Eriko Fahri Ginting, S.H., Leon Maulana Mirza Pasha, S.H., Ferdinand Sujanto, S.H. , Andi Redani Suryanata, Belgis Shafira, Sandra Nabila Diya Ul-Haq, Tria Noviantika, Benaya Marcel Devara Taka, Desty Puteri Hardyati, Jennifer Gabriella Hardi, Dara Manista Harwika, Isrotul Munawaroh, Maylita Evely Kandalina, Sultan Fadillah Effendi, Raihan Azalia, Ghina Gatrialiananda, Nukhbah Salsabila, Elizza Rizky Mauri, Arum Mahdavika, Muhammad Adjrin, Jennyver Willyanto, Yusa Rahman Sanjani, Nisrina Hasnia, M. Ainun Fitria Maulana, Salsabilah Anton Subijanto, Agatha Vinci Goran, I Made Dwi Gayatri, Aryadi Kristianto Simanjuntak, Fransiska Naomi Sitanggang. Yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Faisal Al Haq Harahap, dkk, kesemuanya merupakan tim pada Kantor Hukum Leo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE
dengan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), (2), dan (4), Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
[3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 5 Mei 2009. Dasar pengujian yang digunakan dalam putusan tersebut adalah Pasal 28E ayat (2), ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Sementara itu, berkaitan dengan pengujian norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Mahkamah juga telah memutus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Agustus 2013. Adapun dasar pengujian yang digunakan untuk putusan tersebut adalah Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945. Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Maret 2018, Mahkamah juga telah memutus berkenaan dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan menggunakan dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sedangkan, para Pemohon dalam perkara a quo, baik terkait dengan pengujian norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam perkara a quo yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Adapun berkenaan dengan alasan pengujian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama perkara a quo terdapat perbedaan dengan yang telah diputus oleh Mahkamah karena para Pemohon mendalilkan pasal yang dimohonkan pengujian merupakan “pasal karet“ walaupun sudah diputus oleh Mahkamah, tetapi faktanya menurut para Pemohon putusan Mahkamah tersebut tidak dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga tidak memberikan kepastian hukum atas hak-hak yang telah dijamin oleh UUD 1945, sehingga para Pemohon memohon agar pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dinyatakan dalam amar putusan atau dituangkan dalam revisi UU ITE;
[3.10.3] Bahwa walaupun objek permohonan yang diajukan oleh para Pemohon a quo sama dengan Perkara Nomor 50/PUU-VI/2008, Perkara Nomor 52/PUU- XI/2013, Perkara Nomor 76/PUU-XV/2017, namun oleh karena perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda dan juga memiliki alasan yang berbeda, maka terlepas terbukti atau tidaknya secara substansial permohonan a quo, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, dapat diajukan kembali.
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan “pasal karet” yang tidak memberikan jaminan dalam penerapannya sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena dalam implementasinya menurut para Pemohon seperti “pasal karet” tidak melindungi hak-hak para Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 karena aparat penegak hukum tidak menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, maka penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mengutip kembali pertimbangan hukum dalam putusan tersebut yang telah mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana yang dimaksudkan dalam Sub-paragraf [3.16.3], Sub-paragraf [3.16.4], Sub-paragraf [3.16.5], Sub-paragraf [3.16.7], Paragraf [3.17], dan Sub-paragraf [3.17.1] [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 5 Mei 2009, hlm. 106-110] sebagai berikut:
[3.16.3] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Menurut Mahkamah, salah satu ciri negara hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi setiap orang. Rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat, dengan kebebasan orang lain untuk berbicara, berekspresi, mengemukakan pendapat dan pikiran serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dalam suatu masyarakat demokratis. Keseimbangan tersebut diperlukan untuk menghindari terjadinya “hukum rimba” dalam dunia maya (cyberspace) karena banyaknya pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan sebab tidak ada hukum yang mengaturnya, sebagaimana dikemukakan oleh Geeta Anand (1997: A28), “the growing public awareness of the internet is unwieldy and chaotic side has led to calls for regulation and governance” (meningkatnya kesadaran masyarakat akan internet dalam sisi buruknya telah melahirkan tuntutan bagi perlunya peraturan dan penataan), dimana setiap pengguna internet (netter) atau warga pengguna jaringan internet (netizen) secara leluasa boleh berperilaku membabi buta, memaki, memfitnah dan mencemarkan nama baik pihak lain tanpa disertai data dan informasi akurat, sebagaimana yang diungkapkan para saksi yang diajukan Pemerintah dalam persidangan. Dengan demikian, sebagaimana di dalam dunia nyata, kebebasan bagi pengguna internet atau warga pengguna jaringan internet adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan Pasal a quo bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, adalah tidak beralasan;
