Yayasan Mubaligh Indonesia Surabaya; Lembaga Algemene Research and Legal Development; Yayasan Pendidikan At-Taqwa; Yayasan Lentera Yatim Indonesia; Yayasan Pondok Pesantren Al Machmudi Bantani; Dr. Oheo Kaimuddin Haris, S.H., LL.M. M.Sc; Dr. Mohammad Mukhrojin, S.H., S.Pdi., M.Si; Dr. Prawitra Thalib, S.H., M.H; Insinyur H. Mohammad Aminudin Dahlan; Raden Mas Djoko Pikukuh Gunadi Hardjo Kusumo, Muhammad Afrizal Firmansyah, Sapto Yonara, S.E; Bambang Asmaradjati, Nailul Khuril Aini, Hj. Kesih Sukaesih, Fatimatul Fauziah; Yuyun Roikhatul Jannah, Fida Nisrina Iftiani, Lutfinida Kurniawati, Muhammad Ardian Ferdiansyah, Nodiva Yosi, Sigit Pramono, dan Bambang Miswanto, S.E, yang memberikan kuasa kepada Dr. HM. Anwar Rachman, S.H., M.H., Fahd Thoricky, S.H., M.H., dkk, Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung pada kantor hukum Anwar Rachman & Rekan, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 29 ayat (1), Pasal 35, Pasal 42, dan Pasal 48 UU 33/2014 j.o UU 11/2020
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29, Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dan Pasal 34 ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU 33/2014 dan UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali;
[3.11.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.11.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 5 dan Pasal 6 UU 33/2014, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVII/2019, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 30 September 2019, dengan amar menyatakan mengabulkan permohonan penarikan kembali. Dasar pengujian yang digunakan para Pemohon dalam perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019 adalah Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Alinea Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sedangkan untuk permohonan para Pemohon a quo yang dilakukan pengujian adalah Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 terhadap Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28E ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Bahwa terhadap persoalan di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil permohonan para Pemohon dan pasal yang diujikan terdapat perbedaan karena untuk permohonan para Pemohon pasal yang diuji adalah Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014, dan persamaannya ada pada Pasal 6 UU 33/2014 dan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019. Terlebih lagi, terhadap permohonan sebelumnya, Mahkamah juga belum menilai dalil pokok permohonan. Dengan demikian, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 beralasan untuk dapat diajukan kembali. Oleh karenanya, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada pokoknya berkenaan dengan kedudukan dan kewenangan BPJPH berdasarkan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 yang menurut para Pemohon adalah inkonstitusional. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 yang menyatakan “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri”, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam mendalilkan pertentangan tersebut para Pemohon berargumentasi bahwa berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 yang berada di bawah Presiden adalah menteri yang menjalankan urusan pemerintahan. Keberadaan BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama RI yang membidangi urusan agama, menurut para Pemohon tidak tepat karena jika dilihat dari adanya unit kerja pada BPJPH, yakni Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Pusat Kerja Sama dan Standardisasi Halal, dan Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal, merupakan hal yang tidak terkait dengan urusan pemerintahan bidang agama yang berada di bawah Kementerian Agama.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa diberlakukannya UU 33/2014 pada pokoknya hendak mengejawantahkan kehendak UUD 1945 yaitu menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk itulah kemudian negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan terhadap kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Pemerintah menyadari jika selama ini produk yang beredar di masyarakat belum semuanya terjamin kehalalannya. Untuk itulah perlu dibentuk undang-undang yang secara khusus dan komprehensif mengatur jaminan produk halal, in casu UU 33/2014 [vide konsiderans Menimbang huruf a, huruf b, dan huruf c UU 33/2014]. Produk halal yang dimaksud adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam karena bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal yang akan dikonsumsi atau digunakan masyarakat. Dengan adanya jaminan produk halal tersebut akan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha yang memproduksi dan menjual produk halal [vide Pasal 1 angka 2 dan Penjelasan Umum UU 33/2014]. Oleh karena itu, jaminan mengenai produk halal ini tidak dapat dilihat dari sisi teknis adanya pembidangan kerja dalam BPJPH dalam rangka proses memperoleh sertifikasi halal. Sebab, untuk memperoleh produk halal yang bersertifikasi tidak dapat dilepaskan dari bekerjanya Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Pusat Kerja Sama dan Standardisasi Halal, dan Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal.
