 ayat (3) huruf e, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf angka 3, Pasal 20 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 52 UU Keterbukaan Informasi Publik

Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Keterbukaan Informasi Publik dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa Pemohon mendalilkan frasa "hak-hak pribadi" dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, frasa "isi akta otentik yang bersifat pribadi" dalam Pasal 17 huruf g, frasa "rahasia pribadi, yaitu kondisi keuangan, aset, pendapatan" dalam Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 inkonstitusional sepanjang dimaknai mengecualikan setiap informasi publik yang tercantum dalam sertifikat dan/atau warkah tanah yang dikuasai oleh setiap badan publik yang berwenang menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah, atau setidak-tidaknya tidak dimaknai mengecualikan bagi setiap subjek hukum yang berhak atas tanah termasuk berdasarkan titel harta bersama. Dalam mendalilkan inkonstitusionalitas tersebut Pemohon mengaitkannya dengan Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008. Berkenaan dengan dalil-dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIV/2016 yang dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.7.2] menyatakan bahwa:
[3.7.2] Bahwa selanjutnya sebelum mempertimbangkan tentang nota pemeriksaan PPK yang bersifat rahasia Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan, apakah Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan informasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1 Dalam Penjelasan Umum UU 14/2008 disebutkan tujuan dibentuknya UU 14/2008 adalah untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh informasi, mengingat hak untuk memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Keberadaan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan: (1) hak setiap orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi. Dari Penjelasan Umum tersebut dapat disimpulkan bahwa keterbukaan informasi publik perlu bagi pemenuhan hak asasi manusia, namun keterbukaan informasi publik tersebut tidak berarti sebebas-bebasnya tetapi ada pengecualian keterbukaan informasi publik yang bersifat ketat dan terbatas.
2 Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 memuat asas bahwa Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Adapun kriteria informasi yang bersifat rahasia ditentukan dalam Pasal 17 UU 14/2008 yang menyatakan:
Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali:
a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:
1 menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;
2 mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;
3 mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencanarencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;
4 membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau
5 membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.
b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:
1 informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri;
2 dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;
3 jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya;
4 gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer;
5 data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia;
6 sistem persandian negara; dan/atau
7 sistem intelijen negara.
d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:
1 rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara;
2 rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi institusi keuangan;
3 rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya;
4 rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;
5 rencana awal investasi asing;
6 proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya; dan/atau
7 hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.
f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri :
1 posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional;
2 korespondensi diplomatik antarnegara;
3 sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan internasional; dan/atau
4 perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri.
g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
1 riwayat dan kondisi anggota keluarga;
2 riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
3 kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
4 hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau
5 catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal
i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;
j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

Ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 tersebut merupakan derivasi dari Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan. mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selain itu, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang a quo juga telah sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Right 1966 Pasal 19 ayat (2) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang isinya menyatakan: “Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice”.
Hal senada juga terdapat di Amerika Serikat yang mengatur pengecualian terhadap informasi yang tidak dapat diakses, yaitu di dalam Freedom of Information Act yang digolongkan ke dalam sembilan pengecualian (exemption), yaitu:
1) keamanan nasional (National Security) dan politik luar negeri a) rencana militer, b) persenjataan, c) data iptek yang menyangkut keamanan nasional, dan data CIA,
2) ketentuan internal lembaga,
3) informasi yang secara tegas dikecualikan oleh Undang-Undang untuk dapat diakses publik,
4) informasi bisnis yang bersifat rahasia,
5) memo internal pemerintah,
6) informasi pribadi (personal privacy),
7) data yang berkenaan dengan penyidikan,
8) informasi lembaga keuangan, dan
9) informasi dan data geologis dan geofisik mengenai sumbernya.
Harus diingat bahwa kekecualian di atas bersifat diskresioner, tidak wajib, dan diserahkan pada lembaga yang bersangkutan.
Di Asia yang memiliki ketentuan serupa dengan di Amerika Serikat antara lain Thailand, yang dikenal dengan Official Information Act Tahun 1997, yang mengatur informasi yang tidak dapat di akses publik yaitu:
a) dapat membahayakan istana,
b) yang dapat membahayakan keamanan nasional, hubungan internasional atau keuangan nasional,
c) menghambat penegakan hukum,
d) merupakan informasi atau nasihat dari lembaga negara yang bersifat internal,
e) yang dapat membahayakan keselamatan atau nyawa seseorang,
f) informasi pribadi atau rekam medik yang publikasinya akan mengancam the right of privacy, dan
g) informasi resmi yang dilindungi perundang-undangan atau yang diberikan oleh seseorang dan harus dijaga kerahasiaannya.
