Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Ikhsan Yosarie, S.IP., Gustika Fardani Jusuf, B.A., (Hons.), Leon Alvinda Putra yang diwakili oleh Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019
Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan provisi yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk mengeluarkan putusan provisi (sela) yang menyatakan implementasi UU 23/2019 khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan ditunda pelaksanaannya sepanjang undang-undang a quo masih dalam proses pengujian di Mahkamah. Bahwa terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah tidak terdapat urgensinya untuk menunda pelaksanaan UU 23/2019 terutama yang terkait dengan perekrutan komponen cadangan, karena para Pemohon tidak mengajukan bukti yang kuat berkaitan dengan perekrutan komponen cadangan serta dampak negatif yang ditimbulkan oleh perekrutan dimaksud. Selain itu, jika pelaksanaan undang-undang a quo ditunda justru dapat terjadi kekosongan hukum dalam pengelolaan sumber daya nasional untuk mewujudkan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, terutama dalam mempersiapkan pengadaan komponen cadangan yang terlatih, apabila suatu waktu dibutuhkan ketika negara dalam keadaan terancam. Oleh karenanya dibutuhkan komponen cadangan yang telah siap sedia, baik dari segi kemampuan dasar militernya maupun kemampuan kesiagaan ketika terjadi ancaman. Terlebih lagi, keterlibatan warga negara sebagai komponen cadangan bersifat sukarela. Dengan demikian, tidak terdapat urgensi untuk menunda pelaksanaan UU 23/2019. Oleh karena itu, menurut Mahkamah permohonan provisi para Pemohon tidaklah beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.14.1] Bahwa setelah mencermati secara saksama dalil para Pemohon dalam permohonannya, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 dan Pasal 79 UU 23/2019. Para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan Pasal 75 UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah sebagaimana diatur oleh Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, serta telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan juga dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut, Mahkamah terlebih dahulu mengutip Pasal 74 huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Udang (PMK 2/2021) yang pada pokoknya menyatakan, Mahkamah dapat menyatakan permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena: b. dalil tidak terdapat dalam posita tetapi ada dalam petitum atau sebaliknya. Dengan mendasarkan pada ketentuan a quo, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo terdapat dalam posita atau pokok permohonan para Pemohon, namun tidak terdapat dalam petitum permohononan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 UU 23/2019 harus dinyatakan tidak jelas atau kabur sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Dalam permohonannya, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 79 UU 23/2019, namun dalam petitumnya terdapat ketidaksesuaian petitum, yakni antara petitum angka 5 dan angka 6 dengan petitum angka 7 dan angka 8, di mana dalam Petitum angka 5 dan angka 6, para Pemohon meminta antara lain Pasal 79 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “Warga Negara dan/atau komponen cadangan sumber daya manusia”. Namun, dalam petitum angka 7 dan petitum angka 8 para Pemohon juga meminta, antara lain Pasal 79 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Setelah mencermati secara saksama, pada satu sisi para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 79 UU 23/2019 dan di sisi lain memohon kepada Mahkamah untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, petitum yang demikian adalah petitum yang saling bertentangan yang hanya dapat dibenarkan kalau di antara keduanya dibuat secara pilihan (alternatif) bukan bersifat kumulatif. Oleh karenanya, petitum demikian menjadi tidak jelas atau kabur, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.14.2] Bahwa selanjutnya, Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma UU 23/2019 yang dipersoalkan oleh para Pemohon, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Apakah benar norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 UUD 1945.
2. Apakah benar norma Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
3. Apakah benar norma Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1), serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945.
4. Apakah benar norma Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
5. Apakah benar norma Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 telah menciptakan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas, terutama terkait dengan identifikasi bentuk-bentuk ancaman yang terdiri dari militer, nonmiliter, dan hibrida sehingga berpotensi multitafsir dalam implementasinya. Para Pemohon juga 306 mendalikan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 tidak sejalan atau disharmonis dengan ketentuan Pasal 7 UU 3/2002.
