Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Tommy Chandra Kurniawan, Daniel Maringantua Warren Haposan Gultom, Mira Sylvania Setianingrum, Lingga Nugraha, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rendy Anggara Puta, S.H., dkk, advokat dan konsultan hukum pada “Law Office RAP & Co”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12.1] bahwa sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo, para Pemohon dalam permohonannya masih mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang telah diberi makna baru oleh Mahkamah, karena pemaknaan demikian menimbulkan permasalahan baru yaitu adanya kekosongan hukum berupa belum diaturnya landasan/dasar hukum bagi tugas-tugas dan/atau tindakan Pengurus PKPU berikut konsekuensi finansial (biaya pengurusan atau imbalan jasa). Terlebih lagi, jika hakim tingkat kasasi mebatalkan putusan PKPU dari pengadilan tingkat pertama.
Berkenaan dengan hal tersebut dapat Mahkamah jelaskan bahwa secara universal adanya perubahan sebuah undang-undang atau perubahan norma sebuah undang-undang, baik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang maupun dilakukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi, tidak dapat dilepaskan dari adanya dampak atau konsekuensi yuridis atas perubahan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan aturan peralihan atau ketentuan peralihan untuk menjembatani pemberlakuan norma baru tersebut, baik tanpa pengaturan dalam salah satu pasal pada undang-undang yang bersangkutan maupun salah satu pertimbangan hukum apabila perubahan melalui Putusan Mahkamah Kontitusi, akan menimbulkan konsekuensi yuridis yang apabila tidak diberikan ketentuan peralihan dapat berakibat terjadinya kekosongan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
[3.12.2] bahwa dalam prespektif perkara a quo sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, terdapat putusan Mahkamah Konstitus berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, yaitu Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 23/PUU-XIX/2022. Putusan tersebut telah memberikan pemaknaan baru terhadap ketentuan norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, yang pada pokoknya “terhadap putusan PKPU yang diajukan upaya hukum kasasi.” Dengan demikian, terhadap putusan PKPU yang semula tidak tersedia upaya hukum apapun menjadi tersedia upaya hukum meskipun secara terbatas.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridis atau Putusan Mahkamah Konstitusi a quo diperlukan pengaturan lebih lanjut hal-hal yang berkenaan dengan diperbolehkan upaya hukum kasasi atas putusan PKPU dimaksud. Hal-hal demikan diantaranya dimohonkan oleh para Permohon dalam perkara ini.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, apabila dicermati dengan seksama, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah terdahulu berkaitan dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah jelas menegaskan posisi upaya hukum kasasi atau putusan PKPU merupakan ketentuan hukum baru yang belum diatur dalam UU 37/2004. Sebagai ketentuan hukum baru, ketentuan mengenai upaya hukum kasasi atas putusan PKPU pun belum diikuti dengan pengaturan yang lengkap mengenai tata laksana upaya hukum kasasi maupun pengaturan berbagai hal yang merupakan konsekuensi yuridis atas upaya hakum kasasi tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan belum diaturnya berbagai konsekuensi dari upaya hukum kasasi dimaksud, Mahkamah telah memberian pertimbangan hukum dalam putusan terdahulu yaitu Paragraf [3.19]
Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021, yang selengkapnya menyatakan:
“[3.19] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tidak diterimanya tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diajukan upaya hukum Kasasi, oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU 37/2004 yang tidak dilakukan pengujian dan terdampak dengan putusan a quo maka pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan perkara ini. Demikian halnya, guna mengatur lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tata cara pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dimana tawaran perdamaian dari debitor telah ditolak oleh kreditor.”
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, telah jelas dan tegas Mahkamah meminta kepada institusi Mahkamah Agung untuk secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tata cara pengajuan upaya hukum kasasi atau putusan PKPU dimaksud. Sebab, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili perkara di tingkat kasasi, adalah institusi yang paling mengetahui akan kebutuhan regulasi yang dimaksud.
