Rega Felix (advokat) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 21/2008
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo UU 21/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan perihal dalil Pemohon berkenaan dengan: (a) konsep hak milik menjadi sangat penting dalam menentukan keabsahan suatu transaksi di perbankan syariah, (b) UU 21/2008 tidak mengatur terkait hak milik padahal dalam pelaksanaan transaksi perbankan syariah sering terjadi perpindahan hak milik, dan (c) pengaturan terkait hak milik sudah seharusnya menjadi materi muatan yang terdapat dalam UU 21/2008, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh Pemohon yaitu norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008. Sebagaimana didalilkan Pemohon, Pasal 1 angka 12 UU 21/2008 sepanjang frasa “berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya”, norma Pasal 26 ayat (1) UU 21/2008 sepanjang frasa “prinsip syariah” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “prinsip syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya”, norma Pasal 26 ayat (2) UU 21/2008 sepanjang frasa “Prinsip Syariah sebagaimana pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan dalam menetapkan prinsip syariah memperhatikan fatwa yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia dan/atau lembaga lain yang berwenang menetapkan fatwa” dan norma Pasal 26 ayat (3) UU 21/2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh isu konstitusionalitas yang berkenaan dengan norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008, terlebih dahulu perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, ihwal keberadaan perbankan syariah yang diatur dalam UU 21/2008. Dalam hal ini, diadopsinya pengaturan perbankan syariah dalam sistem hukum, in casu dalam sistem perbankan Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari fakta empirik tingginya kebutuhan sebagian masyarakat Indonesia terhadap jasa perbankan syariah. Sebagai sebuah entitas perbankan yang didesain berbeda dengan bank-bank lain yang telah lama dikenal, keberadaan perbankan syariah memiliki sejumlah perbedaan atau kekhususan dibanding dengan perbankan konvensional. Salah satu bentuk kekhususan perbankan syariah dimaksud adalah keharusan proses perbankan tunduk pada sistem syariah Islam. Adapun mengenai penentuan standar syariah dalam usaha perbankan tersebut bukanlah otoritas perbankan, melainkan otoritas agama;
Bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama tidak terlepas dari ketentuan konstitusi, dalam hal ini norma Pasal 29 UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, seluruh umat beragama, termasuk umat Islam berhak menjalankan agama dan beribadah menurut agamanya. Dalam kaitannya dengan bank syariah, bagi umat Islam, menjalankan aktivitas perbankan sesuai dengan syariat agama tentu menjadi bagian dari cara menjalankan kehidupan dalam bidang ekonomi sesuai dengan agama yang diyakininya. Sehubungan dengan hal itu, pada saat pembentuk undang-undang memfasilitasi kebutuhan demikian dengan cara menyediakan bank syariah, maka hal-hal yang berkaitan dengan penentuan prinsip syariah dalam penyelenggaraan perbankan tentunya harus tetap diserahkan kepada pemegang otoritas agama Islam, bukan sebaliknya diambil alih oleh negara melalui organ yang diberi kewenangan menyelenggarakan perbankan. Sebab, prinsip syariah dimaksud terkait dengan prinsip hukum Islam yang penetapannya hanya boleh dilakukan oleh ulama yang memiliki kapasitas, dan bukan oleh pengelola perbankan yang memiliki kewenangan, “kapasitas”, dan pengetahuan terbatas di bidang syariah;
Kedua, konstruksi norma Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 mengandung dua materi muatan utama, yaitu: penentuan substansi prinsip syariah, dan berkenaan dengan bentuk hukum penuangan prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan. Berkenaan dengan kedua hal tersebut, penentuan substansi prinsip syariah ditempatkan sebagai kewenangan MUI, sedangkan penuangan prinsip syariah ke dalam peraturan perundang-undangan ditempatkan sebagai wewenang BI/OJK. Secara doktriner, substansi peraturan perundanganundangan, yang disebut dengan sumber hukum dalam pengertian materiil, dapat berasal dari berbagai sumber seperti dari hukum-hukum agama, hukum adat dan lain-lain. Meskipun dapat berasal dari berbagai sumber materiil, ketika dituangkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan, materi tersebut hanya dapat dituangkan oleh lembaga yang secara eksplisit diperintahkan suatu peraturan perundang-undangan atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Masalahnya, ketika pembentuk undang-undang, in casu pembentuk UU 21/2008 menyerahkan otoritas penentuan prinsip