…
[3.15.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip kepastian hukum karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas. Selain itu, juga menurut para Pemohon ancaman dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 tidak sejalan atau disharmonis dengan pengaturan ancaman dalam ketentuan Pasal 7 UU 3/2002. Dalam hal ini, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2002 pada pokoknya menentukan 307 bahwa ancaman militer dalam sistem pertahanan negara menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, serta ancaman nonmiliter dalam sistem pertahanan negara menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Sementara itu, dalam ketentuan Pasal 4 UU 23/2019 ditentukan pada pokoknya 3 (tiga) jenis ancaman, yakni: (1) ancaman militer yang merupakan ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer terhadap integrasi nasional dapat berasal baik dari luar maupun dalam negeri. Misalnya ancaman dari luar negeri adalah mata-mata (spionase), agresi militer, aksi teror dari jaringan internasional pelanggaran wilayah oleh negara lain, sabotase (perusa akan milik pemerintah, dan sebagainya). Sedangkan, ancaman dari dalam negeri, berupa antara lain pemberontakan bersenjata, aksi kekerasan yang berbau SARA, konflik horisontal, gerakan separatis (upaya pemisahan diri untuk membuat negara baru [vide Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002]; (2) ancaman nonmiliter yang merupakan bentuk ancaman yang tidak menggunakan senjata. Namun, jika dibiarkan, bisa membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan segenap bangsa. Pada hakikatnya, ancaman nonmiliter dinilai berpotensi membahayakan kedaulatan negara, kepribadian bangsa, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman ini salah satunya disebabkan oleh pengaruh negatif dari globalisasi yang menghilangkan sekat atau batas pergaulan antarbangsa, disadari atau tidak telah menimbulkan dampak negatif yang berpotensi menjadi ancaman bagi keutuhan sebuah negara. Ancaman nonmiliter mencakup dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan hingga teknologi dan informasi; (3) ancaman hibrida sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU 23/2019 adalah ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan ancaman nonmiliter.
Lebih lanjut, setelah Mahkamah mencermati secara saksama substansi Pasal 4 ayat (2) UU 23/2019, pada prinsipnya telah mengakomodasi prinsip prediktabilitas terhadap perkembangan berbagai bentuk ancaman yang sangat dinamis yang tentunya memiliki perbedaan situasi dan kondisi dibandingkan dengan pengaturan jenis ancaman pada saat UU 3/2002 diundangkan. Penambahan jenis ancaman hibrida dalam ketentuan Pasal a quo adalah untuk melengkapi lingkup ancaman yang diatur dalam UU 3/2002 yang belum mengatur perihal ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Selain itu, penambahan jenis ancaman dimaksud juga untuk mengantisipasi perkembangan ancaman yang bersifat multidimensional dan strategis sesuai dengan perkembangan global. Bertolak dari pendefinisian ancaman dan jenis-jenis ancaman terhadap negara sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah dengan adanya jenis-jenis ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan negara yang tidak hanya berupa ancaman militer dan ancaman nonmiliter, termasuk juga ancaman hibrida, hal tersebut merupakan identifikasi terhadap hakikat ancaman yang sangat dinamis yang berbeda situasi dan kondisinya. Ancaman hibrida merupakan jenis ancaman yang juga harus diwaspadai dalam konteks perkembangan kekinian yang sebelumnya tidak diatur dalam UU 3/2002. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah jika pembentuk undang-undang hanya mengkomodasi pengaturan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara pada jenis ancaman militer dan ancaman nonmiliter sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2002, maka jika terjadi ancaman yang tidak terdapat dalam kedua jenis ancaman tersebut, hal demikian akan dapat menyebabkan terjadinya kekosongan hukum dalam menanggulangi ancaman yang bersifat multidimensional dan campuran antara ancaman militer dan nonmiliter.
[3.15.2] Bahwa selanjutnya, para Pemohon juga mendalilkan mobilisasi komponen cadangan dan komponen pendukung yang diatur pada Pasal 29 UU 23/2019 hanya dapat dilakukan untuk menghadapi ancaman militer dengan adanya pernyataan keadaan bahaya. Dalam kaitan dengan dalil para Pemohon tersebut, penting untuk 311 dicermati secara saksama keterkaitan antara pasal-pasal dalam UU 23/2019. Dalam hal ini, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 UU 23/2019 menyatakan:
Pasal 63
(1) Dalam hal seluruh atau sebagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang, Presiden dapat menyatakan Mobilisasi.
(2) Dalam menyatakan Mobilisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 64
(1) Mobilisasi dikenakan terhadap Komponen Cadangan.
(2) Komponen Pendukung yang dikenai Mobilisasi harus ditingkatkan statusnya menjadi Komponen Cadangan.
Pasal 65
(1) Komponen Pendukung yang tidak ditingkatkan statusnya menjadi Komponen Cadangan wajib memberikan dukungan pada saat Mobilisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan tugas dan fungsi.
(2) Komponen Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat nonkombatan.
Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pernyataan mobilisasi yaitu pengerahan dan penggunaan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional yang telah dipersiapkan dan dibina sebagai komponen kekuatan pertahanan negara, tidaklah serta merta tetapi harus melewati prosedur yang ketat. Mobilisasi dilakukan dalam hal seluruh atau sebagian wilayah NKRI dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang. Dalam menyatakan mobilisasi, Presiden harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, Mobilisasi dikenakan terhadap komponen cadangan, dan bagi komponen Pendukung yang dikenai mobilisasi tidaklah serta merta, tetapi statusnya harus ditingkatkan terlebih dahulu menjadi komponen cadangan. Prosedur dalam UU 23/2019 yang menghendaki adanya persetujuan DPR dalam menghadapi ancaman militer telah sejalan pula dengan keberlakuan Pasal 14 UU 3/2002 dan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002. Karena ancaman militer yang dimaksudkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 telah menciptakan ketidakpastian hukum karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas dalam penyusunannya sehingga berpotensi multitafsir dalam implementasinya serta dianggap tidak sejalan atau disharmonis dengan pengaturan ancaman dalam ketentuan Pasal 7 UU 3/2002 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan penyebutan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 81, dan Pasal 82 UU 23/2019 telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Lebih lanjut, menurut para Pemohon pengaturan mengenai sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana prasarana lain sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung tidak diatur secara rigid dan rinci sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dengan alasan pertahanan negara. Oleh karena itu, menurut para Pemohon ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah dengan memperhatikan norma Pasal 1 angka 2 UU 3/2002 yang pada pokoknya menyatakan sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, maka dengan sifat kesemestaannya tersebut pemerintah harus mempersiapkan secara dini seluruh sumber daya nasional dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala macam ancaman. Sumber daya nasional dimaksud adalah bagian dari komponen cadangan yang terdiri dari warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana serta prasarana nasional yang telah ditentukan dalam Pasal 28 UU 23/2019 bahwa:
(1) Komponen Cadangan terdiri atas:
a. Warga Negara;
b. Sumber Daya Alam;
c. Sumber Daya Buatan; dan
d. Sarana dan Prasarana Nasional
(2) Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela.
(3) Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d merupakan pemanfaatan dalam usaha Pertahanan Negara.
Pembentukan komponen cadangan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana prasarana nasional merupakan wujud dari pemanfaatan dalam usaha pertahanan negara setelah ditetapkan menjadi komponen cadangan melalui tahapan verifikasi dan klasifikasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 UU 23/2019 yang menyatakan:
Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan menjadi Komponen Cadangan setelah melalui tahapan:
a. verifikasi; dan
b. klasifikasi.
Verifikasi yang dimaksud adalah kegiatan pendataan terhadap sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah memenuhi syarat sebagai komponen cadangan. Selanjutnya, UU 23/2019 juga telah mengatur mengenai komponen cadangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 dan Pasal 51 sampai dengan Pasal 55 UU 23/2019 yang masing-masing menyatakan sebagai berikut:
Pasal 23:
Penetapan Komponen Pendukung tidak menghilangkan:
Pasal 51
Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan menjadi Komponen Cadangan setelah melalui tahapan:
a. verifikasi; dan
b. klasifikasi.
Pasal 52
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dilaksanakan melalui kegiatan pendataan terhadap Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang memenuhi syarat sebagai Komponen Cadangan.
(2) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang ditetapkan sebagai Komponen pendukung.
Pasal 53
Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang telah diverifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diklasifikasikan melalui kegiatan pemilahan dan pengelompokan sesuai dengan kematraan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31.
Pasal 54
(1) Setelah tahapan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional ditetapkan menjadi Komponen Cadangan.
(2) Penetapan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Dalam menetapkan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga terkait.
(4) Penetapan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada pemilik atau pengelola Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional.
Pasal 55
Penetapan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 tidak menghilangkan:
a. hak pemilik untuk mengalihkan hak kepemilikan, mengelola, dan/atau menggunakan; dan/atau
b. hak pengelola untuk mengelola dan/atau menggunakan, terhadap Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional.
Bahwa tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana UU 23/2019, pelaksanaan pembentukan komponen cadangan tersebut juga telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PP 3/2021). Merujuk ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menjadi jelas bahwa sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, selain harus dipersiapkan secara dini oleh pemerintah juga harus diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut tidak lain adalah dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala macam bentuk ancaman. Selain itu, penetapan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana prasarana nasional telah dilakukan melalui serangkaian tahapan atau prosedur, antara lain proses verifikasi dan klasifikasi, sehingga penggunaan sumber daya tersebut terukur agar tidak melanggar hak asasi manusia dan hak kepemilikan pribadi atas sumber daya tersebut. Dengan cara tersebut negara tidak boleh mengambil alih kepemilikan properti warga negara secara sewenang-wenang. Dengan kata lain, penetapan Komponen Cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional tidak mengabaikan prinsip kesukarelaan karena sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional yang dikelola dengan baik oleh warga negara telah melewati serangkaian tahapan yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan dengan kesukarelaan dari pemilik, dan tetap memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak properti yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, tidak akan membuka ruang potensi konflik sumber daya alam dan konflik pertanahan antara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, penetapan sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional sebagai komponen cadangan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain.
