A. Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, Festus Manasye Asso, Yohanes G. Raubaba, dan Prilia Yustiati Uruwaya, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Nurkholis Hidayat, S.H., L.L., M. dkk, Advokat dan Konsultan hukum tergabung dalam Lokataru Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10), dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016
Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10), dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangkan permohonan a quo, oleh karena norma pasal undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon berkaitan erat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, kesemuanya diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022. Dari ketiga putusan a quo, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 sebagian substansi yang dimohonkan para Pemohon adalah sama dengan norma yang dimohonkan dalam permohonan a quo, yaitu norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016. Sekalipun Pemohon dalam Perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 tidak memohonkan pengujian norma Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, namun dalam pertimbangannya, karena keterkaitan substansi yang tidak dapat dipisahkan sama sekali, Mahkamah pun telah mempertimbangkan norma Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dimaksud. Pertimbangan Mahkamah terhadap ketiga norma a quo dapat dibaca dalam Sub-paragraf [3.14.1], Sub-paragraf [3.14.2], dan Subparagraf [3.14.3] sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa pengaturan adanya penjabat gubernur/bupati/walikota untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang pemilihannya ditunda sampai dengan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024 telah diatur dalam Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016. Berdasarkan norma a quo, maka untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023, akan diangkat penjabat gubernur/bupati/walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota berdasarkan hasil Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024. Untuk itu telah ditentukan pengisian Penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan Penjabat Bupati atau Walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama;
[3.14.2] Bahwa di era otonomi daerah saat ini, kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah sangat besar dalam mengambil keputusan pemerintahan sehingga kepala daerah memegang peran dan posisi sentral dalam memajukan daerahnya. Kepemimpinan kepala daerah dalam birokrasi memegang peran penting untuk menciptakan governance yang kuat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, keberhasilan suatu pemerintah daerah di dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Dalam doktrin universal hukum ketatanegaraan, pengisian jabatan negara merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata negara dan administrasi negara. Tanpa adanya pejabat yang mengisi jabatan, maka fungsi dari jabatan tersebut tidak dapat dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Berbagai instrumen hukum juga telah mengakomodir adanya pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kosong, mulai dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perangkat hukum tersebut juga telah diaplikasikan dalam praktik pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah selama ini. Justru dengan adanya pengisian jabatan kepala daerah yang kosong tersebut, hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik akan tetap terakomodir serta stabilitas politik dan keamanan daerah akan tetap terjaga. Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon terhadap penjabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah, Mahkamah mempertimbangkan bahwa legitimasi dalam konteks penjabat kepala daerah diturunkan dari amanat atau perintah undang-undang [vide Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016]. Oleh karena itu, meskipun secara terbatas makna legitimasi artinya memperoleh dukungan langsung dari pemilih, namun dalam perspektif yang luas, legitimasi dapat diperoleh dari undang-undang yang dibentuk oleh wakil rakyat yang merupakan representasi rakyat. Dengan demikian, dalam hal untuk mengisi penjabat kepala daerah yang merupakan keniscayaan untuk mengisi jabatan pada masa transisional dan sepanjang penjabat yang ditunjuk adalah yang memenuhi kualifikasi oleh undang-undang serta kinerjanya dapat dievaluasi oleh pejabat yang berwenang setiap waktu dan bahkan mungkin dapat dilakukan penggantian apabila dipandang tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik, maka Mahkamah berpendapat pengisian penjabat kepala daerah tersebut dapat dibenarkan;
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXX/2022, terkait dengan norma Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016, pertimbangan Mahkamah pada pokoknya adalah sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa dalam menjelaskan persoalan konstitusional norma yang didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai pasal yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang telah mengalami tiga kali perubahan, semula diatur dalam UU 1/2015 diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011), dinyatakan dalam Lampiran II ihwal “Ketentuan Peralihan” sebagaimana dimaktubkan pada angka 127 bahwa:
“Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundangundangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Artinya, sejalan dengan tujuan “Ketentuan Peralihan” tersebut, keberadaan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuju pada kebijakan hukum Pilkada serentak nasional tahun 2024 karena telah ternyata masa jabatan kepala daerah tidak berakhir pada waktu yang sama sehingga perlu desain konstitusional yang dituangkan dalam materi muatan ketentuan peralihan agar dapat menghantarkan pada tujuan yang dimaksud. Oleh karenanya, berlakunya ketentuan peralihan tidak untuk selamanya namun bersifat transisional atau sementara dan sekali saja serta dengan memberi perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak karena berlakunya kebijakan hukum pilkada serentak nasional tahun 2024. Jika masa jabatan kepala daerah tidak sampai 5 (lima) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 162 UU 10/2016 maka kepala daerah yang bersangkutan sebagai kepala daerah yang terdampak memeroleh kompensasi. Oleh karena itu pula jika masa jabatan kepala daerah tersebut pada akhirnya berkurang maka harus pula oleh ketentuan peralihan ditentukan pengaturan yang dapat menjamin tidak terjadinya kekosongan hukum.