[3.16.4] Bahwa Pemohon mendalilkan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE berpotensi disalahgunakan. Menurut Mahkamah, potensi penyalahgunaan justru lebih besar dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di ranah dunia maya daripada penyalahgunaan yang dilakukan oleh penegak hukum dengan alasan bahwa keunggulan dalam dunia teknologi dan informasi yang ditandai dengan kecepatan dalam transfer data, informasi dan karakter yang sangat terbuka, serta hamper tanpa batas. Di sisi lain dapat juga menimbulkan dampak negatif yang ekstrim apabila norma-norma hukum, norma-norma agama, dan norma-norma moral ditinggalkan oleh para pengguna dunia maya. Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berinteraksi secara cepat maka semakin tinggi pula tuntutan kehati-hatian karena tidak adanya penyaring atau pembatas yang dapat menangkal nilai-nilai negatif (self-censorship) ketika berinteraksi dengan pihak lawan interaksi. Undang- Undang a quo telah memberikan batasan sisi-sisi yang merupakan domain publik dan sisi-sisi yang melanggar hak-hak privasi orang lain;
[3.16.5] Bahwa Pemohon mendalilkan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan. Menurut Mahkamah, perkembangan teknologi informasi seperti internet dan sejenisnya, hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah kehidupan manusia yang hidup dan saling berpengaruh dalam dunia nyata guna mencapai kesejahteraan umat manusia, sehingga fokus akhir dari pengaturan dan pembatasan hukum in casu undang-undang a quo adalah untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia pada media siber yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata. Tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu yang lama dan dampak yang luas karena tidak adanya batas ruang dan rentang waktu. Setiap orang dapat membuka fitur-fitur yang dimuat di dalamnya kapanpun dan dimanapun, sehingga justru korban dari tindak pidana di dunia maya-lah yang mengalami efek dalam jangka panjang, bukan pelakunya. Berdasarkan pandangan terhadap nilai hukum di atas, maka dalil Pemohon tidak beralasan;
[3.16.7] Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena meskipun ada ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, tetapi dalam pelaksanaannya, kemerdekaan pers tidaklah sebebas-bebasnya. Dengan kata lain, negara dibenarkan membatasi atau mengatur agar kebebasan pers tersebut tidak melanggar hak-hak asasi orang lain, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi…;
[3.17] Menimbang bahwa baik DPR maupun Ahli yang diajukan Pemerintah telah menerangkan di depan persidangan Mahkamah bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-Undang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus. Oleh karena itu, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP;
[3.17.1] Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
[3.11.2] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum atas Perkara Nomor 50/PUU-VI/2008, telah ternyata Mahkamah dalam pendiriannya sebagaimana amarnya menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dengan kata lain, Mahkamah telah menyatakan bahwa norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo dalam putusan sebelumnya telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.11.3] Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama alasan permohonan para Pemohon dan dasar pengujian yang diajukan sekalipun terdapat perbedaan dengan perkara yang telah diputus sebelumnya, namun yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada intinya adalah mengenai kekaburan atau ketidakjelasan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE sehingga tidak memberikan perlindungan hukum atas hak kebebasan menyatakan pendapat, di mana dalam penegakannya pun tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya yang bersifat alternatif memohon kepada Mahkamah, khususnya pada petitum huruf b, agar menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon untuk menyatakan inkonstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak memiliki dasar yang kuat maka tidak terdapat alasan yang fundamental bagi Mahkamah untuk