syariah dalam kegiatan usaha perbankan syariah kepada MUI, apakah hal demikian merupakan bentuk kesalahan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga harus dinyatakan sebagai bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa terkait dengan persoalan tersebut, pada dasarnya sudah terjawab dengan prinsip dan posisi perbankan syariah yang memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Kekhususan tersebut berkenaan dengan penerapan prinsip syariah dalam penyelenggaraan perbankan, di mana otoritas agama Islam yaitu MUI terlibat di dalamnya. Bahkan, guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah maupun unit usaha syariah yang menjadi bagian dari bank konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan prinsip-prinsip syariah dalam operasionalisasi perbankan syariah, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim (vide Penjelasan Umum UU 21/2008). Jika prinsip syariah dalam perbankan syariah tersebut ditempatkan sebagai kekhususan, maka pelibatan MUI sama sekali tidak mengandung persoalan hukum sepanjang hanya sebatas mengeluarkan fatwa terkait prinsip syariah, yang memang menjadi kewenangannya sebagai salah satu otoritas agama dalam masyarakat Islam Indonesia;
Selanjutnya, fatwa terkait prinsip syariah dimaksud baru akan menjadi peraturan apabila BI/OJK telah menuangkannya ke dalam Peraturan BI/Peraturan OJK. Dalam konteks ini, fatwa MUI akan menjadi sumber hukum materiil dari peraturan BI/OJK berkaitan dengan perbankan syariah. Jika hal ini hendak dilihat dalam perspektif sistem hukum Indonesia, maka ia juga dapat dibenarkan. Sebab, dalam pembentukan hukum perundang-undangan, salah satu sumbernya adalah hukum Islam. Ketika hukum Islam yang dituangkan dalam fatwa MUI dijadikan sumber materiil dari peraturan BI/peraturan OJK, maka hal tersebut sama sekali tidak dapat dianggap memiliki masalah konstitusional;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas sejumlah norma dalam UU 21/2008 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Namun demikian, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil Pemohon, oleh karena norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 adalah saling berkaitan dengan keberlakuan prinsip syariah dalam perbankan syariah, oleh karena itu Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma-norma a quo secara bersamaan sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa terkait keberadaan fatwa MUI dalam penentuan prinsip syariah pada penyelenggaraan usaha perbankan syariah, perlu disadari sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional yang mengupayakan penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat demi tercapainya tujuan pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, perbankan syariah memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi maksimal bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung yang mendasar bagi perbankan syariah adalah peran dari fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga terpercaya dan terjaga kredibilitasnya di tengah umat muslim demi tegaknya prinsip syariah dalam segala kegiatan perbankan syariah yang akan memberikan jaminan kepastian hukum bagi stakeholders;
Bahwa MUI yang merupakan wadah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim adalah lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Pemberian atau penetapan fatwa MUI dilakukan atas permintaan (istifta) dari peminta fatwa (mustafti) baik secara pribadi, organisasi masyarakat, atau pemerintah. Dalam menetapkan fatwa di bidang keuangan syariah, hal ini dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Tugas DSN MUI adalah untuk menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa di lembaga perekonomian, keuangan, dan bisnis syariah serta mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha di bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah. Selain dilakukan secara kolektif oleh DSN MUI, penetapan fatwa dalam hal tertentu melibatkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Adapun DSN MUI ini diisi oleh para ulama, praktisi, dan para pakar yang memenuhi kualifikasi tertentu di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, Fiqh Muqorin, keuangan, bisnis, perekonomian syariah, dan berkemampuan dalam penetapan hukum (istinbath hukum). Produk hukum yang dihasilkan oleh DSN MUI kemudian ditetapkan sebagai fatwa MUI yang didasarkan pada Al-Quran, Sunnah (Al-Hadis), Ijma, dan Qiyas serta dalil lain yang kokoh (mu’tabar). Tegasnya penetapan fatwa MUI dilakukan oleh para ahli yang memenuhi kualifikasi mujtahid dan dilakukan secara kolektif. Fatwa DSN MUI bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Persyaratan, sifat, metode, serta prosedur penetapan fatwa yang sedemikian ketat adalah agar diperoleh hasil yang akan bermanfaat bagi kemaslahatan umum (maslahatul ammah) dan sesuai dengan intisari ajaran agama Islam (maqashid al-syariah) yang selanjutnya dituangkan dalam jenis peraturan perundang-undangan yaitu PBI/POJK;
