Kamar Dagang dan Industri Kota Banjarmasin, dkk., dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. Muhamad Pazri, S.H., M.H., Muhammad Mauliddin Afdie, S.H., M.H., Hidayatullah, S.H., Matrosul, S.H., dan Muhammad Iqbal, S.H., M.H., kesemuanya Advokat, Pengacara, Konsultan Hukum berkantor pada Kantor Hukum BORNEO LAW FIRM untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.
Pasal 4 UU 8/2022
Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 4 UU 8/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon bukti surat/tulisan, keterangan ahli dan saksi yang diajukan para Pemohon, kesimpulan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, bukti surat/tulisan Pihak Terkait, kesimpulan Pihak Terkait, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 UU 8/2022 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana yang terurai pada Paragraf [3.8]. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa pemindahan ibukota merupakan bagian dari penataan daerah. Berdasarkan Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), penataan daerah sebagai pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah, serta memelihara keunikan adat istiadat, tradisi dan budaya daerah, yang terdiri atas Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah. Penyesuaian Daerah dapat berupa perubahan batas wilayah daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibukota, dan/atau perubahan nama ibukota [vide Pasal 48 ayat (1) UU 23/2014];
Bahwa secara historis, Provinsi Kalimantan Selatan adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (UU 25/1956). Provinsi Kalimantan Selatan pernah dipecah menjadi Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah. Selanjutnya sebagian wilayah Kabupaten Kotabaru dimasukkan ke dalam wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II Di Kalimantan Sebagai Undang-Undang. Kemudian pada akhirnya Provinsi Kalimantan Selatan memiliki undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU 8/2022);
Dalam Naskah Akademik RUU Provinsi Kalimantan Selatan, UU 8/2022 disusun dengan latar belakang dasar pembentukannya yang telah kadaluwarsa karena dibentuk pada masa Indonesia masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 sehingga banyak materi muatan yang tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan. Beberapa materi muatan yang sudah tidak sejalan lagi di antaranya adalah mengenai nomenklatur status daerah, susunan pemerintahan, dan pola relasi dengan pemerintahan pusat. Oleh karena itu, perlu membentuk undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Provinsi Kalimantan Selatan sehingga pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian dan berkebudayaan. Lebih lanjut, dalam Bab V, Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan, disebutkan bahwa Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarbaru [vide Keterangan DPR hlm. 30].
Berkenaan dengan perubahan undang-undang Provinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan Butir 223 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) menyatakan bahwa:
“Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, telah jelas bahwa untuk dapat mengubah materi muatan yang sudah tidak sejalan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat atau dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian menurut Mahkamah, pengaturan perubahan mengenai Provinsi Kalimantan Selatan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Kemudian berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945, Presiden dan DPR mempunyai kewenangan untuk membentuk Undang-Undang. Pembentukan UU 8/2022 telah dilakukan melalui persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Salah satu fokus utama bagi pembentuk undang-undang adalah melakukan penyesuaian sehingga pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dan berkebudayaan. [vide Keterangan Presiden, hlm. 15]. Adapun materi muatan mengenai pengaturan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu kesepakatan pembentuk undang-undang pada saat pembahasan, dan bukan merupakan satu-satunya materi muatan dalam UU 8/2022. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pengaturan pembaruan mengenai Provinsi Kalimantan Selatan dalam UU 8/2022 yang juga di dalamnya mencantumkan Kota Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun hal tersebut adalah baru dan berbeda dengan UU 25/1956 karena letak ibukota berada di Banjarmasin, hal demikian itu adalah tetap konstitusional.
Sementara itu, terkait dengan pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XX/2022 yang telah diputus sebelumnya, pada Sub-paragraf [3.16.2] mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkenaan dengan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Pasal 4 UU 8/2022, menurut Mahkamah bukanlah merupakan sebuah proses pemindahan ibukota yang baru ditentukan berdasarkan UU 8/2022 karena sebenarnya materi muatan Pasal 4 UU 8/2022 yang menentukan Kota Banjarbaru sebagai Ibukota lebih merupakan pemberian dasar hukum terhadap status Kota Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Mahkamah menemukan fakta berdasarkan Laporan Hasil Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 1 Keterangan DPR, bagian Latar Belakang] secara faktual, walaupun ibukota di Kota Banjarmasin, namun sejak tanggal 14 Agustus 2011, sebagian aktivitas pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan berpindah ke Kota Banjarbaru. Bahkan secara historis, gagasan untuk memindahkan Ibukota ke Kota Banjarbaru telah diinisiasi oleh dr. Murdjani, Gubernur ke-2 Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1950-an [vide keterangan DPR RI, hlm. 42] dan pada tahun 1964 usulan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dituangkan dalam resolusi DPRD-GR Kalimantan Selatan tertanggal 27 Juli 1964 No. 18a/DPRD-GR/KPT/1964 terkait realisasi penetapan Kota Banjarbaru menjadi Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan [vide Keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, hlm. 22]. Oleh karena itu, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru sebenarnya bukanlah merupakan proses yang baru dilaksanakan dan pemberlakuan UU 8/2022 adalah dalam rangka memberikan dasar hukum atas dinamika dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat di Kalimantan Selatan. Selain itu, secara faktual, kantor-kantor pemerintahan telah dibangun dan aktivitas pemerintahan telah pula berjalan, sebagai bentuk “ibukota baru” sebelum pembentukan UU 8/2022.
Dengan demikian, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon perihal pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru sebagaimana substansi Pasal 4 UU 8/2022 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 4 UU 8/2022 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah memberikan perlindungan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430