Dwi Pertiwi, Santi Warasyuti, Nafiah Murhayanti, S.Md, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), yang dalam hal ini memberika kuasa kepada Erasmus Abraham Todo Napitupulu, dkk Advokat yang tergabung dalam kantor Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika
Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU Narkotika dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada esensinya adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 sebagaimana selengkapnya dinyatakan dalam Petitum Permohonan para Pemohon pada Paragraf [3.7] angka 6 di atas. Namun demikian, sebelum lebih lanjut mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa semangat yang terkandung dalam UU 35/2009 sebagaimana diuraikan dalam Konsideran dan Penjelasan Umum Undang-Undang a quo, antara lain menegaskan bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya. Selain itu, untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang dimungkinkan dibutuhkan sebagai obat dan/atau terapi pada penyakit tertentu serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, terlebih jenis narkotika tertentu. Berkaitan dengan pemanfaatan narkotika, di satu sisi narkotika untuk jenis tertentu merupakan obat atau bahan yang bermanfaat untuk pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sedangkan di sisi lain narkotika jenis tertentu dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi pada pengguna dan dapat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.
Bahwa lebih lanjut dalam Penjelasan Umum UU 35/2009 juga ditegaskan, narkotika jenis tertentu merupakan zat atau obat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat, khususnya generasi bangsa. Terlebih, terhadap narkotika jenis tertentu lainnya yang oleh undang- undang benar-benar masih dilarang penggunaannya, selain apa yang secara tegas diperbolehkan, seperti halnya jenis Narkotika Golongan I yang hanya diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut akan sangat merugikan jika pembatasan tersebut justru ada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya akan dapat merusak generasi bangsa dan bahkan melemahkan ketahanan nasional.
[3.12.2] Bahwa meskipun pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di beberapa negara, antara lain Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, Israel, Italia, Belanda, Norwegia, Peru, Polandia, Romania, Kolombia, Swiss, Turki, Inggris, Bulgaria, Belgia, Prancis, Portugal, Spanyol, Selandia Baru, dan Thailand, namun fakta hukum tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan parameter, bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara. Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda, baik jenis bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dalam perspektif ini, untuk negara Indonesia, walaupun diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin “dapat” disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan, khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia. Terlebih, berkenaan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan Narkotika Golongan I di Indonesia harus diukur dari kesiapan unsur-unsur sebagaimana diuraikan tersebut di atas sekalipun terdapat kemungkinan keterdesakan untuk pemanfaatannya.
[3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon, yaitu berkaitan dengan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009, yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”, serta ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Terhadap hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 agar dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”, menurut Mahkamah pengelompokkan narkotika ke dalam tiga jenis golongan sebagaimana dimaksud dalam UU 35/2009, yaitu Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III merupakan hal yang penting dilakukan, mengingat sifat dari ketiga jenis golongan narkotika tersebut mempunyai dampak yang berbeda. Demikian halnya berkenaan dengan akibat hukum yang ditimbulkan, jika terjadi penyalahgunaan pemanfaatan narkotika yang dapat menimbulkan bahaya, tidak hanya berkaitan dengan ancaman jiwa, akan tetapi juga kehidupan manusia yang lebih luas. Oleh karenanya, sangat relevan pembagian jenis golongan narkotika tersebut tetap dipertahankan untuk dijadikan rujukan dalam membuat regulasi terkait dengan penggunaan, pengkajian dan penelitian, serta penegakan hukumnya ketika terjadi penyalahgunaan.
Bahwa oleh karena setiap jenis golongan narkotika memiliki dampak yang berbeda-beda, khususnya dalam hal tingkat ketergantungannya, maka di dalam menentukan jenis-jenis narkotika yang ditetapkan ke dalam suatu jenis golongan narkotika tertentu dibutuhkan metode ilmiah yang sangat ketat. Dengan demikian, terkait dengan adanya keinginan untuk menggeser/mengubah pemanfaatan jenis narkotika dari golongan yang satu ke dalam golongan yang lain maka hal tersebut juga tidak dapat secara sederhana dilakukan. Oleh karena itu, untuk melakukan perubahan sebagaimana tersebut di atas dibutuhkan kebijakan yang sangat komprehensif dan mendalam dengan melalui tahapan penting yang harus dimulai dengan penelitian dan pengkajian ilmiah.