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, baik BI maupun OJK tidak memiliki fungsi ataupun kewenangan yang dapat ditafsirkan sebagai kewenangan untuk menetapkan prinsip syariah khususnya dalam perbankan syariah sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon. Dengan tidak terdapatnya kewenangan dalam menetapkan prinsip syariah sebagai landasan fundamental bagi kegiatan perbankan syariah, sehingga BI dan OJK tidak memiliki kompetensi maupun sumber daya untuk menilai, dan memberikan penjelasan terkait dengan hukum Islam sebagaimana kompetensi yang dimiliki oleh para ahli hukum Islam (fuqaha). Seandainya penetapan prinsip syariah diserahkan kepada BI/OJK dalam PBI atau POJK dengan mengikuti tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya, BI/OJK akan kesulitan dalam merumuskan substansi dari PBI/POJK tersebut karena memiliki pengetahuan yang terbatas terkait dengan substansi atau prinsip syariah. Artinya, menyerahkan penetapan prinsip syariah dalam perbankan syariah kepada BI/OJK dapat dinilai sebagai tindakan sewenang-wenang pembentuk undang-undang yang dapat berujung pada terjadinya kekacauan dalam penentuan substansi peraturan yang memuat prinsip-prinsip syariah. Pada gilirannya, hal demikian juga dapat menciderai keyakinan dan cara umat Islam menjalankan agamanya;
[3.14.2] Bahwa apabila fatwa berkenaan dengan prinsip syariah tidak diatur untuk dikeluarkan oleh satu otoritas agama Islam yang mewakili mayoritas umat Islam Indonesia, in casu MUI, maka sangat mungkin akan menimbulkan kekacauan. Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 60 organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki lembaga fatwa dengan metode pembentukan fatwa yang khas dan berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya [vide Keterangan tertulis Presiden bertanggal 14 Maret 2022 hlm.15 dan Keterangan tertulis MUI bertanggal 21 Maret 2022 hlm. 17]. Masing-masing memiliki basis keilmuan agama sendiri-sendiri yang sangat mungkin memiliki perbedaan satu sama lain. Apabila fatwa berkenaan dengan prinsip syariah dalam kegiatan usaha perbankan syariah tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, in casu UU 21/2008, untuk ditentukan oleh otoritas agama yang mewakili umat Islam, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan perbedaan fatwa terhadap permasalahan yang sama, termasuk di bidang ekonomi dan perbankan syariah. Pada akhirnya, hal demikian justru akan membingungkan masyarakat yang menggunakan jasa perbankan syariah dan hal demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
Bahwa secara historis, pembentukan bank syariah merupakan perwujudan dari hasil Musyawarah Nasional MUI pada tahun 1990. Berkenaan dengan hal tersebut, MUI telah aktif mengeluarkan fatwa terkait dengan kegiatan perbankan syariah jauh sebelum diperintahkan oleh UU 21/2008. Pada perkembangan perbankan syariah selanjutnya, MUI berperan aktif dan ikut serta melakukan pembinaan, pengawasan, dan arahan bagi pengembangan perbankan syariah;
[3.15] Menimbang bahwa apabila otoritas penetapan prinsip syariah dalam penyelenggaraan perbankan syariah tidak lagi diserahkan kepada MUI melainkan diserahkan kepada BI atau OJK sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, hal demikian potensial menimbulkan sejumlah persoalan yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum. Pertama, kekhususan penyelenggaraan perbankan syariah akan hilang. Sebab, aspek kekhususan pengaturan perbankan syariah justru pada aspek adanya organ lain yang terlibat dalam penentuan prinsip syariah. Kedua, penetapan prinsip syariah akan dikeluarkan langsung oleh negara, bukan oleh otoritas agama yang mengayomi kepentingan mayoritas umat Islam. Sebagaimana diketahui, Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara yang berdasarkan pada Pancasila yang menjadikan ajaran agama dan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu sumber hukum. Oleh karena bukan negara Islam, lalu bagaimana mungkin otoritas negara yang menentukan prinsip syariah yang notabene merupakan bagian dari penentuan hukum Islam. Sekalipun negara memiliki wewenang penuh dalam membentuk hukum, namun ketika bersentuhan dengan penetapan hukum agama, in casu perbankan syariah, negara perlu membatasi dirinya dengan cara menyerahkan penetapan materi hukum tersebut kepada pemegang otoritas agama. Dalam hal ini, negara mengambil peran