[3.13.2] Bahwa berkenaan dengan hak konstitusional para Pemohon dalam menentukan pilihan kepala daerah sesungguhnya telah diimplementasikan pada waktu penyelenggaraan Pilkada di masing-masing daerah sejalan dengan asas-asas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Namun, tidak dilaksanakannya Pilkada berikut setelah masa jabatan kepala daerah berakhir untuk Pilkada tahun 2022 dan 2023 sesuai dengan agenda menuju kenormalan karena adanya kebijakan hukum Pilkada serentak nasional 2024, di mana hal demikian tidaklah melanggar hak konstitusional para Pemilih. Terlebih, Mahkamah telah pula menyatakan Pilkada serentak nasional adalah konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 pada Paragraf [3.18]. Oleh karena itu, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh para Pemohon dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga Pilkada serentak nasional 2024 sebagaimana dalil para Pemohon, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Hal ini disebabkan sejatinya masa jabatan kepala daerah terpilih tersebut telah berakhir. Terlebih lagi, kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023 dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Sebagai ketentuan peralihan yang sifatnya transisional atau sementara, apabila ketentuan peralihan tersebut telah dilaksanakan maka untuk Pilkada selanjutnya kembali menerapkan keseluruhan ketentuan umum penyelenggaraan Pilkada, termasuk di dalamnya penentuan masa jabatan yang kembali pada ketentuan Pasal 162 UU 10/2016, yakni 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Demikian pula halnya jika terjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan sehingga terjadi kekosongan jabatan telah pula ditentukan mekanisme normal pengisian jabatan yang kosong tersebut tidak lagi menggunakan ketentuan peralihan [vide Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, dan Pasal 176 UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016].
[3.13.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan tahun 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023 menjadi penjabat kepala daerah agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah dan penjabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan pilkada serentak 2024, sehingga hak konstitusional para Pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh kepala daerah hasil pemilihan sebelumnya. Terkait dengan dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional 2024 oleh pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur [vide Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016] dan oleh pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016] merupakan kebijakan pembentuk undangundang. Mahkamah dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Namun demikian, dalam kaitan dengan pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota, Mahkamah perlu terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), yang menentukan jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama dimaksud adalah bagian dari jabatan pimpinan tinggi yang termaktub dalam ketentuan Bab V UU 5/2014 yang mengatur mengenai jabatan ASN [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Dalam kaitan ini pula Mahkamah dapat memahami istilah yang para Pemohon gunakan dalam menguraikan alasan-alasan permohonan (posita) dengan menggunakan istilah “pejabat ASN”, padahal yang dimaksud adalah jabatan ASN. Lebih lanjut, UU 5/2014 menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014]. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian" dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri.
Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.
Berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi tersebut, UU 5/2014 juga telah menentukan fungsinya yaitu:1) memimpin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; 2) pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN [vide Pasal 19 ayat (2) UU 5/2014]. Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/walikota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, penjabat gubernur/bupati/walikota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asasasas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas yakni setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah untuk menjamin terjaganya netralitas ASN tersebut.
Bahwa dari semua hal tersebut di atas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur/bupati/walikota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik. Selain itu, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara. Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masingmasing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024.
Sementara itu, penerapan prinsip “secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dalam Sub-paragraf [3.14.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022, Mahkamah antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
[3.14] Menimbang bahwa pertimbangan hukum sebagaimana dikutip dalam Paragraf [3.13] yang pada pokoknya berasal dari pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 telah cukup jelas menjawab isu konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon dalam perkara a quo, menurut Mahkamah, para Pemohon seharusnya bisa memahami secara utuh ketiga putusan Mahkamah a quo sehingga kekhawatiran para Pemohon mengenai adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para Pemohon akibat penunjukan penjabat Kepala Daerah, tidaklah akan terjadi. Sebab, pada prinsipnya Mahkamah telah memberikan guidelines terkait mekanisme dan prosedur penunjukan Kepala Daerah yang akan dilakukan oleh Pemerintah.
