Rini Wulandari, S.E.,M.BA., Herman Saleh, Ir. Budiman Widyatmoko, Kristyawan Dwibhakti dengan memberi kuasa kepada Dr. Auliya Khasanofa,S.H.,M.H. dkk, advokat, konsultan, dan mahasiswa fakultas hukum kantor hukum ADHINATA LAW OFFICE, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 50 UU 20/2011
Pasal 28G ayat (1) dan 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 20/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas adalah apakah norma Pasal 50 UU 20/2011 yang tidak mengakomodir fungsi “bukan hunian” bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun, sebelum menjawab permasalahan konstitusional tersebut, Mahkamah terlebih dahulu perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa norma Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 telah memberikan jaminan kepada setiap orang atas hak untuk hidup sejahtera lahir batin, “bertempat tinggal”, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pengakuan hak atas tempat tinggal sebagai bagian dari hak setiap orang yang diatur dalam Konstitusi dilandasi pada pemikiran rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap insan, baik sebagai pribadi maupun sebagai suatu kesatuan dengan sesama dan lingkungan sekitar. Prinsip tempat tinggal sebagai bagian dari hak asasi manusia juga telah diakomodir dalam Agenda 21 (Fact Sheet Number 21) dari United Nation Centre for Human Settlement (UNCHS Habitat) mengenai The Right to Adequate Housing yang pada pokoknya menyatakan bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Selanjutnya pengakuan hak untuk bertempat tinggal ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39/1999) yang menentukan setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak [vide Pasal 40 UU 39/1999]. Pengaturan hak untuk bertempat tinggal dalam berbagai instrumen hukum tersebut menunjukkan bahwa rumah atau tempat tinggal, tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup semata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan tatanan hidup dan sangat berkait erat dengan pembentukan watak serta kepribadian suatu bangsa. Oleh karena itu, negara wajib melindungi hak setiap orang untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak dan menjamin penyelenggaraan perumahan yang layak bagi masyarakat, termasuk di dalamnya perlindungan atas hak milik serta perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap akses setiap orang untuk memenuhi kebutuhan akan bertempat tinggal.
[3.13.2] Bahwa mengacu kepada keberadaan rumah yang berkait erat dengan pembentukan watak serta kepribadian suatu bangsa, serta prinsip pemenuhan kebutuhan akan rumah adalah merupakan tanggung jawab setiap masyarakat, maka peran negara atau pemerintah adalah lebih sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya penyelenggaraan perumahan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang layak dan terjangkau sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya yang semakin kompleks. Isu strategis yang saat ini dihadapi adalah semakin meningkatnya kebutuhan lahan bagi perumahan di wilayah perkotaan yang cenderung mahal, sehingga keberadaan, misalnya, rumah susun yang dibangun secara vertikal dan dihuni bersama dalam jumlah relatif besar di lokasi yang relatif sempit dapat menjadi pilihan baru sebagai salah satu instrumen untuk membentuk struktur tata ruang perkotaan dengan tingkat kepadatan yang tinggi sekaligus sebagai suatu cara untuk peremajaan penataan wilayah perkotaan yang selalu dihadapkan dengan masalah pemukiman kumuh (slum area). Berdasarkan amanat konstitusi dan instrumen hukum yang mengatur hak untuk bertempat tinggal sebagaimana telah dijelaskan di atas serta untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan bagi masyarakat sesuai dengan tantangan sosial dan budaya yang semakin berkembang, khususnya di wilayah perkotaan, maka dibentuklah UU 20/2011 sebagai perubahan atas UU 16/1985 yang dianggap sudah tidak dapat lagi mengakomodir penyelenggaraan rumah susun sesuai dengan perkembangan tatanan sosial, budaya dan ekonomi yang keadaannya telah jauh berbeda dengan pada saat UU 16/1985 diberlakukan. Terhadap perubahan undang-undang yang mengatur mengenai rumah susun tersebut, selain dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum berdasarkan dinamika masyarakat, lebih penting lagi menurut Mahkamah, adalah keberadaan undang-undang rumah susun untuk memberikan jaminan dan memprioritas kan pengadaan rumah atau tempat tinggal yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat berpotensi termajinalisasi oleh meluasnya penguasaan sektor pembangunan perumahan oleh pengembang besar. Oleh karena itu, penyelenggaraan rumah susun berdasarkan UU 20/2011 diharapkan dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau di kawasan perkotaan bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga mendorong perkembangan perkotaan yang serasi, seimbang yang memperhatikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga akan mengurangi terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan.
