Krisna Murti, S.H. dan Khaeruddin, S.H., S.Sy.
Pasal 21 UU PTPK
Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Para Pemohn, Pemerintah, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.
1) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 21 UU PTPK
menyebabkan Advokat terancam kriminalisasi dan membelenggu Advokat
dalam menjalankan profesinya meskipun mempunyai niat menegakkan
hukum dan keadilan, pertimbangan Mahkamah pada sub-paragraf
[3.10.3] dengan sendirinya telah menjawab dalil ini. Sepanjang tidak
terbukti seorang Advokat secara sengaja melakukan perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 UU PTPK maka tidak terdapat
alasan apapun untuk menyatakan bahwa Pasal 21 UU PTPK
mengkriminalkan dan membelenggu Advokat dalam menjalankan
profesinya. Lagi pula, jika benar, sebagaimana dalil Pemohon, bahwa
tindakan seorang Advokat tujuannya adalah untuk menegakkan hukum
dan keadilan maka tujuan itu sendiri telah membantah dalil kriminalisasi
dan belenggu sebagaimana diutarakan Pemohon sebab hal itu telah
dengan sendirinya menunjukkan tidak adanya niat jahat (mens rea) dari
perbuatan itu. Selain itu, sebagaimana telah dipertimbangkan pada sub-
paragraf [3.10.2] di atas, Undang-Undang a quo adalah bersifat dan
berlaku umum, bukan ditujukan untuk kelompok tertentu, termasuk
Advokat.
2) Bahwa terhadap dalil Pemohon terkait dengan hak imunitas
Advokat, Mahkamah berpendapat, Pasal 21 UU PTPK tidak menghilangkan
hak imunitas Advokat. Pasal 16 Undang-Undang Advokat (Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003) yang dirujuk Pemohon sebagai landasan
dalil ini berbunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata
maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik
untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”. Kata kunci
dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada
“kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya,
secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala
unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. Sehingga, jika dihubungkan
dengan norma dalam Pasal 21 UU PTPK, seorang Advokat yang dengan
sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa yang sedang dibelanya
jelas tidak dapat dikatakan memiliki itikad baik. Oleh karena itu, tidaklah
beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan
mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma
Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak
imunitas dimaksud.
3) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketiadaan tolok
ukur dalam Pasal 21 UU PTPK dapat membuat penegak hukum bertindak
sewenang- wenang bahkan menjadikannya alat politik untuk
mengkriminalisasi Advokat, Mahkamah berpendapat oleh karena perihal
dalil tentang ketiadaan tolok ukur dalam Pasal 21 UU PTPK tersebut telah
ternyata tidak terbukti, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka
dalil Pemohon a quo dengan sendirinya menjadi kehilangan landasan
argumentasinya. Sebab, menurut Mahkamah, tolok ukur dimaksud sudah
sangat jelas yaitu adanya unsur kesengajaan (dalam Pasal 21 UU PTPK),
sehingga andaipun dihubungkan dengan keberadaan hak imunitas
Advokat, Pasal 16 UU Advokat pun telah jelas memberikan tolok ukur
bahwa hak imunitas hilang ketika tidak ada itikad baik.
4) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 21 UU PTPK
bersifat subjektif, Mahkamah berpendapat bahwa seluruh pertimbangan
sebagaimana diuraikan pada sub-paragraf [3.10.1] sampai dengan
[3.10.6] telah dengan sendirinya membantah dalil Pemohon ini. Lagipula
oleh karena Pemohon sama sekali tidak memberikan argumentasi
berkenaan dengan dalil ini maka Mahkamah tidak perlu
mempertimbangkannya lebih lanjut.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430