Ir. Barid Effendi, Dedy Dani Ardi, S.E., M.E., Riris Munadiya, S.E., M.E., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999
Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat diajukan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Bahwa pengujian norma Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Oktober 2020 dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam perkara Nomor 54/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU 5/1999 terhadap Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Sedangkan, untuk permohonan Pemohon a quo yang dimohonkan pengujiannya adalah Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999, tidak termasuk ayat (1), terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, meskipun terdapat pasal yang diujikan sama yakni Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 namun permohonan a quo tidak menguji ayat (1) dan terdapat pula dasar pengujian yang berbeda yakni terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, terdapat pula perbedaan pada rumusan petitum inkonstitusional bersyarat dalam permohonan a quo dengan permohonan sebelumnya. Oleh karena perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda dan juga memiliki alasan yang berbeda, maka terlepas terbukti atau tidaknya secara substansial permohonan a quo, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan yang didalilkan Pemohon telah ternyata pada pokoknya berkenaan dengan status kelembagaan sekretariat KPPU dan pengaturan lebih lanjut sekretariat KPPU dengan Keputusan Komisi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999. Untuk itu penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 terkait dengan sekretariat KPPU yang mempertimbangkan sebagai berikut:
“ …, sekretariat KPPU merupakan unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas KPPU yang susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur berdasarkan keputusan Komisi. Oleh karena itu, adanya keinginan para Pemohon yang meminta agar sekretariat KPPU dimaksud ditafsirkan sebagai sekretariat jenderal, menurut Mahkamah, dalam menentukan pembentukan unit organisasi sekretariat jenderal, diperlukan kajian yang mendalam dari segala sisi yang dikaitkan dengan fungsi, tugas, dan wewenang KPPU, karena pada dasarnya pembentukan sekretariat jenderal memiliki konsekuensi yang luas, bukan hanya terkait dengan anggaran, yang dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi juga mengakibatkan ruang lingkup kewenangan organisasi menjadi lebih besar.
Bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas, apabila Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon yakni dengan meningkatkan status kesekretariatan jenderal pada KPPU, quod non, hal tersebut sama halnya memaksa Mahkamah harus melakukan analisa tentang ruang lingkup kewenangan kelembagaan dan jabatan-jabatan yang melekat terkait dengan kesekretariatan-jenderal KPPU, namun sesungguhnya hal tersebut bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah. Selain itu, Mahkamah juga tidak dapat menggambarkan konsekuensi anggaran atau biaya yang akan dikeluarkan oleh negara jika permohonan para Pemohon dikabulkan. Dengan kata lain, hal ini menegaskan bahwa permasalahan kesekretariatan KPPU akan ditingkatkan menjadi kesekretariatan jenderal ataukah bukan, hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya, melainkan menjadi kewenangan pemerintah dan lembaga terkait untuk menentukannya. Oleh karena itu, setelah secara kelembagaan kesekretariatan dapat ditingkatkan menjadi sekretariat jenderal maka hal tersebut baru mempunyai korelasi dengan peraturan yang mengaturnya, apakah tetap diatur dengan keputusan presiden ataukah dengan peraturan presiden, penyesuaian tersebut sangat tergantung pada sifat dan kebutuhan kelembagaannya.
Bahwa penegasan berkenaan penentuan status kelembagaan kesekretariatan KPPU yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah, sesungguhnya juga dipahami oleh para Pemohon sebagaimana disampaikan para Pemohon dalam salah satu dalil permohonannya yang menyatakan penyempurnaan UU 5/1999 merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang, oleh karena itu para Pemohon memohon agar Mahkamah setidak- tidaknya dapat memberikan landasan konstitusional sebagai arah penyempurnaan UU 5/1999, sehingga rancangan undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masuk dalam daftar prolegnas rancangan undang-undang prioritas dan segera dilaksanakan (vide permohonan para Pemohon hlm. 28, huruf e). Terhadap hal tersebut, Mahkamah dapat memahami bahwa oleh karena penyempurnaan UU 5/1999 dapat juga merupakan bagian penegasan terhadap kedudukan dan kewenangan kelembagaan kesekretariatan KPPU maka dengan mempertimbangkan, bahwa lembaga KPPU dibentuk dengan tujuan untuk mencegah dan menindak adanya praktik monopoli dan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat kepada para pelaku usaha di Indonesia, KPPU sebagai lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden seperti yang disebutkan pada Pasal 30 UU 5/1999, dan ditambah dalam perjalanannya selama ini KPPU mampu menjawab tantangan untuk mengawal penerapan UU 5/1999 dan mencegah adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di berbagai sektor perekonomian Indonesia. Maka, melalui putusan ini Mahkamah penting menegaskan status kelembagaan KPPU, apabila memiliki urgensi dan telah dilakukan pengkajian yang komprehensif serta telah disesuaikan dengan kebutuhan kewenangan, ruang lingkup tugas dan fungsinya, dapat saja disesuaikan dan tidak menjadi penghalang KPPU untuk berkembang menjadi lembaga yang sesuai dengan kebutuhan.”