Dengan demikian, pengaturan atau regulasi dimaksud sudah sewajarnya meliputi namun tidak terbatas pada hal-hal antara lain: batas waktu pegurusan; keabsahan perbuatan pegurus sejak pengurus bersangkutan ditunjuk oleh pengadilan hingga jika ada putusan kasasi yang membatalkan putusan pengadilan atas putusan PKPU; penetapan biaya kepengurusan. Meskipun berkenaan dengan biaya kepengurusan a quo secara universal kewenangan penghitungan biayanya tidak dapat dipisahkan dengan kewenangan yang berada di pengadilan, namun Mahkamah meyakini hal tersebut secara komprehensif dapat diatur dengan regulasi yang dibuat oleh Mahkamah Agung.
[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon memohonkan agar pengaturan mengenai konsekuensi pengajuan kasasi atas putusan PKPU dipersamakan pengaturannya (dalam arti mutatis mutandis) dengan pengaturan konsekuensi kasasi atas putusan pailit [vide Pasal 16 dan Pasal 17 UU 37/2004]. Terhadap hal demikian Mahkamah berpendapat bahwa, dari sisi pembentukan undang-undang, pengaturan mekanisme terkait PKPU dapat dilakukan/dirumuskan oleh pembentuk undang-undang dapat mendelegasikan/menyerahkan kewenangan pengaturan tersebut kepada Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung untuk mengatur hal-hal tertentu demi kelancaran peradilan dapat dilandaskan pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA).
Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon tersebut, dalam perkara ini Mahkamah masih berpegangan pada putusan terdahulu yang berpendapat bahwa pengaturan demikian lebih tepat dilakukan oleh Mahkmah Agung sebagai peradilan yang diserah kewenangan mengadili permohonan PKPU di tingkat pertama maupun di tingkat kasasi, dengan memperhatikan kewenangan kementerian terkait yang diserahi kewenangan oleh UU 37/2004 untuk Menyusun/membuat pedoman imbalan jasa bagi pengurus [vide Pasal 234 ayat (5) UU 37/2004]. Namun demikian pengaturan dimaksud harus tetap memperhatikan dan/atau melindungi hak-hak yang melekat pada Pengurus PKPU yang ditunjukan oleh pengadilan untuk mengurus harta debitor yang terkena penundaan kewajiban pembayaran utang.
Bahwa dengan adanya penyerahan (pendelegasian) pengaturan lebih lanjut kepada Mahkamah Agung dengan memperhatikan kewenangan kementerian terkait, menurut Mahkamah secara normatif telah meniadakan potensi kerugian konstitusional akibat belum diaturnya konsekuensinya upaya hukum bagi Pengurus PKPU, terutama para Pemohon. Seandainya pun belum ada peraturan atau regulasi yang disusun oleh Mahkamah Agung terkait konsekuensi upaya hukum kasasi atas putusan PKPU, hal demikian menurut Mahkmah tidak serta merta mengakibatkan norma yang dimohonkan pengujian menjadi bertentangan dengan konstitusi. Telebih, Mahkamah Agung dengan kewenangannya sebagai peradilan yang mengadili perkara kasasi sekaligus pengawasan badan peradilan di bawahnya dapat mewujudkan suatu perlindungan hukum kepada Pengurus PKPU melalui putusan kasasi tanpa harus menunggu terbitnya peraturan atau regulasi dimaksud.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut Mahkamah berpendapat telah ternyata hal-hal yang didalilkan ole para Permohon dalam permohonan a quo, telah terserap (terarbsobsi) dalam amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021. Terlebih, setelah dicermati oleh Mahkamah terdapat banyak hal dalam permohonan ini yang sebenarnya secara substansial telah dipertimbangkan dalam putusan terdahulu, sehingga, sekali lagi, untuk memahami secara komprehensif pertimbangan hukum putusan ini harus dirujuk/dibaca pula pertimbangan hukum Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, ketentuan norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang telah diberi makna baru oleh Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengakibatkan adanya kepastian hukum serta tidak pula menimbulkan kerugian terkait pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum bagi para Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkmah kedua norma yang dimohonkan pengujian sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 tidak bertentangan dengann Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.