mengadopsi hukum agama yang telah ditetapkan oleh pemegang otoritas agama menjadi hukum positif yang diberlakukan dalam penyelenggaraan urusan negara di bidang pengelolaan perbankan syariah;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 sama sekali tidak menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon. Bahkan keberadaan norma a quo telah ditempatkan secara tepat dan proporsional ihwal penentuan prinsip syariah dan pemuatannya dalam peraturan perundang-undangan. Proporsionalitas tersebut dapat dijelaskan karena menyangkut substansi prinsip syariah ditentukan berdasarkan fatwa MUI sebagai salah satu pemegang otoritas agama yang diakui umat Islam Indonesia serta diberikan mandat oleh negara. Sedangkan pemuatan fatwa tersebut ke dalam bentuk hukum peraturan perundang-undangan dilakukan oleh organ yang mewakili otoritas negara di bidang jasa keuangan atau perbankan syariah, in casu BI/OJK. Prinsip syariah yang ditetapkan melalui fatwa dan dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa, dalam hal ini DSN MUI, justru merupakan bentuk jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi umat Islam yang menginginkan kehidupan ekonomi yang dijalankan sesuai dengan syariah Islam sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Negara dalam hal ini memberikan jaminan bahwa prinsip syariah yang mendasari pembentukan peraturan perbankan syariah merupakan hasil fatwa para ulama yang tergabung dalam MUI dengan kemampuan khusus di bidang masing-masing yang berasal dari berbagai organisasi dengan latar belakang yang berbeda dan juga masukan dari tim ahli di bidang perbankan, ekonomi, akuntansi, pasar modal, asuransi, BI, OJK, hukum, maupun Mahkamah Agung. Sehingga, dalam menetapkan fatwa telah dilihat dari berbagai sudut pandang, hal ini memberikan kepastian hukum dan keamanan bagi stakeholders dalam melaksanakan kegiatan perbankan syariah. Pembentuk undang-undang dalam hal ini telah menempatkan sesuatu pada posisi yang seharusnya yaitu menyerahkan penetapan prinsip syariah kepada para ulama yang ahli di bidang syariah kemudian menuangkan prinsip tersebut dalam peraturan perundang-undangan (PBI/POJK) agar prinsip syariah hasil fatwa para ulama tersebut dapat berlaku dan mengikat secara umum. Penetapan prinsip syariah melalui fatwa oleh DSN MUI yang kemudian dituangkan dalam PBI atau POJK merupakan perwujudan bahwa negara mengakui, menghormati, melindungi, dan memfasilitasi umat Islam dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya sebagaimana termuat dalam Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 1 angka 12 UU 21/2008 sepanjang frasa “berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah” dan inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU 21/2008 sepanjang frasa “prinsip syariah”, inkonstitusionalitas norma Pasal 26 ayat (2) UU 21/2008 sepanjang frasa “Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia” serta inkonstitusionalitas Pasal 26 ayat (3) UU 21/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon yang meminta kepada Mahkamah untuk memerintahkan pembuat undang-undang melakukan perubahan terhadap UU 21/2008 berkenaan dengan hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah atau melakukan pembentukan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai hak kebendaan dalam transaksi perbankan syariah. Dalam hal ini, seperti telah dikemukakan pada Paragraf [3.13] di atas, Petitum demikian bermuara dari dalil Pemohon, yaitu (a) konsep hak milik menjadi sangat penting dalam menentukan keabsahan suatu transaksi di perbankan syariah, (b) UU 21/2008 tidak mengatur terkait hak milik padahal dalam pelaksanaan transaksi perbankan syariah sering terjadi perpindahan hak milik, dan (c) pengaturan terkait hak milik sudah seharusnya menjadi materi muatan yang terdapat dalam UU 21/2008. Berkenaan dengan Petitum demikian, dapat dikatakan bahwa Pemohon telah keliru menafsirkan kewenangan Mahkamah dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Terlebih lagi, dalil-dalil yang bermuara pada Petitum tersebut tidak memiliki kejelasan relevansi dengan norma Pasal 1 angka 12, Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon. Dengan demikian, Petitum dan dalil-dalil demikian serta hal-hal lain yang terkait adalah tidak relevan dipertimbangkan oleh Mahkamah;
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 21/2008 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, ketidakmanfaatan, dan hambatan bagi Pemohon dalam mengakses layanan perbankan syariah seperti yang dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana di dalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, sedangkan hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430