mengubah pendirian sebagaimana telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, oleh karenanya Mahkamah tetap pada pendiriannya. Sementara itu, jika dikaitkan dengan petitum alternatif huruf b berikutnya, pada pokoknya para Pemohon memohon hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 agar dinyatakan dalam amar putusan atau dimasukkan dalam revisi UU ITE. Dalam kaitan dengan apa yang dimohonkan oleh para Pemohon, penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan penegasan atas norma hukum pidana penghinaan yang terdapat dalam KUHP ke dalam norma hukum baru sesuai dengan perkembangan di dunia siber karena KUHP tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran yang dilakukan secara online, dikarenakan adanya unsur “di muka umum“. Oleh karena itu, penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dilepaskan dari norma penghinaan dalam KUHP yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai norma pokoknya (genus delict). Berkaitan dengan hal ini pun telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Sub-paragraf [3.16.1] hlm. 104 sebagai berikut:
“Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”.
Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Rumusan Pasal a quo telah cukup jelas memberikan pengertian “mendistribusikan” sebagai “penyalinan” sebagaimana keterangan Ahli Pemohon Andika Triwidada. Pengertian mentransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan interaksi tersebut merupakan bagian dari distribusi. Begitu juga dengan batasan “membuat dapat diakses” dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan, sebagaimana pendapat Ahli dari Pemohon. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo memperlihatkan adanya ketidakjelasan ukuran dan makna, tumpang tindih yang berarti mengandung ketidakpastian hukum, adalah tidak tepat menurut hukum”
[3.11.4] Bahwa terlepas dari kekhawatiran para Pemohon atas penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang sesungguhnya bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya, Pemerintah sesungguhnya telah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tersebut dengan menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut Keputusan Bersama). Dalam Keputusan Bersama tersebut telah dirumuskan pedoman untuk pelaksanaan atau implementasi pasal-pasal tertentu dari UU ITE, yaitu Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas dari Keputusan Bersama dimaksud, Keputusan Bersama a quo dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pasal-pasal tertentu UU ITE tidak lagi menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat, sehingga disusunlah pedoman implementasi bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya [vide Menimbang huruf b Keputusan Bersama]. Berkaitan dengan ihwal Keputusan Bersama inipun sesungguhnya telah dirujuk pula oleh para Pemohon dalam permohonannya [vide Permohonan para Pemohon hlm. 15]. Dengan adanya pedoman tersebut maka aparat penegak hukum telah mendapatkan panduan atau pedoman agar dalam mengimplementasikan ketentuan norma pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut tidak bersifat represif namun secara hati-hati sehingga implementasinya dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana hal ini ditentukan dalam Keputusan Bersama, khususnya dalam memberikan pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE [Lampiran Keputusan Bersama, hlm. 9-14], yang dipersoalkan oleh para Pemohon. Adapun substansi pedoman dimaksud sebagai berikut:
a. Sesuai dasar pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Tahun 2008, dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pengertian muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Pasal 310 KUHP merupakan delik menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum. Sedangkan Pasal 311 KUHP berkaitan dengan perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku.
b. Dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU- VI/2008 Tahun 2008 tersebut maka dapat disimpulkan, bukan sebuah delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Untuk perbuatan yang demikian dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana dimaksud Pasal 315 KUHP yang menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak termasuk acuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
c. Bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.
d. Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum Aparat Penegak Hukum memproses pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik UU ITE.
e. Delik pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU ITE. Sebagai delik aduan absolut, maka harus korban sendiri yang mengadukan kepada Aparat Penegak Hukum, kecuali dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian.
f. Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
g. Fokus pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum (Pasal 310 KUHP).
h. Unsur “supaya diketahui umum” (dalam konteks transmisi, distribusi, dan/atau membuat dapat diakses) sebagaimana harus dipenuhi dalam unsur pokok (klacht delict) Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang menjadi rujukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang harus terpenuhi.
i. Kriteria “supaya diketahui umum” dapat dipersamakan dengan “agar diketahui publik”. Umum atau publik sendiri dimaknai sebagai kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.
j. Kriteria “diketahui umum” dapat berupa unggahan pada akun sosial media dengan pengaturan bisa diaskes publik, unggahan konten atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat grup terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, serta lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi (share) keluar, atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group).
k. Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus, atau institusi pendidikan.
l. Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Untuk kasus terkait Pers perlu melibatkan Dewan Pers. Tetapi jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE termasuk Pasal 27 ayat (3).
[3.11.5] Bahwa dengan demikian, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keputusan Bersama sebagaimana diuraikan di atas maka persoalan mengenai implementasi penegakan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merupakan bentuk kekhawatiran para Pemohon telah terjawab melalui pedoman bagi aparat penegak hukum dalam Keputusan Bersama yang saat ini menjadi pegangan dalam menerapkan norma pasal a quo. Oleh karena itu, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma, maka terhadap permohonan para Pemohon yang memohon agar pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dinyatakan dalam amar putusan adalah tidak beralasan menurut hukum. Sementara itu, berkenaan dengan petitum para Pemohon yang memohon agar segera merevisi UU ITE bukan merupakan kewenangan Mahkamah tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dianggap para Pemohon telah menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga menyimpang dari pembatasan hak yang telah ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil a quo penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU- XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Agustus 2013, di mana dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.11], Paragraf [3.12], Paragraf [3.13], Paragraf [3.14], Mahkamah antara lain menyatakan sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 yang menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”, yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
[3.12] Menimbang bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Menurut Mahkamah, ketentuan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yakni hak setiap orang untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, dapat dibatasi dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, apabila seseorang menyebarkan informasi dengan maksud untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah sesuatu yang bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta hak untuk menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, tidak boleh berisi informasi yang kemudian disebarkan untuk tujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan baik antarindividu maupun masyarakat. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan segenap bangsa Indonesia, paralel dengan prinsip ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; sejalan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena tidak ada agama yang membenarkan penyebaran kebencian; sesuai dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebab kemanusiaan mengharuskan perlakuan sama serta penghormatan kepada sesama manusia; setujuan dengan Persatuan Indonesia, oleh karena penyebaran kebencian dan permusuhan akan mengikis persatuan; seiring dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk namun dalam persatuan dan kesatuan Indonesia;
[3.12.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XI/2013, Mahkamah menyatakan dalam amar putusannya bahwa norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, dalam Perkara Nomor 76/PUU-XV/2017 yang mempersoalkan frasa “antargolongan” dalam norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 Maret 2018, di mana dalam pertimbangan hukum pada Sub-Paragraf [3.13.2], Paragraf [3.14], Sub-Paragraf [3.14.1], Sub-Paragraf [3.14.2], Paragraf [3.15], Paragraf [3.16], Mahkamah antara lain menyatakan:
“…Problem konstitusional justru timbul tatkala istilah “antargolongan” tersebut ditiadakan, yaitu adanya kekosongan hukum yang membawa akibat ketidakpastian hukum, sebab dalam konteks permohonan a quo akan timbul pertanyaan: apakah seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE dapat dipidana jika perbuatan itu tidak ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu yang tidak termasuk ke dalam pengertian suku, agama, dan ras?