Dengan demikian, pembentukan komponen cadangan yang merupakan salah satu wadah keikutsertaan warga negara serta sarana dan prasarana nasional dalam usaha pertahanan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah (Kementerian) harus tetap menerapkan sistem tata kelola pertahanan negara yang demokratis, berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia serta mentaati peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, untuk melakukan mobilisasi sumber daya nasional hanya dapat ditetapkan oleh Presiden setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena keadaan darurat militer atau keadaan perang [vide Pasal 63 UU 23/2019]. Dalam hal telah dinyatakan oleh Presiden mengenai mobilisasi maka mobilisasi dikenakan kepada komponen cadangan. Pengunaan komponen cadangan ini adalah dalam rangka untuk memperbesar dan memperkuat komponen utama [vide Pasal 61 UU 23/2019]. Penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa keberadaan warga negara sebagai komponen cadangan dimaksud merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela [vide Pasal 28 ayat 2 UU 23/2019].
Selanjutnya, terhadap sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional milik pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, dan milik perseorangan yang telah selesai dimobilisasi wajib dikembalikan ke fungsi dan status semula melalui demobilisasi dengan disertai kompensasi sesuai dengan kemampuan negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 72 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU 23/2019 yang menyatakan:
(1) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional milik Pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, dan milik perseorangan yang telah selesai di-Mobilisasi wajib dikembalikan ke fungsi dan status semula melalui Demobilisasi.
(2) Pemerintah wajib mengembalikan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional milik Pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, milik perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan disertai kompensasi sesuai dengan kemampuan keuangan Negara.
(3) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pemilik dan/atau pengelola setelah Demobilisasi paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 79 sampai dengan Pasal 83 UU 23/2019 yang dipersoalkan oleh para Pemohon melanggar prinsip conscientious objection karena aturannya yang tidak rigid. Terhadap hal tersebut, sebagaimana telah dikemukakan pada pertimbangan hukum di atas, dalam kaitan dengan ketentuan pidana ini, penting Mahkamah tegaskan bahwa norma hukum pidana tersebut merupakan kategori administrative penal law yakni produk legislatif berupa peraturan perundang undangan dalam lingkup administrasi negara yang memuat sanksi pidana. Hal ini mengingat, keberadaan ketentuan kewajiban yang telah diatur dalam norma Pasal 66 UU 23/2019 harus dibarengi dengan ketentuan pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara, karena kewajiban pemilik dan/atau pengelola menyerahkan pemanfaatan atas sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional telah disepakati untuk ditetapkan statusnya menjadi komponen cadangan. Oleh karena itu, ancaman sanksi pidana merupakan konsekuensi logis untuk menghindari adanya pengingkaran dan tipu muslihat [vide Pasal 77 sampai dengan Pasal 82 UU 23/2019]. Dengan adanya pengaturan sanksi pidana yang jelas dalam penegakannya, menurut Mahkamah akan mendorong percepatan pemulihan kembali keadaan dan demobilisasi. Terlebih lagi, proses penetapan menjadi komponen cadangan melewati prosedur yang ketat dengan adanya pernyataan Presiden untuk mobilisasi karena seluruh atau sebagian wilayah NKRI dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang dan pernyataan tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR [vide Pasal 63 UU 23/2019]. Keadaan darurat militer atau darurat perang tersebut dapat terjadi karena negara menghadapi ancaman militer atau ancaman hibrida [vide Pasal 29 UU 23/2019]. Dalam kaitan dengan ancaman, khususnya ancaman hibrida untuk menyatakan mobilisasi, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang perlu segera mengatur secara lebih rinci dan komprehensif dalam undang-undang dengan cara mengharmoniskan dan mensinkronkan dengan undang-undang lainnya, antara lain UU 3/2002 dan UU 34/2004. Perubahan yang komprehensif tersebut perlu segera dilakukan mengingat ancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU 23/2019 tidak terdapat kejelasan pembedaan antara ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida. Terlebih lagi, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU 23/2019 dijelaskan bahwa ancaman hibrida adalah sebagai ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan nonmiliter. Perubahan demikian menjadi penting karena telah ditetapkan sebagai salah satu RUU dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2022 [vide Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024].
Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan menjadikan warga negara secara langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1), serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 melanggar ketentuan Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 dan juga bertentangan dengan prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan, yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.13] mengenai upaya bela negara dan keikutsertaan warga negara dalam pertahanan dan keamanan negara, telah diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 UUD 1945. Dalam kaitan dengan ketentuan dimaksud dan mengingat perjalanan sejarah bangsa Indonesia, maka sebagaimana negara-negara lainnya juga memiliki cara sendiri untuk membangun sistem pertahanan negaranya, yaitu sistem pertahanan yang bersifat semesta dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, yang dipersiapkan secara dini oleh Pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala Ancaman [vide Penjelasan Umum UU 23/2019]. Dalam kaitan ini, lebih lanjut Pasal 9 UU 3/2002 menyatakan bahwa:
(1) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
(2) Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan
(3) Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang.
Ketentuan dimaksud menguatkan bahwa upaya bela negara yang dilakukan oleh warga negara pada dasarnya adalah dalam rangka membentuk sikap dan tindak warga negara yang dilandasi oleh kecintaan kepada negara. Dalam hal ini, seluruh warga negara secara sadar sudah seharusnya cinta kepada negara yang diwujudkan dalam kesediaan untuk melindungi, mempertahankan, dan memajukan kehidupan bersama. Kesadaran bela negara tersebut pada hakikatnya adalah kesediaan berbakti pada negara dan berkorban untuk membela negara yang dapat diwujudkan dalam berbagai hal yang terbaik untuk negara. Persoalannnya adalah apakah bela negara yang dilakukan oleh warga negara yang bergabung sebagai komponen cadangan untuk pertahanan negara tidak memberikan perlindungan bagi warga negara jika ada warga negara yang menolak dengan alasan keyakinan dan hati nurani (conscientious objection) sehingga berpotensi menyebabkan kriminalisasi dan pelanggaran hak-hak asasi warga negara.
Berkenaan dengan persoalan pokok di atas, penting dipahami secara saksama ketentuan dalam UU 3/2002, di mana dalam ketentuan Pasal 8 UU a quo menyatakan:
(1) Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama.
(2) Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
(3) Komponen cadangan dan komponen pendukung, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan undang-undang.
Dengan mendasarkan pada ketentuan tersebut, dibentuklah UU 23/2019 yang mengatur lebih lanjut mengenai keikutsertaan warga negara dalam sistem pertahanan negara sebagaimana amanat Pasal 30 UUD 1945. Warga negara pada pokoknya dapat ikut serta dalam usaha penyelenggaraan pertahanan negara sebagai komponen pendukung atau komponen cadangan [vide Pasal 17 dan Pasal 18 UU 23/2019]. Keikutsertaan demikian ditentukan oleh pembentuk UU a quo bersifat sukarela. Dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU 23/2019 dijelaskan bahwa yang dimaksud sukarela adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, partisipasi warga negara dalam membela negara tidak melanggar prinsip conscientious objection (hak untuk menolak untuk bergabung dalam dinas militer), karena negara tidak mewajibkan warga negaranya untuk menjadi komponen cadangan dan/atau komponen pendukung melainkan secara sukarela dalam usaha penyelenggaraan pertahanan negara sebagaimana ditentukan juga dalam Pasal 28 ayat (2) UU 23/2019 yang menyatakan, “Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela.” Hal tersebut juga tergambar jelas dalam tata cara perekrutan komponen cadangan yang ditentukan dalam Pasal 33 UU 23/2019 yang menyatakan:
(1) Setiap Warga Negara berhak mendaftar menjadi calon Komponen Cadangan.
(2) Setiap Warga Negara yang mendaftar menjadi calon Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. berusia minimal 18 (delapan belas) tahun dan maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani; dan
e. tidak memiliki catatan kriminalitas yang dikeluarkan secara tertulis oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, ketentuan tentang perekrutan komponen cadangan juga diatur dalam PP 3/2021 yang merupakan pelaksana UU 23/2019. Dengan telah ditentukannya tata cara perekrutan komponen cadangan sebagaimana termuat dalam PP 3/2021 tersebut maka telah jelas bahwa dalam hal perekrutan warga negara untuk bergabung dalam komponen cadangan tidak terdapat paksaan sama sekali kepada kepada warga negara. Dalam kaitan ini, proses perekrutan harus melalui beberapa tahapan, antara lain mendaftarkan diri dan mengikuti seleksi administrasi dan kompetensi. Oleh karena itu, dengan adanya ketentuan yang tidak mewajibkan bagi warga negara untuk ikut mendaftar dan bergabung dalam komponen cadangan dapat dikatakan bahwa UU a quo telah sejalan dengan prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya).