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan berkaitan dengan jenis Narkotika Golongan I telah ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 hanya dapat dipergunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, dari pembatasan imperatif dimaksud secara sederhana dapat dipahami bahwa Narkotika Golongan I adalah jenis narkotika yang mempunyai dampak paling serius dibandingkan dengan jenis narkotika golongan lainnya. Dengan demikian, dalam hal pemanfaatan Narkotika Golongan I tidak dapat dilepaskan dari keterpenuhan syarat-syarat yang sangat ketat tersebut, terlebih apabila akan dilakukan perubahan pemanfaatannya ke dalam pemanfaatan lain (berbeda) yang potensial menimbulkan korban nyawa manusia, jika tidak dilakukan terlebih dahulu pengkajian dan penelitian secara ilmiah.
Bahwa berkaitan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, hal tersebut sama halnya dengan keinginan untuk mengubah pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I yang secara imperatif hanya diperbolehkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Pembatasan pemanfaatan demikian tidak terlepas dari pertimbangan bahwa jenis Narkotika Golongan I tersebut mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, telah ternyata keinginan para Pemohon untuk diperbolehkannya jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi belum terdapat bukti telah dilakukan pengkajian dan penelitian bersifat komprehensif dan mendalam secara ilmiah di Indonesia. Dengan belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif tersebut, maka keinginan para Pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Sementara itu, berkenaan dengan fakta- fakta hukum dalam persidangan yang menegaskan bahwa beberapa negara telah secara sah menurut undang-undangnya memperbolehkan pemanfaatan narkotika secara legal, hal tersebut tidak serta-merta dapat digeneralisasi bahwa negara- negara yang belum atau tidak melegalkan pemanfaatan narkotika secara bebas kemudian dapat dikatakan tidak mengoptimalkan manfaat narkotika dimaksud.
Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati yang tinggi kepada para penderita penyakit tertentu yang “secara fenomenal” menurut para Pemohon dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan jenis Narkotika Golongan I, sebagaimana yang dialami oleh anak Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III. Namun, mengingat hal tersebut belum merupakan hasil yang valid dari pengkajian dan penelitian secara ilmiah maka dengan mengingat efek atau dampak yang dapat ditimbulkan apabila Mahkamah menerima argumentasi para Pemohon a quo. Oleh karenanya tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk mendorong penggunaan jenis Narkotika Golongan I dengan sebelumnya dilakukan pengkajian dan penelitian secara ilmiah berkaitan dengan kemungkinan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Selanjutnya, hasil pengkajian dan penelitian secara ilmiah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang di dalam merumuskan kemungkinan perubahan kebijakan berkenaan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I.
Bahwa pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud di atas dapat diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun swasta setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU 35/2009, yang menyatakan “Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri”. Lebih lanjut ditegaskan mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud didasarkan pada Peraturan Menteri, sesuai dengan semangat Pasal 13 ayat (2) UU 35/2009. Artinya, lembaga pemerintah dan swasta secara bersama-sama atau pemerintah secara tersendiri melakukan pengkajian dan penelitian untuk menelaah secara ilmiah berkaitan dengan jenis Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan ataupun terapi. Lebih lanjut, pengkajian dan penelitian yang dilakukan terhadap jenis Narkotika Golongan I secara konkret dilakukan berdasarkan standar profesi penelitian kesehatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Di samping hasil pengkajian dan penelitian tersebut dapat memberikan telaahan secara ilmiah yang membuktikan kebenaran “hipotesis” tersebut, yaitu penggunaan atau pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I dapat diperuntukkan guna keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi untuk pengobatan penyakit tertentu, yang kemudian dilanjutkan dengan menguji penerapannya untuk kepentingan praktis.
[3.13.2] Bahwa selanjutnya penting dijelaskan, diperlukannya kepastian jenis Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi melalui pengkajian dan penelitian dimaksud, di satu sisi juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan keselamatan kepada masyarakat dari bahaya penggunaan jenis Narkotika Golongan I yang berpotensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, secara imperatif sebelum ada hasil pengkajian dan penelitian, jenis Narkotika Golongan I hanya benar-benar digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Bahkan bagi penyalahguna jenis Narkotika Golongan I yang secara tidak sah diancam dengan pidana penjara sangat berat (vide Pasal 111 sampai dengan Pasal 116 UU 35/2009). Sanksi ancaman pidana penjara yang sangat berat dimaksud disebabkan karena negara benar-benar ingin melindungi keselamatan bangsa dan negara dari bahaya penyalahgunaan narkotika, khususnya jenis Narkotika Golongan I. Dengan demikian, perlindungan kepada masyarakat dapat benar-benar diwujudkan karena jenis Narkotika Golongan I tetap harus dipandang sebagai jenis narkotika paling berbahaya, khususnya apabila dikaitkan dengan dampak ketergantungannya yang sangat tinggi.