[3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah tidak diakomodirnya fungsi “bukan hunian” dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap permasalahan tersebut, Mahkamah berpendapat, secara yuridis historis fungsi bukan hunian untuk rumah susun memang pernah diterapkan dalam UU 16/1985 sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan penjelasan, seperti dalam Penjelasan Umum, Penjelasan Pasal 1 angka 1, Penjelasan Pasal 3 ayat (2), serta Penjelasan Pasal 24 UU 16/1985. Desain pengaturan mengenai fungsi bukan hunian dalam UU 16/1985 a quo, menurut Mahkamah, merupakan fungsi pelengkap atau komplementer yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama rumah susun, yaitu sebagai fungsi hunian. Artinya, pembangunan rumah susun dengan fungsi bukan hunian yang dibangun secara terpisah adalah dimaksudkan untuk melengkapi secara fungsional sarana rumah susun utama (hunian) guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam satu pemukiman. Namun demikian, masih terbuka ruang bagi rumah susun yang dipergunakan untuk keperluan lain dalam rezim UU 16/1985 karena berdasarkan Bab Ketentuan-Ketentuan Lain, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU 16/1985 pada pokoknya menentukan ketentuan-ketentuan dalam UU 16/1985 berlaku dengan penyesuaian menurut kepentingannya terhadap rumah susun yang dipergunakan untuk keperluan lain yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU 16/1985 yang menyatakan:
“Undang-undang ini mengatur rumah susun terutama untuk tempat hunian. Mengingat bahwa dalam kenyataannya ada kebutuhan akan rumah susun yang bukan untuk hunian yang mendukung fungsi pemukiman dalam rangka menunjang kehidupan masyarakat, antara lain misalnya untuk tempat usaha, tempat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, perindustrian, maka untuk dapat menampung kebutuhan tersebut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini dinyatakan berlaku juga terhadap rumah susun bagi keperluan lain dengan penyesuaian seperlunya”.
Selanjutnya, pengakuan atas fungsi bukan hunian bagi rumah susun dalam UU 16/1985 semakin jelas pasca diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut PP 4/1988) yang di dalamnya secara tegas mengatur rumah susun untuk hunian dan bukan hunian secara terpisah, sehingga dimungkinkan pembangunan rumah susun dalam suatu lingkungan yang digunakan sebagai bukan hunian saja. Dengan demikian, terlepas dari politik hukum serta kondisi dan situasi masyarakat pada saat UU 16/1985 dibentuk, rumah susun dengan fungsi bukan hunian seperti tempat usaha, tempat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, perindustrian, termasuk kondotel sebagaimana yang dimiliki oleh para Pemohon memiliki alas hukum berdasarkan UU 16/1985 dan PP 4/1988.
[3.15] Menimbang bahwa seiring dengan dinamika masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan, ternyata semakin menunjukkan adanya peningkatan laju urbanisasi dan industrialisasi sehingga menyebabkan kepadatan penduduk karena ketersediaan tanah untuk permukiman semakin terbatas. Rumah susun yang dalam UU 16/1985 didesain untuk mengatasi hal tersebut ternyata belum efektif dan malah salah sasaran. Penerima manfaat (beneficiary) dari keberlakuan UU 16/1985 ternyata lebih didominasi oleh kalangan masyarakat berpenghasilan menengah atas. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan UU 16/1985 karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang dalam penghunian, kepemilikan, dan pemanfaatan rumah susun….