Dengan demikian, kriteria atau persyaratan dalam perekrutan komponen cadangan yang telah ditentukan dalam UU 23/2019 tersebut ditujukan kepada setiap warga negara secara sukarela. Artinya, siapapun Warga Negara Indonesia dapat bergabung menjadi anggota komponen cadangan secara sukarela sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan [vide Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 UU 23/2019]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah sekalipun ada ketentuan yang mengatur proses rekrutmen calon komponen cadangan yang telah dinyatakan lulus administrasi dan kompetensi yang wajib mengikuti pelatihan dasar kemiliteran adalah perwujudan bentuk kesiap-siagaan negara apabila komponen cadangan dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan negara Indonesia. Kewajiban mengikuti pelatihan dasar kemiliteran tersebut ditentukan dengan tetap menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara yang berasal dari unsur aparatur sipil negara, pekerja/buruh, dan mahasiswa. Apabila calon komponen cadangan tersebut dinyatakan lulus dalam pendidikan dasar kemiliteran diangkat dan ditetapkan menjadi komponen cadangan untuk memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI sebagai komponen utama setelah adanya penyataan Presiden mengenai mobilisasi [vide Pasal 38, Pasal 66 dan Penjelasan Umum UU 23/2019].
Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon dengan adanya ketentuan Pasal 18 UU 23/2019 yang pada pokoknya menyatakan “Komponen pendukung dapat digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida” bertentangan dengan prinsip conscientious objection dan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019. Menurut Mahkamah, kekhawatiran para Pemohon a quo dapat dipahami, namun hal demikian telah diantisipasi dengan adanya pengaturan sedemikian rupa mengenai keikutsertaan warga negara untuk dapat dimobilisasi sesuai dengan tahapan-tahapan sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Termasuk juga UU a quo telah sejalan dengan prinsip conscientious objection. Terlebih lagi, penggunaan sumber daya nasional baik berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan dalam kedudukannya sebagai komponen pendukung untuk digunakan bagi kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan pertahanan negara dalam konteks sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, tidaklah serta merta, karena komponen pendukung yang dikenai mobilisasi harus ditingkatkan statusnya terlebih dahulu menjadi komponen cadangan [vide Pasal 64 ayat (2) UU 23/2019]. Dalam konteks sistem kesemestaan semua sumber daya nasional dapat didayagunakan untuk upaya pertahanan negara, baik sebagai komponen pendukung maupun sebagai komponen cadangan. Dalam hal ini, untuk komponen pendukung yang tidak ditingkatkan statusnya menjadi komponen cadangan wajib memberikan dukungan pada saat mobilisasi yang mekanismenya dikoordinasikan oleh kementerian/ lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya [vide Pasal 65 ayat (1) UU 23/2019]. Tujuan pengaturan demikian adalah untuk memberikan batasan-batasan yang jelas dan terukur dalam penggunaan komponen pendukung dan komponen cadangan pada saat mobilisasi. Sementara itu, pengaturan ketentuan pidana yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah berkaitan dengan setiap komponen cadangan yang dengan sengaja membuat dirinya tidak memenuhi panggilan mobilisasi atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan dirinya terhindar dari mobilisasi [Pasal 77 UU 23/2019]. Selanjutnya, Pasal 78 UU 23/2019 berkaitan dengan ketentuan pidana yang ditujukan bagi pemberi kerja/pengusaha atau lembaga pendidikan yang menghambat mobilisasi. Pengaturan sanksi pidana dalam keadaan mobilisasi yang telah dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.16].
Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan keterlibatan warga negara secara langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E dan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 dan dengan prinsip conscientious objection adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan pada pokoknya Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 yang menempatkan anggota Kepolisian Negara RI (Polri) sebagai Komponen Pendukung yang setara dengan warga terlatih, salah satunya adalah anggota organisasi kemasyarakatan, merupakan perumusan norma yang keliru dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, karena mencampuradukkan kekuatan utama dan kekuatan pendukung dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa seiring dengan perubahan pengaturan Pertahanan dan Keamanan Negara dalam UUD 1945, yang juga telah ditentukan dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000, dan Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 terjadi perubahan rumusan tugas, fungsi, dan peran Polri serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Fungsi dan peran TNI dan Polri dalam Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 adalah:
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Peran dan fungsi TNI dan Polri tersebut selanjutnya dijabarkan dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002), yang menyatakan, “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan 323 keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” [vide Pasal 2 UU 2/2002], dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) yang menyatakan, “TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara” [vide Pasal 5 UU 34/2004]. Adanya ketentuan yang membedakan tugas dan fungsi TNI dan Polri mulai dari UUD 1945 hingga undangundang merupakan wujud paradigma baru TNI dan Polri, di mana Polri tidak lagi menjadi bagian dari TNI, tetapi telah menjadi bagian dari masyarakat sipil (civil society). Adanya pengaturan yang dengan tegas membedakan fungsi TNI dan Polri berimplikasi pada berbagai peraturan terkait lainnya, salah satunya adalah UU 23/2019.
