Heintje Gronstson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso, yang memberikan kuasa kepada Dr. Umbu Rauta, S.H., M.Hum, dkk, advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum Mustuka Raja Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.
Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Landasan konstitusional pers di Indonesia adalah berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 haruslah dijamin.
Sejarah pers di Indonesia mencatat Ketetapan MPRS RI Nomor XXXII/MPRS/1966 pada awal Orde Baru merupakan cikal bakal lahirnya ketentuan pengaturan tentang pers. Ketetapan MPRS RI Nomor XXXIII/MPRS/1966 mengatur tentang Pembinaan Pers Indonesia. Selanjutnya dibuatlah Undang-Undang yang mengatur tentang pers yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (selanjutnya disebut UU 11/1966) yang merupakan penjabaran dari Ketetapan MPRS RI Nomor XXXII/MPRS/1966. UU 11/1966 mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, dan kemudian UU 11/1966 diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 (selanjutnya disebut UU 21/1982). Pada saat berlakunya UU 11/1966 dan perubahannya yaitu UU 21/1982, pengendalian kehidupan pers oleh pemerintah tampak dengan adanya beberapa ketentuan, antara lain yaitu:
1) Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan [vide Pasal 7 ayat (1) UU 11/1966];
2) Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain [vide Pasal 6 ayat (2) UU 21/1982];
3) Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah [vide Pasal 13 ayat (5) UU 21/1982];
4) Ancaman pidana dan atau denda bagi yang menyelenggarakan penerbitan pers tanpa SIUPP [vide Pasal 19 ayat (2) UU 21/1982];
Sementara itu, Pasal 4 UU 11/1966 memang menyebutkan bahwa terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan, namun pemerintah saat itu tetap dapat mencabut SIUPP media massa yang artinya juga tindakan pembredelan. Apalagi meskipun ketentuan-ketentuan tentang SIUPP diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers [vide Pasal 13 ayat (5)
UU 21/1982], akan tetapi sesuai dengan ketentuan UU 11/1966 dan UU 21/1982, Dewan Pers sendiri haruslah diketuai oleh Menteri Penerangan yang merupakan wakil dari pemerintah.
Adanya reformasi dan bergantinya orde baru di tahun 1998 menjadi momen perubahan kehidupan pers di Indonesia. Terjadi amandemen/perubahan terhadap UUD 1945 sehingga ada pasal lain selain Pasal 28 UUD 1945 yang berkaitan dengan pers yaitu Pasal 28E yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, serta Pasal 28F yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Adanya pasal-pasal UUD 1945 tersebut menambah sekaligus mempertegas jaminan kebebasan pers di Indonesia setelah reformasi. Bersamaan setelah reformasi tahun 1998, lahir pula undang-undang baru mengenai pers yaitu UU 40/1999 yang membawa perubahan politik hukum pers di Indonesia yang semula meletakkan kontrol penuh terhadap pers di tangan pemerintah/eksekutif, berubah menjadi politik hukum jaminan kebebasan pers. UU 40/1999 yang diundangkan pada 23 September 1999 menjadi tonggak lahirnya kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia. Dalam memorie van toelichting UU Pers disebutkan bahwa tujuan kebebasan pers adalah dalam upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi ke arah yang lebih baik sehingga dapat memperluas hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meningkatkan pendidikan sosial untuk masyarakat, meningkatkan kontrol sosial masyarakat dalam semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan kreatifitas masyarakat dengan peningkatan wawasan melalui informasi yang lebih luas. Dengan demikian, maka kebebasan pers dapat menciptakan masyarakat yang tertib dan adil, yang pada akhirnya akan mempercepat pembangunan kesejahteraan bangsa [vide bukti PK-1 memorie van toelichting UU Pers, hlm. 6-7]. Beberapa ketentuan dalam UU 40/1999 yang mengatur jaminan kebebasan pers yaitu:
1) Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum [vide Pasal 2 UU 40/1999].
2) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara [vide Pasal 4 ayat (1) UU 40/1999].
3) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran [vide Pasal 4 ayat (2) UU 40/1999];
4) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi [vide Pasal 4 ayat (3) UU 40/1999];
5) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak [vide Pasal 4 ayat (4) UU 40/1999];
6) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan [vide Pasal 7 ayat (1) UU 40/1999];
7) Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum [vide Pasal 8 UU 40/1999];
8) Dewan Pers bebas dari intervensi Pemerintah sebagaimana terlihat dari komposisi Dewan Pers yang tidak ada wakil pemerintah [vide Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999];
9) Pengaturan mandiri (self regulation) dalam penyusunan peraturan di bidang pers dengan memberikan ruang bagi organisasi-organisasi pers dalam menyusun sendiri peraturan-peraturan di bidang pers dengan difasilitasi oleh Dewan Pers yang independen [vide Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999].
Meskipun UU 40/1999 telah menjamin kemerdekaan pers serta penerapan self regulation, namun kini justru muncul kecenderungan pers yang terlalu bebas. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengingatkan kembali bahwa pers tidak cukup hanya berpegang pada prinsip kemerdekaan, kebebasan, dan independensi semata, namun juga mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi secara bertanggung jawab. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999]. Selain itu, dalam menjalankan profesinya, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik [vide Pasal 7 ayat (2) UU 40/1999]. Semangat reformasi pers di Indonesia menghendaki pers mampu bersuara untuk kepentingan rakyat dalam negara hukum yang demokratis sesuai dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila, bukan pers yang bebas sebebas-bebasnya sebagaimana pers di negara-negara yang menganut paham individualistik-liberalistik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memeroleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus
mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan
paksaan dari manapun. Pers nasional juga diharapkan berperan ikut menjagaketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial [vide konsiderans Menimbang UU 40/1999].