Bahwa dikarenakan penentuan produk halal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam sebagaimana pertimbangan hukum di atas, dengan demikian maka tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dengan adanya penempatan BPJPH sebagai penyelenggara jaminan produk halal di bawah urusan Kementerian Agama sebagai bagian unsur pendukung. Dalam hal ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Perpres 83/2015) dan Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Permen 42/2016) telah dinyatakan bahwa Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Agama menyelenggarakan berbagai fungsi di antaranya adalah menyelenggarakan fungsi pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal [vide Pasal 3 Perpres 83/2015 dan Pasal 3 Permen 42/2016].
Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mengatakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan BPJPH bukanlah masalah agama yang menjadi tugas pokok, fungsi kewenangan Menteri Agama, khususnya terkait dengan tugas, fungsi dan kewenangan BPJPH mengenai standardisasi, akreditasi dan sertifikasi produk halal, menurut Mahkamah, telah jelas bahwa yang memiliki fungsi pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal adalah Kementerian Agama yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada sebuah badan yang merupakan unsur pendukung dari organisasi Kementerian agama yaitu BPJPH. Sementara itu, standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi produk halal merupakan bagian kewenangan BPJPH dalam rangka proses pemberian jaminan produk halal. Oleh karenanya, jika ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 dihilangkan karena dinyatakan inkonstitusional sebagaimana dalil para Pemohon, justru hal tersebut akan menyebabkan tidak terlindunginya hak-hak yang terdapat dalam ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 inkonstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan juga ketentuan Pasal 6 UU 33/2014 yang menyatakan “Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk; d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri; e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; f. melakukan akreditasi terhadap LPH; g. melakukan registrasi Auditor Halal; h. melakukan pengawasan terhadap JPH; i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH, telah menyebabkan adanya kekaburan atau kerancuan antara fungsi regulasi, fungsi administratif dalam penyelenggaraan sertifikasi halal, dan fungsi substantif. Menurut para Pemohon yang berwenang menetapkan norma, standar, dan kriteria kehalalan produk sebagai wilayah substantif keagamaan adalah kewenangan Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), sedangkan untuk urusan standardisasi adalah kewenangan Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan untuk urusan Sertifikasi adalah kewenangan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sehingga menurut para Pemohon karena hal di atas bukan merupakan kewenangan BPJPH maka BPJPH telah melakukan tindakan di luar kewenangannya dan monopolitif. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, setelah mencermati seluruh ketentuan UU 33/2014 secara komprehensif, menurut Mahkamah UU 33/2014 telah mendesain hubungan kelembagaan BPJPH dalam pelaksanaan wewenangnya. BPJPH tidak berdiri sendiri tetapi bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU 33/2014, kerjasama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga lain dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait.
Bahwa jika dijabarkan lebih lanjut kerjasama BPJPH dengan kementerian/lembaga terkait dapat dicermati dari tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH [vide Pasal 9 UU 33/2014]. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJPH yang bekerjasama dengan MUI [vide Pasal 10 UU 33/2014]. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI yang didasarkan pada Fatwa MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang meminta keterlibatan Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia sesungguhnya telah terakomodir karena lembaga yang dimaksud oleh para Pemohon tersebut adalah merupakan bagian dari MUI. Selanjutnya, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut [vide Penjelasan Umum UU 33/2014]. Berkaitan dengan proses atau tata cara dimaksud, tidak terbukti adanya sifat monopoli kewenangan BPJPH dalam menerbitkan sertifikasi halal produk. Bahkan, untuk menjaga agar jaminan produk halal tersebut tidak disalahgunakan, para Pemohon sebagai bagian dari kelompok masyarakat semestinya dapat turut berperan serta mengawasi penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk mengawasi produk dan produk halal yang berbeda, dengan misalnya melakukan sosialisasi melalui kegiatan lembaga atau organisasinya masing-masing sebagaimana hal tersebut ditentukan pula dalam UU 33/2014 [vide Pasal 53 UU 33/2014].
Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 6 UU 33/2014 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan permohonan pengujian Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021, yang amarnya menyatakan:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.
Mahkamah juga telah menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Januari 2022, Paragraf [3.11] yaitu:
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.
Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah jelas bahwa permohonan para Pemohon terhadap pengujian materiil Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014 adalah prematur karena diajukan selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun perbaikan formil UU 11/2020, dan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, terkait pengujian norma Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 menurut Mahkamah telah ternyata sesuai dengan prinsip checks and balances dan prinsip-prinsip good governance serta tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan, terkait dengan pengujian Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014, telah ternyata dalil permohonan para Pemohon adalah prematur.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430