Ir. H. Said Iqbal, M.E. (Presiden) dan Febri Nurzarli, S.E., S.H. (Sekretaris Jenderal) dan Ramidi (Karyawan Swasta), Riden Hatam Aziz, S.H. (Karyawan Swasta), R. Abdullah (Karyawan Swasta), Agus Ruli Ardiansyah (Karyawan Swasta), Ilhamsyah (Karyawan Swasta), Sunandar (Karyawan Swasta), Didi Suprijadi (Dosen), dan Hendrik Hutagalung (Karyawan Swasta), yang dalam hal ini memberikan kuasa Said Salahudin, dkk. merupakan kuasa hukum/advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
aspek formil proses pembentukan UU 13/2022
aspek formil proses pembentukan UU 13/2022
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian aspek formil proses pembentukan UU 13/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” karena materi perubahan UU 13/2022 sangat terbatas untuk memberikan legitimasi terhadap UU 11/2020. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 13/2022 memberi pengertian yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
[3.14.2] Bahwa menurut Mahkamah, untuk melihat secara saksama tentang sejauhmana UU 13/2022 dibutuhkan dan juga bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membaca secara komprehensif seluruh dokumen yang terkait dengan proses pembentukan UU 13/2022, serta keseluruhan bagian dari UU a quo mulai dari bagian konsiderans menimbang sebagai dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis serta bagian penjelasan umum yang mendeskripsikan latar belakang pembentukan suatu UU, apakah benar memang mengabaikan asas tersebut;
[3.14.3] Bahwa dalam Konsiderans Menimbang UU 13/2022 ditentukan pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kepastian hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dalam mendukung tercapainya arah dan tujuan pembangunan hukum nasional [vide Konsiderans Menimbang huruf a UU 13/2022]. Kemudian, ditentukan pula UU a quo dibentuk untuk mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan sehingga dibutuhkan penataan dan perbaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau penetapan hingga pengundangan dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan adanya perubahan atas UU 12/2011 jo. UU 15/2019 [vide Konsiderans Menimbang huruf b dan huruf c UU 13/2022];
[3.14.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan Sub-paragraf [3.14.3], Mahkamah berpendapat substansi Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 13/2022 bukanlah substansi yang baru karena sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004), kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) telah ditentukan adanya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, salah satunya adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Berkenaan dengan asas tersebut setidaknya terdapat 2 (dua) kriteria untuk menilai apakah pembentukan suatu UU memenuhi asas dimaksud, yakni benar-benar dibutuhkan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Berkenaan dengan kriteria “benar-benar dibutuhkan”, kebutuhan dalam pembentukan undang-undang yaitu sebagai: pengaturan lebih lanjut dari perintah UUD 1945; perintah undang-undang untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang; pengesahan perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat [vide Pasal 10 UU 12/2011). Khusus berkenaan dengan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi, pembentukan UU 13/2022 adalah perintah dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam hal ini, Sub-paragraf [3.20.3] Putusan Mahkamah Konstitusi a quo pada pokoknya menyatakan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut;
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kejelasan rumusan” karena dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) yang dimaksud dengan “kesalahan teknis penulisan” antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf f UU 13/2022 memberi pengertian yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
[3.15.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk mengutip terlebih dahulu norma Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 yang menyatakan, “Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut”. Selanjutnya dalam Penjelasannya dinyatakan bahwa:
“yang dimaksud dengan “kesalahan teknis penulisan” antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.”
Penormaan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 dibentuk karena perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang secara substansi memerlukan adanya pengaturan jikalau dalam proses perumusan norma dalam undang-undang terdapat kesalahan teknis penulisan maka diperlukan adanya batas toleransi kesalahan teknis penulisan tersebut. Hal demikian, karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan dalam Subparagraf [3.17.6] hlm. 391, sebagai berikut, “… jikapun terpaksa dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah makna norma pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama”. Pertimbangan hukum tersebut telah diakomodir dalam Pasal 72 ayat (1a) dan Penjelasan UU 13/2022.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf f UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas keterbukaan”, karena proses perubahan UU 13/2022 tidak menerapkan partisipasi masyarakat dalam arti sesungguhnya (meaningful participation) sebagaimana dimaksud pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal ini didalilkan oleh para Pemohon dengan pembahasan perubahan undang-undang yang terbilang cepat hanya dibahas selama 6 (enam) hari di Badan Legislasi DPR RI. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 13/2022, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan). Secara substansial, materi asas keterbukaan telah diatur sejak berlakunya UU 10/2004. Kemudian, materi dimaksud diatur kembali dalam UU 12/2011 yang menyatakan, “asas keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” [vide Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011]. Menurut Mahkamah, substansi Penjelasan berkenaan dengan asas keterbukaan dalam UU 13/2022 jauh lebih luas dibandingkan dengan UU 12/2011. Penjelasan lebih luas demikian tidak dapat dilepaskan dari makna partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020;
[3.16.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama Keterangan DPR yang telah disampaikan dalam persidangan pada 8 September 2022 berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU 13/2022, Mahkamah menemukan fakta sebagai berikut:
1. Telah dilakukan diskusi dan konsultasi publik pada tahap penyusunan Naskah Akademik dan RUU a quo yang melibatkan berbagai pakar di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Sulawesi Selatan [vide Keterangan DPR hlm. 19 - 22];
2. Telah dilakukan konsultasi publik dengan agenda mendengar paparan para narasumber dan diskusi yang diselenggarakan secara terbuka dan dihadiri oleh kelompok masyarakat yang terdampak langsung dengan perubahan materi pengaturan terkait dengan rancangan perubahan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Keterangan DPR Lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XII, Lampiran XIV, dan Lampiran XV];
3. Telah dilakukan konsultasi publik terkait dengan isu-isu yang berkembang di berbagai media dan diskusi serta seminar yang diadakan oleh berbagai kalangan, seperti Indonesian Center for Legislative Drafting, Pusat Studi Hukum Konstitusi, dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial [vide Keterangan DPR hlm. 22 – 23];
4. Telah diberikan akses bagi masyarakat untuk mengunduh konsep awal Naskah Akademik dan RUU a quo dalam laman https://pusatpuu.dpr.go.id/simaspuu/detail-na/id/187 dan https://pusatpuu.dpr.go.id/simas-puu/detail-ruu/id/188 [vide Keterangan DPR hlm. 28];
5. Telah dilakukan rapat penyusunan dan pembahasan UU 13/2022 secara terbuka dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube dan tautan https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/276 [vide Keterangan DPR hlm. 28];
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, keterangan disertai dengan bukti-bukti yang diajukan DPR telah menunjukkan bahwa selama proses pembentukan UU 13/2022 telah dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Terlebih lagi, bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah bahwa proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar asas keterbukaan. Keraguan Mahkamah makin bertambah karena para Pemohon mendalilkan bahwa proses pembentukan UU 13/2022 dilakukan hanya selama 6 (enam) hari di Badan Legislasi DPR. Padahal, Badan Legislasi DPR sesuai dengan tugas dan fungsinya adalah salah satunya memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR [vide Pasal 105 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 66 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib]. Artinya, dalil para Pemohon yang menyatakan rancangan UU 13/2022 dibahas di Badan Legislasi DPR adalah tidak sesuai dengan proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD 1945 dan peraturan pelaksananya. Di samping itu, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pembentukan UU 13/2022 adalah merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, pembentuk UU 13/2022 telah melakukan partisipasi publik sesuai dengan asas keterbukaan. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 13/2022 tidak sesuai dengan Pasal 5 huruf g UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan dengan UU 13/2022 telah ternyata proses pembentukannya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 13/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430