3 Pembatasan terhadap informasi yang dapat diakses seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan hal yang wajar dan dibolehkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Right yang telah diratifikasi oleh Indonesia yang menyatakan The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:
(1) For respect of the rights or reputations of others;
(2) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.
Hal yang sama juga ditentukan dalam Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian, dalam mempergunakan hak memperoleh informasi, setiap orang juga tidak dapat sebebas-bebasnya memperoleh informasi dengan alasan hak tersebut diberikan langsung oleh UUD 1945, tetapi hak tersebut juga dibatasi dengan alasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dan hukum dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan ketentuan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum di atas, sekalipun Pemohon dalam permohonannya memberikan alasan yang berbeda dengan Perkara Nomor 3/PUU-XIV/2016, namun pada intinya memiliki kesamaan esensi yang menghendaki tidak adanya pengecualian terhadap informasi publik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c dan Pasal 17 huruf h angka 3 UU 14/2008. Dalam kaitan ini, penting ditegaskan bahwa Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dipertimbangkan dalam kutipan pertimbangan hukum di atas bahwa pengecualian dalam norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan hal yang dapat dibenarkan dalam rangka memberikan perlindungan yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, meskipun setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik untuk masyarakat luas, namun terdapat pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas terhadap informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 dan Pasal 17 UU 14/2008. Salah satu informasi yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik adalah “informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi”. Menurut Mahkamah, apabila Informasi Publik dimaksud dibuka hal ini justru dapat menimbulkan dampak negatif. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa dengan telah dinyatakan oleh Mahkamah norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 konstitusional, maka dalil Pemohon berkenaan dengan frasa "hak-hak pribadi" dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, frasa "isi akta otentik yang bersifat pribadi" dalam Pasal 17 huruf g, frasa "rahasia pribadi, yaitu kondisi keuangan, aset, pendapatan" dalam Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 yang dimohonkan Pemohon agar diberi pemaknaan oleh Mahkamah untuk mengecualikan informasi publik yang telah dikecualikan dalam UU 14/2008, sesuai dengan kasus konkret yang dialami Pemohon, menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Terlebih lagi, bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikan kasus konkret yang dialami Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.12.2] Bahwa Pemohon juga mendalilkan kata "dapat" dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 inkonstitusional karena menyebabkan berlarut-larutnya proses penyelesaian sengketa informasi publik yang diajukan oleh Pemohon. Oleh karenanya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar kata ”dapat” dinyatakan inkonstitusional. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1 Norma Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 pada pokoknya menyatakan proses penyelesaian sengketa informasi publik paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja. Menurut Pemohon frasa "paling lambat dapat" dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri, karena frasa "paling lambat" jelas bermakna "harus", sedangkan kata "dapat" jelas bermakna "tidak harus". Menurut Mahkamah meskipun Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 dirumuskan dengan kata “dapat” telah direalisasikan melalui berbagai prosedur beracara dalam rangka memberikan jaminan penyelesaian sengketa paling lambat dalam waktu 100 (seratus) hari kerja. Terlebih lagi, secara doktriner penggunaan kata “dapat” dalam penormaan undang-undang merupakan hal yang lazim dilakukan karena “operator norma” tidak selalu dirumuskan dengan kata wajib atau harus, di mana norma wajib atau harus berkaitan dengan kewajiban yang telah ditetapkan dan apabila tidak dipenuhi kewajiban tersebut dikenakan sanksi. Sementara itu, secara normatif kata “dapat” mengandung sifat diskresioner (vide angka 267 dan angka 268 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2022, selanjutnya disebut UU 12/2011). Karena, sifat diskresioner tersebut maka norma “dapat” dalam pelaksanaannya dapat menjadi wajib untuk direalisasikan karena ada faktor-faktor yang mengharuskannya (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XVIII/2020, hlm. 121-122, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2020).
