Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

Dewan Perwakilan Daerah yang diwakili oleh Ir. H. Aa Lanyalla Mahmud mattalitti, Dr. Nono Sampono, M.Si, Dr. H. Mahyudin, S.T., M.M. dan Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. dan Afriansyah Noor, M.Si yang memberikan kuasa kepada Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M, Ph.D, dkk, para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Indrayana Centre For Government Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil Pemohon II sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.9] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 222 UU 7/2017 yang pada pokoknya mengatur mengenai adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon II memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021);

[3.13] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:


Pasal 60 UU MK
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon II, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon II dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain: (i) Pasal 222 UU 7/2017 telah menjadikan pemilu dikontrol oleh oligarki dan penguasa modal, sehingga bukan merupakan hasil kehendak kedaulatan rakyat ataupun pilihan substantif partai politik; (ii) Pasal 222 UU 7/2017 telah menghilangkan partisipasi publik dan hanya mengakomodir kepentingan elit politik; dan (iii) Pasal 222 UU 7/2017 telah menciptakan polarisasi masyarakat. Dengan demikian menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali;

[3.14] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu apakah adanya syarat ambang batas minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. Namun faktanya, terhadap isu konstitusionalitas tersebut telah beberapa kali dimohonkan pengujian dan Mahkamah telah berulang kali pula menyatakan pendiriannya terkait adanya syarat ambang batas minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana diatur dalam norma Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon II adalah konstitusional. Pendirian Mahkamah demikian dapat dilihat dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah kemudian menguatkan kembali pendiriannya sebagaimana termuat dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, khususnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52- 59/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 18 Februari 2009 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 serta putusan-putusan berikutnya terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017. Pertimbangan hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 a quo adalah sebagai berikut:
“Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu adalah dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu, pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di DPR dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik.
Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat jumlah minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau estimasi bukan saja perihal suara yang akan mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga tentang figur-figur yang akan mengisi personalia kabinetnya, yang tentunya sudah dapat dibicarakan sejak sebelum pelaksanaan Pemilu melalui pembicaraan intensif dengan partai-partai pengusungnya, misalnya melalui semacam kontrak politik di antara mereka. Benar bahwa belum tentu partai- partai pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya tetap harus dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai peraih kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan demikian, fenomena lahirnya “sistem Presidensial rasa Parlementer” dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat direduksi.
Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong lahirnya penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah sebagai berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke arah penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang bertolak dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan akan dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun dalam program-program kampanye partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih. Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan Pemilu, rakyat pemilih akan memiliki referensi sekaligus preferensi yang sama ketika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan ketika memilih calon anggota DPR dari partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden itu sebab Pemilu akan dilaksanakan secara serentak. Artinya, rakyat pemilih telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena setuju dengan program-program yang ditawarkannya maka secara rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan mendukung tercapainya program-program tersebut yang tidak lain adalah partai-partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai politik yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut menjadi partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang secara logika politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan dalam tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pada titik itu sesungguhnya secara etika dan praktik politik partai-partai politik tersebut telah bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas politik telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun secara formal mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda namun hal itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam program-program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu pula seharusnya diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah norma Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan sistem Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di pihak lain, mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana kedua hal itu merupakan penopang utama bekerjanya sistem Presidensial dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahwa dalam praktik hingga saat ini keadaan demikian belum terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya desain konstitusional di atas melainkan terutama karena belum berjalannya fungsi-fungsi partai politik sebagai instrumen pendidikan dan komunikasi politik;”
Berkenaan dengan putusan tersebut di atas, terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra;
[3.15] Menimbang bahwa sebelum berlakunya UU 7/2017, pengaturan mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) yang di dalamnya memuat juga norma adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 UU 42/2008. Terhadap ketentuan yang mengatur adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, in casu Pasal 9 UU 42/2008 ini pun telah beberapa kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dan Mahkamah tetap pada pendiriannya bahwa ketentuan Pasal 9 UU 42/2008 adalah konstitusional. Sebangun dengan pertimbangan hukum dalam putusan-putusan lainnya sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.14] di atas, Mahkamah juga mengutip kembali seraya menguatkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan dalam beberapa putusan terkait pengujian konstitusionalitas Pasal 9 UU 42/2008, khususnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 17 Februari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 14 September 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 27 Juni 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Januari 2014, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 Maret 2014. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU- XI/2013, walaupun diajukan dengan menggunakan dasar pengujian yang berbeda dari permohonan-permohonan sebelumnya, namun pada prinsipnya isu konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah sama sehingga Mahkamah menolak permohonan a quo dengan pertimbangan selain mengutip pertimbangan hukum dalam putusan-putusan sebelumnya, juga menegaskan kembali sebagai berikut:
“[3.26] Menimbang bahwa Pasal 9 UU 42/2008 menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua pulu persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Menurut Mahkamah, Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014 maupun Putusan Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 telah menyebutkan secara tegas bahwa ketentuan a quo merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Adapun dalil-dalil Pemohon yang selebihnya terkait dengan Pasal 9 UU 42/2008 tidak relevan untuk dipertimbangkan.”
[3.16] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempelajari dalil-dalil atau argumentasi permohonan Pemohon II, Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi. Terlebih lagi, setelah membaca semua putusan Mahkamah yang berkaitan dengan isu ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, pada pokoknya Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional, sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan Presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dalam pandangan Mahkamah, pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan Presidensial, tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, namun juga dalam hubungannya dengan institusi DPR sehingga akan mendorong efektivitas proses-proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances secara proporsional. Dalam kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Indonesia serta hak konstitusional warga negara dan hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Oleh karenanya, meskipun terdapat perbedaan antara dalil permohonan Pemohon II dengan permohonan-permohonan sebelumnya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon II a quo berangkat dari isu yang sama, yaitu tentang ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mana Mahkamah telah menyampaikan pendiriannya sebagaimana telah diuraikan di atas;
[3.17] Menimbang bahwa tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya, berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra tetap pada pendiriannya sebagaimana pendapat berbeda (dissenting opinion) pada putusan-putusan sebelumnya;
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon II tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.