Fungsi bukan hunian dalam UU 20/2011 sebenarnya bukan tidak diakomodir, tetapi diletakkan sebagai fungsi pendukung (supporting) dari fungsi rumah susun yang utama yaitu sebagai hunian. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 50 huruf b menyatakan, “Yang dimaksud dengan “fungsi campuran” adalah campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian.” Bagi rumah susun dengan fungsi campuran maka ia merupakan hunian (fungsi utama). dan sekaligus memiliki fungsi lain (mix used) dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di rumah susun. Pemanfaatan fungsi rumah susun yang hanya terbagi atas hunian atau campuran tersebut bersandar pada pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 yang utamanya difungsikan sebagai hunian. Oleh karena itu, telah jelas bahwa fungsi bukan hunian bagi rumah susun yang dikonstruksikan dalam UU 20/2011 tidak berdiri sendiri sebagaimana dikotomi pemanfaatan rumah susun yang dianut dalam rezim pengaturan UU 16/1985 dan PP 4/1988. Perubahan pemanfaatan rumah susun menjadi fungsi campuran dalam UU 20/2011 adalah untuk mengatasi kurangnya ketersediaan rumah susun umum bagi masyarakat berpenghasilan menengah-rendah serta untuk menghilangkan “rumah tidak berpenghuni” (“ghost-building”) di mana banyak ditemui bangunan gedung atau rumah susun yang tidak terdapat aktivitas pada malam hari dikarenakan tidak memiliki fungsi sebagai hunian. Dalam kaitan ini, penting Mahkamah tegaskan, rumah susun dengan fungsi bukan hunian tidak menghilangkan fungsi utama rumah susun sebagai fungsi hunian dan tidak boleh menghilangkan sifat komplementer dari rumah susun tersebut. Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak diakomodirnya fungsi “bukan hunian” dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 adalah tidak bertentangan dengan norma Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian mengenai desain pemanfaatan rumah susun dalam UU 20/2011 di atas, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kondotel dapat dimasukkan dalam rezim pengaturan rumah susun berdasarkan UU 20/2011. Menurut Mahkamah, pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 harus diartikan secara keseluruhan, mulai dari struktur bangunan, kepemilikan hingga pemanfaatannya yaitu terutama sebagai fungsi hunian. Berdasarkan Lampiran Keterangan DPR, Mahkamah menemukan pembahasan mengenai pemanfaatan rumah susun dengan fungsi bukan hunian telah dilakukan pada saat proses pembentukan UU 20/2011, yaitu sebagaimana pembahasan dalam Rapat Panitia Kerja Tim Perumus RUU tentang Rumah Susun yang pada pokoknya memberikan contoh misalnya terdapat suatu bangunan Gedung yang memiliki struktur dan kepemilikan sebagaimana pengertian rumah susun, namun dari 10 lantai, hanya 2 atau 3 lantai yang difungsikan sebagai hunian, maka bangunan gedung tersebut tidak termasuk dalam pengertian rumah susun [vide Risalah Rapat Panitia Kerja Tim Perumus RUU tentang Rumah Susun Komisi V DPR RI, tanggal 28 Juni 2011, hlm. 23 –31].
Berdasarkan risalah rapat pembahasan tersebut, maka UU 20/2011 memang mengkonstruksikan pengertian rumah susun yang mensyaratkan dominasi fungsi hunian, sedangkan fungsi lainnya adalah sebagai pendukung. Pemahaman demikian juga telah sesuai dengan pengertian bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagaimana sebagiannya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada pokoknya menentukan bangunan gedung memiliki fungsi yaitu sebagai hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Dalam kaitan ini, keberadaan kondotel sebagai bangunan Gedung yang memiliki fungsi usaha ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP dimaksud) yang menyatakan, “Yang dimaksud fungsi usaha meliputi: e. Bangunan Gedung perhotelan, seperti wisma, losmen, hostel, motel, rumah kos, hotel, dan kondotel.” Oleh karena itu, kondotel yang lebih memiliki fungsi kegiatan usaha memang tidak sesuai dengan pengertian rumah susun berdasarkan UU 20/2011 dan apabila dengan menambahkan fungsi bukan hunian dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 sebagaimana permohonan para Pemohon, hal demikian justru akan menyebabkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 20/2011 serta dengan peraturan perundang-undangan lain yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum karena desain UU 20/2011 menempatkan fungsi utama rumah susun adalah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa Mahkamah memahami keberadaan kondotel sebagai jenis usaha atau bentuk investasi baru yang terus akan berkembang seiring dengan peningkatan kebutuhan akan layanan jasa perhotelan di Indonesia menjadikan kondotel harus memiliki payung hukum tersendiri sesuai dengan karakteristiknya. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas, telah nampak bahwa kondotel memiliki struktur bangunan dan model kepemilikan yang sama dengan rumah susun. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada fungsi kondotel yaitu sebagai salah satu kegiatan usaha. Keberadaan karakteristik yang demikian ternyata secara spesifik tidak terakomodir dalam hukum positif sehingga terdapat kekosongan hukum dalam pengaturannya. Oleh karena itu, Mahkamah mendorong pembentuk undang-undang untuk dapat segera menyusun undang-undang maupun peraturan pelaksana yang dapat dijadikan dasar hukum bagi penyelenggaraan rumah susun yang memiliki fungsi bukan hunian di Indonesia.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, norma Pasal 50 UU 20/2011 tidak menyebabkan hilangnya hak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah penguasaan, termasuk dalam hal ini hak kepemilikan, secara sewenang-wenang sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430