Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diwakili oleh Giring Ganesha Djumaryo selaku Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia dan Dea Tunggaesti selaku Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rian Ernest Tanudjaja, S.H., M.P.A., dkk. Yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dan Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XVIII/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap permohonan Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa persoalan konstitusional dalam permohonan a quo adalah adanya pembedaan perlakuan terkait dengan verifikasi partai politik, khususnya verifikasi secara faktual yaitu antara partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 dengan Pemohon yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 namun tidak lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 ataupun dengan partai politik baru.
[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan persoalan konstitusional dimaksud dalam permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya terkait verifikasi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”, yang kemudian ketentuan tersebut sepanjang frasa “telah ditetapkan/” telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018. Dengan demikian bunyi ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 tersebut menjadi, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXV/2017, Mahkamah juga membatalkan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”. Pembatalan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 berdampak pada penyamarataan terhadap semua partai politik untuk dilakukan verifikasi dalam Pemilu serentak 2019 dan partai politik yang lolos verifikasi memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu.
[3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya pasca Pemilu serentak 2019, Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 ini dimohonkan kembali pengujiannya oleh Pemohon (Partai Garuda) melalui Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada petitumnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya”. Artinya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pada Pemilu serentak 2024, terhadap partai politik peserta Pemilu 2019 tidak perlu lagi dilakukan verifikasi ulang.
[3.15] Menimbang bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda.
[3.16] Menimbang bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di Proivinsi yang bersangkutan;
d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. Menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
[3.17] Menimbang bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan partai politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.12.3] Bahwa terhadap pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.12.2] di atas, terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Selanjutnya, ketiga hakim konstitusi tersebut juga mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan a quo. Namun demikian, terlepas dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 dan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan a quo, Mahkamah berpendirian bahwa terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”.
[3.13] Menimbang bahwa dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, meskipun dengan dasar pengujian serta alasan konstitusional yang berbeda, namun esensi dan hakikat yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, baik secara administrasi maupun secara faktual. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tersebut mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum Putusan a quo.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Adapun terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon yang dipandang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.