2 Sementara, berkaitan dengan sengketa informasi publik yang diajukan oleh Pemohon kepada Komisi Informasi, merupakan informasi publik yang telah dikecualikan oleh UU 14/2008 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Namun demikian, perlu dijelaskan, proses pengajuan sengketa informasi publik ke Komisi Informasi dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana telah ditentukan dalam Bab VIII tentang Keberatan dan Penyelesaian Sengketa Melalui Komisi Informasi UU 14/2008. Artinya, tahapan keberatan harus dilalui terlebih dahulu, di mana setiap pemohon informasi Publik pada pokoknya dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan yang salah satunya adalah karena adanya penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 17 UU 14/2008 [vide Pasal 35 UU 14/2008]. Keberatan tersebut diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1) UU 14/2008. Selanjutnya, atasan pejabat memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis [vide Pasal 36 UU 14/2008]. Berkenaan dengan keberatan tersebut, UU a quo memberikan ruang untuk diadakannya penyelesaian secara musyawarah terlebih dahulu oleh pihak pemohon dan pejabat pengelola informasi publik atas keberatan yang diajukan karena alasan: (1) tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU 14/2008; (2) tidak ditanggapinya permintaan informasi; (3) permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; (4) tidak dipenuhinya permintaan informasi; pengenaan biaya yang tidak wajar; (5) dan/atau penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam UU 14/2008. Sedangkan, terhadap penolakan atas permintaan informasi karena alasan dikecualikan oleh UU tidak dibuka ruang musyawarah antar para pihak [vide Pasal 35 ayat (2) UU 14/2008]. Dalam hal permintaan informasi publik telah dilakukan sesuai dengan ketentuan maka atasan pejabat tersebut menyampaikan alasan tertulis disertakan dengan tanggapan yang menguatkan putusan yang telah ditetapkan oleh bawahannya [vide Pasal 36 ayat (3) UU 14/2008].
3 Tahapan selanjutnya, pengajuan penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi baru dilakukan apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon Informasi Publik [vide Pasal 37 ayat (1) UU 14/2008]. Dalam kaitan ini ditentukan, upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat tersebut. Dalam konteks inilah, UU a quo merealisasikan asas penyelenggaraan informasi publik, salah satunya menghendaki setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh oleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana [vide Pasal 2 ayat (3) UU 14/2008]. Oleh karenanya, berkaitan dengan penyelesaian sengketa informasi publik Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 menegaskan bahwa “Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik”. Dalam kaitan ini, jika dikorelasikan dengan tidak dibukanya ruang untuk mediasi terhadap keberatan pemohon informasi atas permintaan informasi yang dinyatakan sebagai informasi yang dikecualikan maka dalam konteks ini pula mediasi dan ajudikasi pun tidak dilakukan untuk sengketa informasi publik yang diajukan karena informasi tersebut telah dikecualikan sebagaimana telah ditegaskan secara expressis verbis dalam Pasal 6 dan Pasal 17 UU 14/2008. Dengan demikian, norma Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 yang menurut Pemohon dilaksanakan secara berlarut-larut melebihi waktu 100 (seratus) hari merupakan dalil yang tidak beralasan karena proses penyelesaian sengketa informasi publik dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan sepanjang hal tersebut bukan merupakan informasi publik yang memang dikecualikan. Namun demikian, sesuai dengan asas pelayanan yang cepat dan tepat, Komisi Informasi seharusnya memberikan pelayanan berupa tanggapan yang memadai terhadap setiap permohonan yang diajukan, termasuk terhadap informasi yang dikecualikan. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.3] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 hanya memberikan kewenangan kepada badan publik untuk melakukan uji konsekuensi sebelum mengambil keputusan terhadap setiap permohonan dan menjadi tidak berwenang melakukan uji konsekuensi setelah badan publik menolak permohonan informasi. Berkenaan dengan dalil a quo, ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 pada intinya telah menentukan Badan Publik harus membuktikan hal-hal yang mendukung pendapatnya apabila menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan informasi tersebut termasuk dalam kriteria informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g UU 14/2008. Dalam hal ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengklasifikasian Informasi Publik (selanjutnya disebut Perki Nomor 1 Tahun 2017) dan Peraturan Komisi Informasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar layanan Informasi Publik (selanjutnya disebut Perki Nomor 1 Tahun 2021) sebagai peraturan pelaksana UU 14/2008 menentukan dalam Pasal 4 ayat (1) Perki Nomor 1 Tahun 2017 bahwa dalam hal Badan publik menyatakan informasi publik tertentu yang dikecualikan maka pengecualian informasi publik tersebut harus didasarkan pada pengujian konsekuensi. Jika dilihat dari pengertiannya yang dimaksud pengujian konsekuensi adalah pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan secara saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya [vide Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6 Perki Nomor 1 Tahun 2017]. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Perki Nomor 1 Tahun 2021, pengujian Konsekuensi dapat dilakukan: a. sebelum adanya permohonan Informasi Publik; b. pada saat adanya permohonan Informasi Publik; atau c. pada saat penyelesaian sengketa Informasi Publik atas perintah Majelis Komisioner. Pejabat yang melaksanakan pengujian konsekuensi adalah Pejabat Pengelola Informasi Dan Dokumentasi (selanjutnya disingkat PPID) atas persetujuan pimpinan badan publik [vide Pasal 4 ayat (2) Perki Nomor 1 Tahun 2017 dan Pasal 10 ayat (1) huruf g Perki Nomor 1 Tahun 2021].
