Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 58/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Kamar Dagang dan Industri Kota Banjarmasin (KADIN Kota Banjarmasin) yang diwakili oleh Muhammad Akbar Utomo Setiawan, Syarifuddin Nisfuady, Ali, Hamdani dan Khariadi. untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengujikan proses Pembentukan UU Provinsi Kalimantan Selatan ketentuan sebagai berikut:
• Proses pembentukan UU 8/2022 yang dianggap oleh Pemohon tidak melibatkan partisipasi masyarakat
• Pembentukan UU 8/2022 yang dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan beberapa asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dan asas keterbukaan.

Bahwa pengujian formil UU Provinsi Kalimantan Selatan dianggap Pemohon bertentangan dengan ketentuan proses pembentukan karena dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan bertentangan dengan beberapa asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dan asas keterbukaan

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Formil UU Provinsi Kalimantan Selatan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kejelasan tujuan karena ternyata terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan dalam proses penyusunannya yang terpublikasi. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf a UU 12/2011 telah memberikan pengertian perihal apa yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Dalam kerangka politik hukum nasional, maka tujuan dari pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan, apapun bentuk peraturannya, harus diarahkan pada pemenuhan cita-cita bangsa dan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan dinamika perkembangan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan asas kejelasan tujuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memberikan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk, paling tidak, menjelaskan adanya kebutuhan atau urgensi dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Terkait hal demikian, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVIII/2019 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Oktober 2020 sebagai berikut:
[3.15.4] … Berkenaan dengan asas kejelasan tujuan maka hal tersebut terlihat dari Penjelasan Umum yang telah menguraikan latar belakang, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang…
… menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi, dengan demikian sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan undang-undang di Penjelasan Umum maka telah memenuhi asas kejelasan tujuan, terlepas bahwa norma undang-undang tersebut apakah menyimpangi tujuan penyusunan undang-undang dan dikhawatirkan akan merugikan hak konstitusional warga negara tersebut terhadap hal demikian haruslah dipertimbangkan oleh Mahkamah melalui pengujian materiil suatu undang-undang di Mahkamah Konstitusi bukan melalui pengujian formil.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka secara teknis, penjelasan pembentuk undang-undang berkaitan dengan keterpenuhan asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilihat pada bagian konsiderans atau penjelasan umum suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sepanjang peraturan perundang-undangan telah menjelaskan maksud, tujuan, atau urgensi penyusunannya secara jelas dalam bagian konsiderans atau penjelasan umum, maka telah terpenuhi pula asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
[3.15.2] Bahwa UU 8/2022 telah memuat maksud dan tujuan serta urgensi atau kebutuhan diperlukannya UU a quo sebagaimana tercantum dalam Konsiderans menimbang huruf c dan huruf d yang menyatakan:
Menimbang: c. bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum sehingga perlu diganti;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Provinsi Kalimantan Selatan;

Selain itu, penjelasan terkait dengan maksud, tujuan dan urgensi penyusunan UU 8/2022 juga terdapat dalam Penjelasan Umum UU a quo yang menyatakan:
Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejatinya adalah untuk mewujudkan salah satu tujuan Negara yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap banga Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dan penyesuaian terhadap dinamika perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, diperlukan upaya untuk menegaskan kembali kedudukan provinsi, khususnya Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repiblik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik.”