Pertanyaannya kemudian bagaimanakah jika dikaitkan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945? Pasal 28E ayat (3) juncto Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat serta dilindungi dalam menjalankan hak asasi. Frasa “mengeluarkan pendapat” meliputi juga penyebaran informasi baik secara lisan maupun melalui media tertentu, termasuk di dalamnya melalui sarana teknologi komputer berjaringan yang secara populer dikenal sebagai media sosial (social media). Namun kebebasan demikian bukanlah tanpa batas. Kebebasan mengeluarkan pendapat dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah Pasal 28E ayat (3) juncto Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap pendapat harus disertai tanggung jawab secara moral dan hukum untuk selalu menyajikan kebenaran. Hal ini juga sejalan dengan makna negara hukum dan perlindungan hukum yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.14] Menimbang bahwa istilah “antargolongan” karena mewadahi berbagai entitas yang belum diatur oleh undang-undang, maka justru ketika dihilangkan/ dihapus dari Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE akan meniadakan/menghilangkan perlindungan hukum bagi berbagai entitas di luar tiga kategori yaitu suku, agama, dan ras. Ketiadaan perlindungan hukum demikian berpotensi melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
[3.14.1] Bahwa istilah “antargolongan” terbentuk dari gabungan kata “antar” dan kata “golongan”, yang kata “golongan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sama artinya dengan kelompok (Hasan Alwi dkk, 2001:368). Ketika kelompok dimaknai sebagai kumpulan (orang) yang memiliki kesamaan atribut atau ciri tertentu, maka istilah golongan/kelompok ini akan meliputi/mencakup juga suku, agama, dan ras. Padahal dalam frasa SARA, kedudukan hukum istilah “suku”, istilah “agama”, istilah “ras”, dan istilah “antargolongan” diletakkan sederajat yang artinya masing-masing tidak saling meliputi atau yang satu tidak menjadi sub-ordinat yang lain.
Menurut Mahkamah pengulangan atau adanya kesan tumpang-tindih tidak dapat dielakkan karena keterbatasan kosakata yang dapat mewakili fenomena keragaman entitas akibat proses diferensiasi sosial. Hal tersebut bukanlah merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945. Sebab tujuannya justru untuk mengisi kekosongan hukum agar tidak terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945. Namun demikian bila diperlukan untuk mempertegas dan bila telah ditemukan adanya kosakata yang paling tepat maka dimungkinkan untuk dilakukan perubahan atau penggantian istilah “antargolongan” oleh pembentuk undang-undang di kemudian hari, yang selanjutnya akan dipergunakan sebagai terminologi hukum sesuai dengan konteks keberlakuannya.
[3.14.2] Bahwa dari uraian pertimbangan paragraf [3.14.1], seandainya pun tidak dilakukan perubahan atau penggantian istilah “antargolongan”, bagi Mahkamah hal demikian tidak pula menjadikan istilah norma Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang memuat istilah “antargolongan” menjadi norma yang kabur (vague norm). Untuk menjadikan ketentuan tersebut lebih jelas atau terang, menurut Mahkamah cukup dengan memberikan penjelasan, bahkan melalui putusan Mahkamah ini dipertegas bahwa istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan adanya kekhawatiran bahwa ketidakjelasan makna istilah “antargolongan” akan dipergunakan oleh golongan koruptor, golongan narapidana, golongan penjahat, dan golongan anti Pancasila untuk menuntut orang yang dituduh menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan kebencian terhadap golongan mereka. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat kekhawatiran para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Sebab hukum, khususnya hukum pidana, diciptakan bukan untuk melindungi sifat maupun tindakan/perbuatan jahat.
Bahkan dalam ilmu hukum pidana dikatakan bahwa salah satu unsur objektif tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tindakan/perbuatan korupsi, anti Pancasila, mencuri, merampok, sebagai contoh, adalah tindakan yang melanggar hukum. Orang-orang yang terbukti melakukan berbagai tindakan tersebut dan telah dijatuhi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, tentu tidak masuk akal untuk merasa tersinggung atau dirugikan, serta tidak mungkin meminta perlindungan hukum dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Lain halnya ketika seseorang atau golongan tertentu disangka atau disebarluaskan informasi bahwa dirinya adalah penjahat atau koruptor atau anti Pancasila tanpa ada pembuktian secara hukum. Orang atau golongan yang disangka demikian memiliki hak untuk dilindungi dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE.