Perubahan tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”. Bertolak pada ketentuan konstitusi tersebut, ditegaskan pula bahwa TNI dan Polri dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta adalah kekuatan utama sesuai dengan fungsinya masing-masing. Fungsi tersebut harus didasarkan pada paradigma baru Polri yang menempatkannya sebagai bagian dari masyarakat sipil, bukan lagi merupakan bagian yang terintegrasi dengan TNI. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2002 yang menyatakan:
(2) Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
(3) Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Berdasarkan berbagai ketentuan yang telah diuraikan di atas, Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam komponen pertahanan negara TNI sebagai kekuatan utama adalah Komponen Utama yang berfungsi menangkal terhadap berbagai ancaman militer atau bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Sedangkan, Polri sekalipun disebut juga dalam UUD 1945 sebagai kekuatan utama keamanan dan ketertiban masyarakat, namun dalam sistem pertahanan negara bukan merupakan Komponen Utama tetapi Komponen Pendukung. Hal ini telah sejalan dengan paradigma baru Polri yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU 23/2019 dan Penjelasannya menyatakan bahwa anggota Polri merupakan bagian dari Komponen Pendukung yang dimaksudkan untuk memperkuat dan memperbesar Komponen Utama sehingga kedudukannya dalam sistem pertahanan negara sama dengan warga negara terlatih yang contohnya antara lain adalah: a. purnawirawan TNI dan Polri; b. anggota resimen mahasiswa; c. anggota satuan polisi pamong praja; d. anggota polisi khusus; e. anggota satuan pengamanan; f. anggota pelindungan masyarakat; dan g. anggota organisasi kemasyarakatan lain yang dapat dipersamakan dengan warga terlatih [vide Penjelasan Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 23/2019]. Dengan demikian, menempatkan Polri dalam komponen pertahanan negara sebagai Komponen Pendukung yang disetarakan dengan warga terlatih tidak bertentangan dengan amanat Pasal 30 UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan di muka hukum dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena terhadap komponen cadangan semestinya tetap diterapkan status subjek hukum sipil, yang sepenuhnya tunduk pada sistem dan mekanisme peradilan sipil (peradilan umum), mengingat kualifikasinya yang berbeda dengan komponen utama yaitu anggota TNI.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu mengutip kembali Pasal 46 UU 23/2019 yang menyatakan, “Bagi Komponen Cadangan selama masa aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) diberlakukan hukum militer”. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal a quo dinyatakan, “Yang dimaksud dengan "diberlakukan hukum militer" adalah Komponen Cadangan selama masa aktif tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi militer”. Dengan mendasarkan pada Pasal 44 ayat (1) UU 23/2019 yang dirujuk oleh Pasal 46 UU a quo, terdapat 2 (dua) kriteria Komponen Cadangan yang tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi militer, yaitu: (1) Komponen Cadangan pada saat mengikuti pelatihan penyegaran; (2) Komponen Cadangan pada saat mobilisasi.
Dalam kaitan dengan mengikuti pelatihan penyegaran yang dimaksud ditentukan oleh UU a quo sebagai salah satu bentuk kewajiban Komponen Cadangan [vide Pasal 41 UU 23/2019]. Dengan demikian, warga negara yang telah memenuhi seluruh persyaratan Komponen Cadangan tersebut dipersamakan dengan prajurit yang mengabdi secara sukarela dalam usaha pertahanan negara. Dalam hal Komponen Cadangan mengikuti pelatihan penyegaran, hal tersebut ditentukan sebagai masa aktif Komponen Cadangan sehingga terhadap mereka diberlakukan hukum militer. Demikian juga halnya jika Komponen Cadangan dimobilisasi karena seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan dalam Pasal 63 UU 23/2019 maka terhadap Komponen Cadangan tersebut juga berlaku hukum militer.
Dengan mendasarkan lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 46 UU 23/2019 antara lain dijelaskan bahwa hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini, penting bagi Mahkamah mengutip norma Pasal 1 angka 15 UU 34/2004 yang menentukan bahwa “Prajurit Sukarela adalah warga negara yang atas kemauan sendiri mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan”. Jika norma a quo dikaitkan dengan ketentuan Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU 31/1997) telah ditentukan bahwa “Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pangadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam konteks inilah, norma Pasal 46 UU 23/2019 merupakan unsur yang dimaksudkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c UU 31/1997. Artinya, pengadilan militer 326 tidak hanya ditujukan kepada Komponen Utama, yaitu TNI yang melakukan tindak pidana, melainkan juga bagi Komponen Cadangan baik pada saat mengikuti pelatihan penyegaran dan/atau pada saat dimobilisasi.