[3.15] Menimbang bahwa sekalipun para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan a quo lebih dikarenakan oleh adanya kepentingan para Pemohon sebagai pemilih yang tidak dapat mengawal terselenggaranya penunjukan penjabat kepala daerah yang demokratis, tidak ada legitimasi dari masyarakat terhadap penunjukan penjabat kepala daerah, adanya potensi pembangunan daerah yang tidak berkesinambungan dan tidak efektif akibat ditunjuknya penjabat kepala daerah, adanya potensi masa jabatan penjabat kepala daerah yang menggantikan melebihi masa jabatan kepala daerah definitif, serta adanya potensi tidak mempertimbangkan kekhususan untuk penjabat kepala daerah yang ditunjuk di Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun, berdasarkan putusan-putusan Mahkamah tersebut, substansi norma Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasannya, Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 justru untuk memberikan kepastian hukum dalam hal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Maka, dalam masa peralihan, sebagaimana salah satu substansi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, menegaskan perihal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah.
[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengisian Penjabat Kepala Daerah pada masa peralihan (transisi) menuju penyelenggaraan Pilkada Serentak Nasional 2024, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, Mahkamah telah menegaskan beberapa hal mendasar yang harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengisian penjabat kepala daerah. Hal tersebut harus dituangkan Pemerintah dengan menerbitkan peraturan pelaksana sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas. Pertimbangan mendasar tersebut antara lain:
1. Penjabat kepala daerah harus memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik;
2. Penjabat yang ditunjuk memenuhi kualifikasi dan syarat yang ditentukan undangundang;
3. Pejabat yang berwenang dapat mengevaluasi penjabat kepala daerah setiap waktu (terus-menerus) dan dapat dilakukan penggantian apabila tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik;
4. Pengisian penjabat tidak mengabaikan (memperhatikan) prinsip demokrasi dan pengisian berlangsung secara terbuka, transparan, dan akuntabel;
5. Penjabat kepala daerah merupakan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja untuk rakyat demi mencapai kemajuan daerah;
6. Dengan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan untuk memberi kewenangan kepada penjabat kepala daerah yang sama dengan kewenangan yang dimiliki kepala daerah definitif;
7. Penjabat kepala daerah harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masingmasing;
8. Penjabat kepala daerah harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan
9. Sebelum pengisian penjabat kepala daerah, terlebih dahulu dibuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah, sehingga mampu menjalankan visi, misi, dan RPJP daerah bersangkutan.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pengisian penjabat kepala daerah sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.16] di atas, tidak terdapat keraguan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 telah mempertimbangkan secara komprehensif konstitusionalitas ketentuan peralihan menuju Pilkada Serentak Secara Nasional Tahun 2024. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.
[3.18] Menimbang bahwa sebelum sampai pada kesimpulan, Mahkamah perlu mempertimbangkan bagian Petitum permohonan a quo. Ihwal ini, para Pemohon dalam Petitum angka 2 memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan: frasa “diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024” dalam Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Begitu pula dalam Petitum angka 3, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan “Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Namun di sisi lain, berkenaan dengan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, pada Petitum angka 5 para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa “diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024” dalam Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 konstitutional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai:
a. diangkat melalui mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang demokratis yang diatur kembali dalam UU atau Perppu;
b. Calon Penjabat Kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan yang paling tinggi dari masyarakat;
c. Penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota merupakan Orang Asli Papua untuk Pejabat Kepala Daerah di Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Papua dan Papua Barat;
d. Melalui proses penilaian yang mempertimbangkan usulan dan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, DPRD, Lembaga Masyarakat Hukum Adat, dan tokoh agama;
e. Ada ketentuan yang jelas yang mengatur persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk;
f. Dapat memperpanjang masa jabatan kepala Daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada tahun 2022 dan 2023; dan
g. Independen dan bukan merupakan merepresentasikan kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat.
Dalam batas penalaran yang wajar, konstruksi perumusan petitum demikian, dapat dikatakan sebagai permohonan (petitum) yang saling bertentangan. Karena, di satu sisi para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menyatakan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945, sementara di sisi lain para Pemohon menghendaki Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Petitum demikian hanya dapat dibenarkan jika dibuat atau diformulasikan secara alternatif. Tidak hanya terhadap Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, petitum yang saling bertentangan juga terjadi dalam permohonan terhadap Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016. Dengan penyusunan petitum demikian, permohonan tidak memenuhi syarat formil permohonan.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil sehingga permohonan a quo harus dinyatakan kabur. Andaipun permohonan tidak kabur, quod non, berdasarkan pertimbangan pada Paragraf [3.13] sampai dengan Paragraf [3.17] telah ternyata norma Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasannya, Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, sehingga permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430