[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan adanya kerancuan makna “golongan” karena selain dipergunakan dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE, kata “golongan” juga dipergunakan dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE merupakan peraturan yang sifatnya lebih khusus dibandingkan dengan ketentuan Pasal 156 KUHP. Menurut Mahkamah penggunaan istilah/kata yang sama oleh dua undang-undang yang berbeda bukanlah sebuah kesalahan apalagi pelanggaran konstitusi, selama keduanya memiliki konteks yang berbeda dan perbedaan demikian dapat dengan mudah diketahui melalui penafsiran kontekstual. Dalam hal ini pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14] berlaku pula sebagai pertimbangan hukum terhadap dalil para Pemohon a quo.
Hal demikian apabila dicermati akan tampak jelas dalam rumusan masing- masing pasal dimana Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE mengatur pidana dalam konteks penyebaran informasi elektronik, sementara Pasal 156 KUHP menekankan pada pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di muka umum. Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa penggunaan istilah/kata “golongan” dalam UU ITE maupun dalam KUHP tidak menimbulkan kerancuan karena keduanya memiliki perbedaan konteks yang jelas.
Namun demikian andaikata penggunaan istilah/kata “golongan” di dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE serta di dalam Pasal 156 KUHP memungkinkan adanya kerancuan, quod non, menurut Mahkamah hal demikian adalah permasalahan harmonisasi istilah/kata yang merupakan bagian dari sebuah norma pada peraturan perundang- undangan yang sebenarnya tidak mengakibatkan pergeseran arti masing- masing istilah/kata yang ada pada peraturan perundang-undangan bersangkutan, sehingga hal tersebut bukanlah merupakan permasalahan konstitusionalitas norma”.
[3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan para Pemohon yang mengkhawatirkan implementasi penegakan hukum norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, oleh karenanya dalam petitum alternatif huruf b, khusus terhadap Pasal 28 ayat (2) UU ITE, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dalam amar putusan perkara a quo. Terhadap kekhawatiran dan permohonan para Pemohon tersebut sesungguhnya telah terjawab pula dengan ditindaklanjutinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dalam Keputusan Bersama sebagaimana telah dipertimbangkan di atas dalam Sub-Paragraf [3.11.4]. Dalam Keputusan Bersama tersebut ditentukan pula pedoman penerapan atau implementasi Pasal 28 ayat (2) UU ITE agar tidak menimbulkan multitafsir atau kontroversi di masyarakat [vide Konsideran Menimbang huruf b Keputusan Bersama]. Adapun pedoman implementasi, khususnya Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyatakan sebagai berikut:
a. Delik utama Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
b. Bentuk informasi yang disebarkan dapat berupa gambar, video, suara, atau tulisan yang bermakna mengajak, atau mensyiarkan pada orang lain agar ikut memiliki rasa kebencian dan/atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar isu sentimen atas SARA.
c. Kriteria “menyebarkan” dapat dipersamakan dengan agar “diketahui umum” bisa berupa unggahan pada akun media sosial dengan pengaturan bisa diakses publik, atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi (share) keluar, atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group).
d. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA. Aparat Penegak Hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya konten mengajak, memengaruhi, menggerakkan masyarakat. Menghasut/mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau permusuhan.
e. Frasa “antargolongan” adalah entitas golongan rakyat di luar suku, agama, dan ras sebagaimana pengertian antar golongan mengacu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017.
f. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, memengaruhi dan/atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasar isu sentimen perbedaan SARA.
Dengan demikian, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keputusan Bersama yang substansi pokoknya telah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, maka sesungguhnya tidak ada relevansinya kekhawatiran para Pemohon atas implementasi norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Oleh karena itu, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah memberikan perlindungan hukum kepada setiap orang sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430