Jika dicermati secara saksama, dalam ketentuan UU 23/2019 telah ternyata terdapat 2 (dua) istilah pelatihan kemiliteran yang diwajibkan bagi Komponen Cadangan, yakni: (1) pelatihan dasar kemiliteran yang merupakan bagian dari tahapan pembentukan Komponen Cadangan yang diwajibkan bagi calon Komponen Cadangan yang telah lulus seleksi administratif dan kompetensi. Di mana pelatihan dasar tersebut dilaksanakan selama 3 bulan [vide Pasal 32 huruf c dan Pasal 35 ayat (1) UU 23/2019]. Jika calon Komponen Cadangan lolos dalam mengikuti pelatihan dasar kemiliteran, dapat diangkat dan ditetapkan menjadi Komponen Cadangan [vide Pasal 38 ayat (1) UU 23/2019]. Artinya, tenggang waktu selama mengikuti pelatihan dasar kemiliteran tersebut didesain sebagai bagian dari proses seleksi calon Komponen Cadangan. Oleh karena itu, bagi mereka tidak diberlakukan hukum militer.
Sementara itu, mengikuti pelatihan penyegaran merupakan kewajiban yang dibebankan kepada Komponen Cadangan yang telah diangkat, ditetapkan dan diambil sumpah/janjinya dan kepada mereka diberikan hak antara lain berupa uang saku selama menjalani pelatihan, rawatan kesehatan dan pelindungan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian [vide Pasal 42 UU 23/2019]. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP 3/2021, Komponen Cadangan yang telah dilantik dan mengucapkan sumpah/janji diberikan pangkat yang mengacu pada penggolongan pangkat TNI. Pangkat Komponen Cadangan dimaksud hanya digunakan pada masa aktif Komponen Cadangan [vide Pasal 58 PP 3/2021]. Lebih lanjut, UU 23/2019 menentukan status Komponen Cadangan pada saat mengikuti pelatihan penyegaran tersebut ditentukan sebagai masa aktif pengabdian yang siap digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Pelatihan penyegaran dimaksud merupakan latihan untuk memelihara dan meningkatkan serta menjaga kemampuan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan untuk kepentingan pertahanan negara. Adapun masa mengikuti pelatihan penyegaran paling singkat 12 (dua belas) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari serta dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Terdapat kemungkinan 3 (tiga) lokasi pelaksanaan pelatihan, yaitu di lembaga pendidikan di lingkungan TNI, di daerah latihan militer dan/atau di kesatuan TNI setingkat batalyon [vide Pasal 64 dan Pasal 65 ayat (2) PP 3/2021].
Dalam status masa aktif inilah diberlakukan bagi Komponen Cadangan hukum militer, yakni semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, segala hukum dan ketentuan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugas TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan negara dikategorikan sebagai hukum militer [vide Penjelasan Pasal 64 UU 34/2004]. Hukum militer tersebut dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Hingga saat ini, hukum militer yang masih diberlakukan adalah UU 31/1997. Berkenaan dengan UU a quo, menurut Mahkamah perlu dilakukan perubahan yang komprehensif sehingga dapat mengakomodasi berbagai bentuk perubahan dan kebutuhan hukum sesuai dengan semangat reformasi nasional dan reformasi TNI, tanpa mengabaikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Pentingnya segera dilakukan perubahan inipun sejalan dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menghendaki adanya UU peradilan militer yang sesuai dengan semangat reformasi keamanan. Terlebih lagi, usulan perubahan UU 31/1997 pernah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014. Oleh karena itu, Mahkamah mengingatkan pembentuk undang-undang untuk segera merealisasikan reformasi undang-undang peradilan militer.
Dengan demikian, sambil menunggu perubahan UU 31/1997 yang disusun secara komprehensif dan sesuai dengan semangat reformasi, menurut Mahkamah pemberlakuan UU 31/1997 bagi Komponen Cadangan dalam masa aktif baik pada saat mengikuti pelatihan penyegaran dan/atau mobilisasi, masih dapat dibenarkan karena status Komponen Cadangan dimaksud adalah subjek yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan ketentuan UU 23/2019.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 dan Pasal 79 UU 23/2019 adalah kabur. Sementara itu, berkaitan dengan norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, Pasal 78, Pasal 81, serta Pasal 82 UU 23/2019 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan dengan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430