Berkaitan dengan itu, Undang-Undang ini dibentuk untuk mengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang memuat penyempurnaan dasar hukum, penyesuaian cakupan wilayah, penegasan karakteristik, serta sinkronisasi peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, menurut Mahkamah, maksud, tujuan dan urgensi pembentukan UU 8/2022 telah jelas diuraikan dalam bagian konsiderans dan Penjelasan Umum UU 8/2022, antara lain, adanya kebutuhan untuk menyesuaikan dasar hukum pembentukan provinsi yang masih berdasar kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak cocok dengan konsep otonomi daerah saat ini serta dengan mencerminkan kekhasan dan arah pembangunan berdasarkan potensi dan karakteristik daerah. Sehingga, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kejelasan tujuan adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15.3] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kepastian hukum karena dalam proses penyusunannya terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, meskipun hal demikian tidak berkaitan dengan asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan undang-undang, Mahkamah memandang perlu menjelaskan kembali secara singkat tahapan-tahapan dalam proses pembentukan undang-undang sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021 sebagai berikut:
[3.17.2] Bahwa merujuk pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan undang-undang (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945; (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan;

Secara teknis, pembentukan undang-undang (lawmaking process) sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU 12/2011 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang kemudian menentukan proses pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) perencanaan, (ii) penyusunan, (iii) pembahasan, (iv) pengesahan, dan (v) pengundangan. Pada tahapan penyusunan rancangan undang-undang, dalam hal ini yang diajukan atau atas usul inisiatif DPR, maka setelah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terdapat beberapa proses yang harus dilalui oleh sebuah RUU untuk dapat diteruskan pada tahapan pembahasan, baik untuk RUU yang berasal dari anggota DPR maupun dari komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi. Proses tersebut dimulai dari penyiapan RUU dan naskah akademik yang kemudian dilanjutkan pada kegiatan penyusunan konsep, pembahasan konsep hingga penyebarluasan RUU untuk selanjutnya dimintakan masukan dari masyarakat hingga diserahkan kepada badan legislasi guna dilakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsep RUU untuk kemudian disetujui oleh rapat paripurna agar dilakukan pembahasan dengan Presiden. Dalam setiap proses yang dilalui tersebut, masih terbuka ruang bagi DPR sebagai inisiator pengusul untuk melakukan penyempurnaan atas konsep RUU yang akan dibahas bersama dengan Presiden sehingga kemungkinan terdapat beberapa versi konsep RUU dalam tahapan penyusunan adalah merupakan rangkaian proses penyempurnaan RUU. Baru dalam tahapan pembahasan, khususnya setelah pembicaraan tingkat I yang telah ditentukan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Presiden, maka setiap perubahan substansial RUU harus melalui pembahasan bersama antara DPR dan Presiden. Dalam tahapan ini pun masih berpotensi muncul versi RUU baru sebagai hasil dari kesepakatan dalam pembahasan oleh pembentuk undang-undang. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, keberadaan lebih dari satu versi RUU dalam proses pembentukannya merupakan suatu yang tidak dapat dihindari sebagai akibat dari serangkaian proses penyempurnaan yang harus dilalui oleh sebuah RUU untuk kemudian menjadi undang-undang.
[3.15.4] Bahwa berkaitan dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama bukti salinan RUU yang diajukan oleh para Pemohon dan Lampiran Keterangan DPR, Mahkamah menemukan fakta memang benar terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan dalam proses pembentukan UU 8/2022. Pertama, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 58 Pasal dan sebanyak 50 halaman [vide bukti P-2b dan Lampiran 8 Keterangan DPR] merupakan draft RUU yang diserahkan oleh Komisi II selaku pengusul RUU kepada Baleg DPR pada 16 September 2021. Kedua, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 50 Pasal dan sebanyak 45 halaman [vide bukti P-4b dan Lampiran 14 Keterangan DPR] merupakan draft RUU hasil harmonisasi Baleg DPR pada 23 September 2021. Ketiga, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 8 Pasal [vide bukti P-9 dan Lampiran 24 Keterangan DPR] merupakan RUU yang disampaikan dalam rapat paripurna pada 15 Februari 2022 untuk diambil keputusan tingkat II. Dengan demikian menjadi jelas bahwa keberadaan tiga versi RUU sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam proses pembentukan UU 8/2022 adalah merupakan hasil proses penyempurnaan RUU menjadi sebuah undang-undang sesuai dengan tahapan pembentukan suatu undang-undang. Selain itu, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa dalam proses pembahasan, berdasarkan DIM yang disampaikan oleh Presiden, terlihat banyaknya posisi penolakan materi pasal RUU yang diusulkan. Hal demikian sekaligus menjawab pertanyaan dalam persidangan terkait adanya perbedaan jumlah pasal yang signifikan, antara RUU Provinsi Kalimantan Selatan awalnya berjumlah 50 Pasal kemudian hanya menjadi 8 Pasal dalam UU 8/2022. Dengan demikian, menurut Mahkamah, menjadi jelas bahwa proses pembentukan UU 8/2022 telah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sehingga dalil para Pemohon adalah tidak berlasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat serta asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah memahami maksud dan tujuan para Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan bahwa instrumen hukum yang seharusnya digunakan untuk pemindahan ibukota adalah dengan “Peraturan Pemerintah” sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 48 ayat (3) UU 23/2014, bukan dengan “Undang-Undang” sebagaimana yang diatur dalam UU 8/2022, in casu Pasal 4 UU 8/2022. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa sejak berlakunya UU 23/2014, segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah harus merujuk pada UU 23/2014, termasuk juga ketentuan mengenai penyesuaian daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (3) UU 23/2014 yang menentukan “Perubahan nama Daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta perubahan nama ibu kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e ditetapkan dengan peraturan pemerintah.” Sedangkan dalam UU 8/2022, pembentuk undang-undang memuat norma yang menentukan bahwa Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan adalah Kota Banjarbaru, yang sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (selanjutnya disebut UU 25/1956) bertempat di Kota Banjarmasin. Dengan adanya perubahan materi undang-undang tersebut, maka secara tidak langsung pembentuk undang-undang juga sekaligus memindahkan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tanpa sebelumnya menggunakan prosedur pemindahan Ibukota sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 beserta turunannya, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, Dan Pemindahan Ibu Kota (selanjutnya disebut Permendagri 30/2012). Terhadap permasalahan tersebut, menurut Mahkamah, prosedur pemindahan Ibukota sebagaimana ditentukan dalam UU 23/2014 dan Permendagri 30/2012 berlaku bagi pemindahan ibukota suatu daerah yang tanpa diikuti atau dibarengi dengan perubahan atas undang-undang daerah tersebut. Atau dengan perkataan lain, apabila hendak memindahkan lokasi ibukota di suatu daerah tanpa adanya perubahan terhadap undang-undang pembentukan daerah tersebut, maka berlaku prosedur sebagaimana ditentukan dalam UU 23/2014 dan Permendagri 30/2012. Namun apabila terdapat proses perubahan undang-undang suatu daerah yang di dalamnya mengatur perubahan lokasi ibukota suatu daerah, maka prosedur yang berlaku adalah pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011.
Berkenaan dengan perubahan undang-undang a quo, berdasarkan Butir 223 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi”. Berdasarkan hal tersebut, telah jelas bahwa untuk dapat mengubah materi muatan yang sudah tidak sejalan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat atau dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, karena perubahan ibukota bersamaan dengan perubahan UU tentang Provinsi Kalimantan Selatan, in casu perubahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru melalui UU 8/2022, maka hal tersebut dapat dibenarkan.
[3.16.2] Bahwa berkenaan dengan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Pasal 4 UU 8/2022, menurut Mahkamah bukanlah merupakan sebuah proses pemindahan ibukota yang baru ditentukan berdasarkan UU 8/2022 karena sebenarnya materi muatan Pasal 4 UU 8/2022 yang menentukan Kota Banjarbaru sebagai Ibukota lebih merupakan pemberian dasar hukum terhadap status Kota Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Mahkamah menemukan fakta berdasarkan Laporan Hasil Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 1 Keterangan DPR, bagian Latar Belakang] secara faktual, walaupun ibukota di Kota Banjarmasin, namun sejak tanggal 14 Agustus 2011, sebagian aktivitas pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan berpindah ke Kota Banjarbaru. Bahkan secara historis, gagasan untuk memindahkan Ibukota ke Kota Banjarbaru telah diinisiasi oleh dr. Murdjani, Gubernur ke-2 Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1950-an [vide keterangan DPR RI, hlm. 42] dan pada tahun 1964 usulan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dituangkan dalam resolusi DPRD-GR Kalimantan Selatan tertanggal 27 Juli 1964 No. 18a/DPRD-GR/KPT/1964 terkait realisasi penetapan Kota Banjarbaru menjadi Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan [vide Keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, hlm. 22]. Oleh karena itu, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru sebenarnya bukanlah merupakan proses yang baru dilaksanakan dan pemberlakuan UU 8/2022 adalah dalam rangka memberikan dasar hukum atas dinamika dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat di Kalimantan Selatan. Selain itu, secara faktual, kantor-kantor pemerintahan telah dibangun dan aktivitas pemerintahan telah pula berjalan, sebagai bentuk “ibukota baru” sebelum pembentukan UU 8/2022. Bahkan secara faktual pula telah dilakukan pemindahan pusat pemerintahan ke Kota Banjarbaru yang proses pemindahannya melibatkan tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan [vide hlm. 40, Perbaikan Permohonan para Pemohon].