Bahwa oleh karena tingkat ketergantungan jenis Narkotika Golongan I sangat tinggi dan berbahaya untuk kesehatan, maka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Narkotika Golongan I dilarang juga digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Sebab, pemberian pelayanan kesehatan yang aman kepada masyarakat merupakan tanggung jawab Negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan, “Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif” dan “Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Oleh karena itu, Negara dalam konteks pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I khususnya, dan jenis Narkotika Golongan II serta jenis Narkotika Golongan III pada umumnya, wajib melakukan pengawasan secara ketat agar penggunaan narkotika tidak disalahgunakan. Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, negara juga wajib menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan pemenuhan hak dalam pelayanan kesehatan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks inilah rasionalitas sesungguhnya yang menjadi salah satu alasan sangat penting dilakukannya pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I yang dimungkinkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, termasuk dalam hal ini untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan dan rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU 35/2009 (vide keterangan Presiden bertanggal 22 Juni 2021, hlm. 17).
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, sesungguhnya kebutuhan akan adanya kepastian dapat atau tidaknya jenis Narkotika Golongan I digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi sudah sejak lama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya fakta hukum dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 yang sudah mencantumkan “larangan secara tegas penggunaan jenis Narkotika Golongan I untuk terapi”. Dengan kata lain, sesungguhnya “fenomena” perihal kebutuhan terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat dimanfaatkan guna keperluan terapi sudah muncul sejak sebelum UU 35/2009 diundangkan. Dengan demikian, melalui Putusan a quo, Mahkamah perlu menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti Putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud. Sebab, penyerahan kewenangan oleh Mahkamah kepada pembentuk undang-undang didasarkan karena UU 35/2009 a quo tidak hanya mengatur tentang penggolongan jenis narkotika akan tetapi termasuk di dalamnya juga mengatur tentang sanksi-sanksi pidana. Oleh karena terhadap undang-undang yang di dalamnya memuat substansi hal-hal yang berkenaan dengan pemidanaan (kriminalisasi/dekriminalisasi), Mahkamah dalam beberapa putusannya telah berpendirian hal-hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy). Sehingga, terhadap UU 35/2009 inipun oleh karena di samping mengatur tentang pemanfaatan narkotika yang diperlukan pengaturan yang sangat rigid dan secara substansial narkotika adalah persoalan yang sangat sensitif, serta karena alasan UU 35/2009 memuat sanksi-sanksi pidana, maka cukup beralasan apabila pengaturan norma-normanya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya.
[3.13.3] Bahwa terhadap hasil pengkajian dan penelitian apabila ternyata jenis Narkotika Golongan I dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi dan diperlukannya peraturan-peraturan pelaksana, maka pemerintah bersama-sama dengan para pemangku kepentingan harus mengatur secara detail tentang antisipasi kemungkinan adanya penyalahgunaan jenis Narkotika Golongan I. Oleh karena itu, melalui Putusan a quo Mahkamah juga mengingatkan agar pembentuk undang-undang, termasuk pembuat peraturan pelaksana harus benar-benar cermat dan hati-hati dalam mengantisipasi hal-hal tersebut, mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus menerus.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan telah ternyata ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum berkaitan dengan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, ketentuan tersebut juga telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalill permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 yang menurut para Pemohon telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berupa manfaat kesehatan dari jenis Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa dalam menilai inkonstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 sebagaimana didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, berkaitan dengan penilaian konstitusionalitas keberlakuan norma Pasal a quo tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 yang telah dipertimbangkan sebelumnya oleh Mahkamah. Adapun ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 masing-masing selengkapnya sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009:
“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘Narkotika Golongan I’ adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”
Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009:
“Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan”
[3.15.2] Bahwa oleh karena ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 esensinya adalah menegaskan tentang larangan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan, sementara itu Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 menegaskan tentang pembatasan pemanfaatan narkotika hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan larangan penggunaan atau pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk terapi. Dengan demikian, oleh karena di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009, Mahkamah telah berpendirian agar segera dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat atau tidaknya dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, di mana terapi juga merupakan bagian dari kesehatan maka penegasan Mahkamah tersebut berkaitan agar segera dilakukannya pengkajian dan penelitian terhadap jenis Narkotika Golongan I, yang dimungkinkan dapat dipergunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, maka hal tersebut juga berlaku di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 a quo. Sehingga, Mahkamah berpendapat pertimbangan hukum di dalam menilai konstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 dimaksud menjadi satu kesatuan dan dipergunakan dalam mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009. Dengan demikian, oleh karena Mahkamah telah berpendirian Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 adalah konstitusional maka sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 inipun harus dinyatakan konstitusional.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan telah ternyata ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia, sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, ketentuan tersebut juga telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan dalil-dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430