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang meminta agar Komisi Informasi memerintahkan badan publik yang telah menolak memberikan informasi untuk melakukan uji konsekuensi berlaku surut, maka dalam kaitan ini telah diatur tugas dan wewenang Komisi Informasi dalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 UU 14/2008, sementara berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 telah ditentukan pula Putusan Komisi Informasi berupa:
(1) Putusan Komisi Informasi tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisikan salah satu perintah di bawah ini:
a. membatalkan putusan atasan Badan Publik dan memutuskan untuk memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik sesuai dengan keputusan Komisi Informasi; atau
b. mengukuhkan putusan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk tidak memberikan informasi yang diminta sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Putusan Komisi Informasi tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g, berisikan salah satu perintah di bawah ini:
a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini;
b. memerintahkan Badan Publik untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau
c. mengukuhkan pertimbangan atasan Badan Publik atau memutuskan mengenai biaya penelusuran.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008, adalah merupakan bentuk prinsip kehati-hatian, agar badan publik tidak dengan serta-merta dapat menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan informasi tersebut dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g UU 14/2008. Dalam hal ini, sebuah badan publik harus menyertakan alasannya mengenai tidak dapat diberikannya informasi publik yang dimohonkan. Begitu juga dengan putusan Komisi Informasi, telah diatur putusan apa yang dapat dijatuhkan oleh Komisi Informasi, baik bagi badan publik ataupun PPID, termasuk jika di dalam putusan yang bersangkutan mengandung perintah sebagaimana yang dimintakan oleh pemohon informasi publik.
Jika dikaitkan dengan dalil Pemohon, yang menginginkan agar uji konsekuensi dapat juga dilakukan setelah sebuah badan publik menolak permohonan informasi yang diajukan seseorang dan meminta agar Komisi Informasi memerintahkan badan publik yang telah menolak memberikan informasi untuk melakukan uji konsekuensi berlaku surut, menurut Mahkamah dalil-dalil a quo adalah dalil yang berdasarkan pada kasus konkret Pemohon, sehingga tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut karena bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikan kasus konkret yang dialami Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.4] Bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan frasa "pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)" dalam Pasal 52 UU 14/2008 inkonstitusional karena nilai denda tersebut lebih kecil jumlahnya daripada kerugian yang ditimbulkan oleh badan publik, hal ini akan mengakibatkan badan publik menghindari hukum secara tanpa hak dan hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil a quo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada buku kesatu dalam BAB I Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Sementara, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 ditentukan materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah. Berdasarkan kedua ketentuan a quo dimungkinkan untuk adanya ketentuan pidana dalam sebuah undang-undang, in casu UU 14/2008. Menurut Mahkamah, dengan adanya ketentuan pidana dalam Pasal 52 UU 14/2008 memberikan perlindungan kepada setiap orang yang dirugikan oleh perbuatan badan publik yang telah dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UU 14/2008, ada batasan dan sanksi yang jelas ketika perbuatan-perbuatan tersebut dilanggar.
Menurut Mahkamah, jika dikaitkan dengan dalil Pemohon bahwa frasa "pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)" dalam Pasal 52 UU 14/2008 inkonstitusional karena nilai denda tersebut lebih kecil jumlahnya daripada kerugian yang ditimbulkan oleh badan publik, ketentuan ini justru melindungi pihak-pihak yang membutuhkan informasi publik dari perbuatan badan publik yang dilakukan secara sengaja tidak menyediakan data informasi publik, dan hal ini tidak melanggar hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya telah jelas apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, maka justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Terlebih lagi, selama ini Mahkamah selalu berpendirian, antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2020, Sub-paragraf [3.13.2], bahwa terhadap norma yang mengatur sanksi pidana dalam sebuah undang-undang merupakan bagian kebijakan pemidanaan (criminal policy) yang menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang menentukannya. Sebab, hal yang berkaitan dengan perampasan kemerdekaan atau pembatasan hak asasi warga negara diperlukan representasi dari kehendak rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat untuk menentukannya. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 52 UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, norma Pasal 2 ayat (4), Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, Pasal 20 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 52 UU 14/2008 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan tidak terlindunginya hak pribadi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.