[3.16.3] Bahwa selain pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, penggunaan instrumen hukum berupa undang-undang dalam hal pemindahan ibukota sekaligus pada saat perubahan undang-undang tentang Provinsi Kalimantan Selatan memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat daripada Peraturan Pemerintah. Selain itu, dari sisi materi muatan suatu undang-undang juga lebih umum dan kompleks daripada materi muatan suatu Peraturan Pemerintah sehingga membutuhkan pembahasan yang lebih substantif dan partisipasif. Terlebih lagi secara faktual, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru ternyata telah termuat juga dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 17 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2005- 2025 [vide bukti P.T-4]. Selain itu, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035 juga telah mencerminkan bahwa Kota Banjarbaru telah dipersiapkan untuk menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi, industri nasional, perdagangan regional dan nasional, jasa transportasi udara nasional, dan pendidikan tinggi. Berdasarkan fakta tersebut, menurut Mahkamah, proses pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru bukanlah merupakan hal baru yang muncul pada saat pembentukan UU 8/2022, melainkan secara faktual telah dipersiapkan dan dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan demikian, pengaturan mengenai pemindahan ibukota dalam proses pembentukan UU 8/2022 merupakan proses yang telah sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang berdasarkan UU 12/2011, sehingga dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas keterbukaan karena tidak melibatkan tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan sebagaimana proses pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru yang dibentuk dan ditetapkan oleh Gubernur Kalimantan Selatan. Sedangkan dalam pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru dilakukan tanpa melibatkan tim sebagaimana pemindahan pusat pemerintahan dimaksud serta tanpa konsep yang jelas dan kajian yang transparan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka keterpenuhan asas keterbukaan secara formil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah, adalah bertumpu pada sifat transparan dan terbukanya setiap tahapan pembentukannya. Sifat transparan tersebut membutuhkan adanya tindakan dari pembentuk undang-undang untuk memberitahukan, mengumumkan, atau mempublikasikan informasi dalam tahapan proses pembentukan undang-undang. Sedangkan sifat keterbukaan memberikan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk tidak sekedar memberikan informasi, namun juga membuka ruang komunikasi 2 (dua) arah melalui diskusi atau dialog untuk mendapatkan saran dan masukan dari masyarakat. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah asas keterbukaan secara formil telah terpenuhi, dapat dilihat dari upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang untuk melakukan penyebaran informasi sekaligus membuka ruang diskursus publik, atau sebaliknya, ada atau tidaknya upaya dari pembentuk undang-undang yang dengan sengaja menghalangi atau menghambat upaya penyebaran informasi atau membuka ruang diskursus publik dalam proses pembentukan undang-undang, in casu UU 8/2022. Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 96 ayat (2) UU 12/2011 menentukan beberapa pilihan metode atau sarana partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan, yaitu dalam bentuk rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya, atau diskusi.