Lebih lanjut, dalam Putusan a quo Mahkamah juga telah mempertimbangkan terkait dengan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat KPPU, sebagai berikut:
“Bahwa uraian pertimbangan hukum Mahkamah di atas juga berlaku (mutatis mutandis) terhadap dalil para Pemohon yang meminta agar frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 ditafsirkan sebagai “Peraturan Presiden.” Hal ini dikarenakan norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 juga bersifat konkret, individual, dan sekali selesai, yakni terkait dengan susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja dalam KPPU yang merupakan kewenangan komisi untuk mengaturnya. Dengan demikian tidaklah tepat apabila mempermasalahkan norma dari Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) UU 5/1999 yang merupakan norma delegasi dari undang-undang, sementara substansi yang diperintahkan adalah memang berkaitan dengan hal yang bersifat individual, konkret, dan sekali selesai. Dengan kata lain norma Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) UU 5/1999 merupakan delegasi untuk pembentukan komisi dan susunan organisasi, tugas dan fungsi lembaga KPPU serta ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja dalam KPPU. Sehingga apabila norma pasal-pasal a quo pada frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 dan frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “Peraturan Presiden”, maka hal tersebut sama saja dengan menggeser pembentukan KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya serta susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja pada lembaga KPPU diatur dengan perpres, maka akan menggeser pula alasan historis dan substansi pembentukan KPPU yang dijadikan rujukan ketika dibentuk. Di mana oleh pembentuk undang-undang berkenaan pembentukan komisi cukup diatur dengan keppres sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999, sedangkan berkaitan dengan ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur dengan keputusan Komisi, sebagaimana diatur dalam norma Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999. Di samping hal tersebut bertentangan dengan sifat dari perpres yang merupakan ketentuan pengaturan terhadap hal-hal yang bersifat umum, abstrak dan terus-menerus, juga terdapat “contradictio in terminis” antara substansi yang diatur dengan norma yang semestinya mengatur dalam norma yang bersangkutan. Terlebih, tidak semua keppres dapat serta-merta dimaknai dan diberlakukan sebagaimana perpres, karena hanya terhadap keppres yang bersifat “mengatur” (regeling) yang dapat dimaknai sebagai perpres. Sementara itu frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 yang berkaitan dengan pembentukan lembaga KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya merupakan keppres yang berisi norma bersifat “mengatur” (regeling) ataukah “menetapkan” (beschikking) hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya.”
Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai penentuan status kelembagaan sekretariat KPPU dan substansi pengaturan lebih lanjut sekretariat KPPU bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya. Meskipun Mahkamah menyatakan demikian, namun pada bagian lain dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah juga memerintahkan secara implisit kepada addressat putusan Mahkamah agar menindaklanjutinya.
Bahwa putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga dapat saja Mahkamah memberikan perintah (judicial order) di dalam bagian pertimbangan hukum yang harus dilaksanakan juga oleh addressat putusan Mahkamah. Dalam konteks perkara a quo, meskipun dalam bagian amar putusan tersebut Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, namun dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah terdapat perintah kepada pemerintah dan lembaga terkait. Perintah tersebut yakni untuk terlebih dahulu melakukan penilaian atau kajian yang komprehensif mengenai urgensi perlunya penyesuaian kebutuhan lembaga KPPU.
Lebih lanjut, agar lembaga KPPU termasuk sekretariatnya berkembang sesuai dengan kebutuhan, pemerintah dan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengingat rujukan pembentukan KPPU termasuk kesekretariatannya tidak dapat dilepaskan dari saat dibentuknya ketentuan tersebut, sehingga eksistensi lembaga KPPU dan sekretariat KPPU saat ini masih memberlakukan UU 5/1999. Sementara itu, sekarang ini rujukan yang berkaitan dengan UU 5/1999 tersebut sudah berubah dan berkembang, seperti terkait dengan nomenklatur yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat perubahan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Demikian juga berkenaan dengan pegawai suatu lembaga atau institusi-institusi negara sekarang ini telah berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah berkenaan dengan penentuan status kesekretariatan KPPU termasuk juga status pegawai KPPU selain menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 maka melalui putusan ini Mahkamah menambahkan perlunya segera dilakukan penyesuaian penataan kelembagaan sekretariat KPPU oleh pembentuk undang-undang dengan mendasarkan pada perkembangan sekretariat suatu lembaga atau institusi-institusi negara dengan menggunakan rujukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyesuaian tersebut sejalan dengan maksud pembentuk undang-undang yang telah memasukkan rencana perubahan atau penyempurnaan UU 5/1999 dalam Program Legislasi Nasional periode 2014-2019 sebagaimana disebutkan dalam Keputusan DPR Nomor 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 dan disebutkan lagi dalam Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024. Terlebih lagi, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan disebutkan lagi dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPPU sehingga dapat semakin berperan mendorong pertumbuhan ekonomi dan merangsang penciptaan lingkungan yang kondusif bagi kegiatan ekonomi di pasar domestik atau luar negeri. Oleh karenanya, menurut Mahkamah proses perencanaan legislasi penyempurnaan UU 5/1999 dapat disegerakan sesuai dengan target Prolegnas.
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan kata “sekretariat” dalam Pasal 34 ayat (2) UU 5/1999 adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “sekretariat yang ditetapkan oleh Presiden”. Demikian juga frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Komisi setelah mendapat persetujuan dari Presiden”, tidak dapat dikabulkan oleh Mahkamah karena rumusan petitum demikian tidaklah lazim. Namun demikian, substansi apa yang dimohonkan Pemohon merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyesuaian yang nantinya akan dilakukan terhadap kelembagaan KPPU sebagaimana pertimbangan hukum di atas.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430