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999. Terhadap hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan fungsi Dewan Pers sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 terutama kata “memfasilitasi” telah menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga menjadikan Dewan Pers memonopoli pembentukan peraturan-peraturan di bidang pers. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional [vide Pasal 15 ayat (1) UU 40/1999]. Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan adanya peraturan-peraturan di bidang pers yang menjadi acuan dan standarisasi. Namun demikian, agar tetap menjaga independensi dan kemerdekaan pers maka peraturan di bidang pers disusun sedemikian rupa tanpa ada intervensi dari pemerintah maupun dari Dewan Pers itu sendiri. Dalam hal ini, Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 mengatur bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi, salah satunya, adalah memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Maksud dari “memfasilitasi” adalah menegaskan bahwa Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers tersebut. Fungsi “memfasilitasi” tersebut menurut Mahkamah telah sejalan dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers.
Latar belakang dan cita-cita pembentukan UU 40/1999 menghendaki kelembagaan, struktur, keanggotaan dan kegiatan Dewan Pers disesuaikan dengan semangat reformasi, serta bersifat independen [vide bukti PK-1 memorie van toelichting UU Pers]. Peran dan fungsi Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers adalah agar masing-masing organisasi pers tidak membentuk peraturan secara sendiri-sendiri sehingga berpotensi bertentangan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya. Dengan adanya fungsi memfasilitasi tersebut maka hak organisasi pers tetap terjamin untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya terhadap substansi peraturan yang akan dibentuk di bidang pers.
Selain pertimbangan hukum tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret, Mahkamah menemukan fakta yang terungkap di persidangan terdapat keterangan dari organisasi pers yang terdaftar di dalam Dewan Pers yang menerangkan bahwa Dewan Pers memfasilitasi pembuatan peraturan terkait pers hasil pembahasan bersama dengan melibatkan organisasi pers dalam membentuk peraturan di bidang pers dan tidak pernah memonopoli pembuatan peraturan, apalagi mengambil alih peran organisasi pers sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon [vide Risalah Sidang 11 Januari 2022 mengenai keterangan Pihak Terkait PWI] sebagaimana didukung oleh keterangan Ahli Pihak Terkait Dewan Pers [vide Risalah Sidang 24 Maret 2022 mengenai keterangan Ahli Pihak Terkait Dewan Pers yaitu Rajab Ritonga]. Artinya, Dewan Pers bertindak sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan (regulator).
Jikapun benar terdapat peraturan-peraturan pers yang pembentukannya dimonopoli oleh Dewan Pers untuk kepentingan Dewan Pers, atau disusun tidak sesuai dengan fungsi Dewan Pers, sebagaimana didalilkan para Pemohon, hal tersebut adalah persoalan implementasi norma dan bukan persoalan konstitusionalitas norma sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Demikian pula terhadap dalil para Pemohon mengenai pelaksanaan uji kompetensi atau sertifikasi kompetensi, menurut Mahkamah, hal tersebut adalah persoalan konkret yang sudah pula diselesaikan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 235/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst juncto Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 331/PDT/2019/PT DKI [vide Bukti PT-5, Bukti PT-6, Bukti P.Interv-31, Bukti P.Interv-32, Bukti PK-2b].
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir kata “memfasilitasi” sehingga menjadikan Dewan Pers memonopoli peraturan-peraturan di bidang pers, adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga mengakibatkan para Pemohon tidak mendapatkan penetapan sebagai Anggota Dewan Pers melalui Keputusan Presiden. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, keanggotaan Dewan Pers yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden tidaklah mengurangi independensi Dewan Pers mengingat proses pemilihan anggota Dewan Pers telah ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999 bahwa Anggota Dewan Pers terdiri dari:
1. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
2. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
3. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Selanjutnya, penentuan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota [vide Pasal 15 ayat (4) UU 40/1999]. Dengan proses pemilihan yang demikian artinya Anggota Dewan Pers ditentukan sendiri oleh insan pers yang berkecimpung di dunia pers. Keberadaan Keputusan Presiden hanya sebagai pengesahan dan keputusan (beschikking) yang bersifat individual, konkret, dan berlaku satu kali (einmalig) terhadap Anggota Dewan Pers yang terpilih. Artinya, Presiden tidak dapat campur tangan dalam proses penentuan keanggotaan dan ketua Dewan Pers.
Adapun petitum para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 dimaknai “Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis”, justru dapat menimbulkan ketidakseragaman ketika masing-masing organisasi pers melaksanakan pemilihan Anggota Dewan Pers sendiri-sendiri. Jikapun para Pemohon merasa keberatan dengan tidak ditetapkannya dirinya sebagai anggota Dewan Pers melalui Keputusan Presiden maka hal tersebut merupakan persoalan konkret dan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Apalagi Presiden dalam menerbitkan Keputusan Presiden tersebut hanya bersifat administratif untuk pengesahan Keanggotaan Dewan Pers yang telah dipilih melalui proses sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon mengenai Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga mengakibatkan para Pemohon tidak mendapatkan penetapan sebagai Anggota Dewan Pers, adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 telah ternyata tidak melanggar kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon berdasarkan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430