[3.17.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama Lampiran Keterangan DPR yang merupakan satu kesatuan dengan keterangan tertulis DPR yang telah disampaikan dalam persidangan pada 19 Juli 2022, Mahkamah menemukan fakta berkaitan dengan upaya penyebarluasan informasi dan penyediaan ruang diskursus publik dalam proses pembentukan UU 8/2022 sebagai berikut:
1 Pemuatan alur atau proses tahapan pembentukan UU 8/2022 disertai dengan dokumen berupa naskah akademik, RUU, dan beberapa laporan dalam laman resmi DPR sehingga masyarakat setiap saat dapat mengakses secara mudah seluruh data tersebut;
2 Diskusi pengumpulan data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU Provinsi Kalimantan Selatan di Provinsi Kalimantan Selatan dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Akademisi FH dan FISIP Universitas Lambung Mangkurat, dan LSM Sasangga Banua yang diselenggarakan tanggal 20-23 Oktober 2020 [vide Lampiran 1 Keterangan DPR];
3 Diskusi uji konsep RUU Provinsi Kalsel dengan Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Akademisi FH Universitas Lambung Mangkurat dalam tahap penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU Provinsi Kalimantan Selatan di Kalimantan Selatan pada 23 Maret 2021 [vide Lampiran 4 dan Lampiran 5 Keterangan DPR];
4 Kunjungan Panitia Kerja Komisi II DPR terkait pembahasan 7 Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi di Kalimantan, tepatnya di Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan, di Provinsi Kalimantan Selatan pada 26 Januari 2022 dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, DPRD Kalimantan Selatan, dan perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri dalam tahap pembahasan RUU Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 18 Keterangan DPR].
Berdasarkan uraian fakta-fakta tersebut di atas, menurut Mahkamah, telah jelas pembentuk undang-undang telah melakukan upaya dan kegiatan dalam rangka penyebaran informasi sekaligus membuka ruang diskursus publik dalam proses pembentukan UU 8/2022 sehingga dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17.3] Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru dilakukan tanpa adanya konsep yang jelas dan kajian yang transparan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat karena tidak membentuk tim khusus dengan melibatkan 2 Walikota dan 11 Bupati serta 13 DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, Mahkamah memahami keinginan para Pemohon agar dalam pembentukan UU 8/2022 dilakukan dengan mendengarkan berbagai pendapat, saran dan masukan dari semua stakeholders, khususnya terkait dengan materi yang mengatur tentang pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pada tataran yang ideal, semua pihak yang berkaitan dengan undang-undang yang akan dibentuk, didengarkan pendapatnya oleh pembentuk undang-undang. Namun secara teknis prosedural, hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan secara maksimal dan justru menyebabkan proses pembentukannya menjadi tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, berkaitan dengan siapa saja pihak yang dapat didengar masukannya dalam proses pembentukan undang-undang, ketentuan Pasal 96 ayat (3) UU 12/2011 telah membatasi hanya kepada orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian Penjelasan Pasal 96 ayat (3) UU 12/2011 menentukan yang termasuk dalam kelompok orang, antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.17.2] di atas, menurut Mahkamah, secara formal kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh DPR dengan melibatkan pemerintah provinsi, DPRD provinsi, akademisi, serta LSM telah sesuai dengan prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam UU 12/2011. Mahkamah juga perlu menegaskan, sekalipun tidak membentuk tim khusus dengan melibatkan 2 Walikota dan 11 Bupati serta 13 DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, tidak menyebabkan proses pembentukan UU 8/2022 menjadi cacat formil. Adapun terkait dengan bukti berupa dokumen yang menunjukkan adanya penolakan pemindahan Ibukota dari berbagai unsur elemen masyarakat yang diajukan oleh para Pemohon [vide bukti P-8, bukti P-18 dan bukti P-19], menurut Mahkamah, hal demikian merupakan bagian dari dinamika berdemokrasi dan tidak dapat menentukan keabsahan formalitas dalam proses pembentukan suatu undang-undang karena akan selalu saja terbuka kemungkinan adanya kelompok yang pro dan kontra terhadap lahirnya suatu undang-undang yang merupakan bentuk kebebasan berpendapat, karena faktanya terdapat juga beberapa surat dukungan pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru sebagaimana bukti P.T-6 sampai dengan bukti P.T-10.10.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai tidak dilibatkannya tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan sebagaimana proses pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru, dan pemindahan pusat pemerintahan dimaksud dilakukan tanpa konsep dan kajian yang jelas, serta tidak memperhatikan aspirasi masyarakat adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, pembentukan UU 8/2022 telah memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 sehingga dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan proses penyusunan UU 8/2022 tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf c dan huruf g UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.