Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Di Tolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 19/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 07-07-2022

Dr. Ir. Priyanto, S.H., M.H., M.M., C.L.A., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7 ayat (3) UU Pajak Penghasilan beserta Penjelasan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 3 UU 7/2021;

Pasal 17 ayat (2) UU Pajak Penghasilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka 7 UU 7/2021;

Pasal 4A ayat (2) huruf b UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 beserta Penjelasannya;

Pasal 4A ayat (3) huruf a UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 beserta Penjelasannya;

Pasal 4A ayat (3) huruf b UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 beserta Penjelasannya;

Pasal 4A ayat (3) huruf g UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021 beserta Penjelasannya;
Pasal 7 ayat (1) UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dalam Pasal 4 angka 2 UU 7/2021;

Pasal 7 ayat (4) UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dalam Pasal 4 angka 2 UU 7/2021;

Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 6 UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta Penjelasannya dalam Pasal 4 angka 6 UU 7/2021;

Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dalam Bab V Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak UU 7/2021;

Pasal 13 ayat (4) UU 7/2021

Pasal 13 ayat (10), ayat (11), dan ayat (15) UU 7/2021 beserta Penjelasan;
• Pasal 4 ayat (2) UU Cukai beserta Penjelasan Pasal 14 angka 1 UU 7/2021;

Pasal 40B ayat (3) UU Cukai sebagaimana dimuat dalam Pasal 14 angka 2 UU 7/2021;

Pasal 64 ayat (1) UU Cukai sebagaimana dimuat dalam Pasal 14 angka 3 UU 7/2021.

Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian pasal-pasal a quo UU 7/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangkan substansi pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 4A ayat (2) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf g sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 4 angka 2, Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 6 beserta Penjelasannya dalam Pasal 4 angka 6, Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dalam Bab V Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, kata “dapat” dalam Pasal 40B ayat (3) dalam Pasal 14 angka 2 dan kata “dapat” dalam Pasal 64 ayat (1) dalam Pasal 14 angka 3 UU 7/2021 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
[3.11.1] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama alasan-alasan permohonan Pemohon terkait pasal-pasal sebagaimana disebutkan dalam Paragraf [3.11] di atas, menurut Mahkamah, dalam permohonannya, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan argumentasi bagaimana pertentangan antara pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga tidak menguraikan mengenai kaitan antara kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkontitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan adanya potensi kerugian dalam kasus konkret yang nantinya berpotensi akan dialami oleh Pemohon dan juga mengarahkan Mahkamah untuk merumuskan norma baru (positive legislature) dengan menyatakan pasal yang telah dihapus dalam UU a quo untuk dihidupkan kembali dengan meminta untuk menambahkan pemaknaan sebagaimana telah Pemohon uraikan dalam petitum permohonan a quo.
Terlebih lagi, argumentasi Pemohon justru belum menggambarkan secara utuh dan jelas adanya pertentangan norma antara pasal yang diuji dengan UUD 1945, khususnya terkait dengan diberlakukannya PPN bagi jasa pendidikan, kebutuhan pokok, jasa medis dan jasa pelayanan sosial, pengampunan pajak dan cukai yang menurut Pemohon telah menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Di samping itu, menurut Mahkamah uraian tersebut juga tidak didukung oleh alat bukti yang cukup dan relevan yang mendukung permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UU MK.
Padahal, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 8 Maret 2022 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan menguraikan argumentasi kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukum serta memperjelas argumentasi dalam pokok permohonan terkait dengan mengapa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945, akan tetapi permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 8 Maret 2022].
[3.11.2] Menimbang bahwa dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang memohon agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga meminta kepada Mahkamah agar beberapa pasal a quo yang telah dihapus untuk kembali dinyatakan memiliki kekuatan hukum mengikat serta menambahkan frasa yang dibuat oleh Pemohon sendiri seperti apa yang diuraikan Pemohon dalam petitum angka 5 berkenaan dengan Pasal 4A ayat (2) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf a sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf g sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya dalam UU 7/2021. Hal demikian menurut Mahkamah lebih tepat jika dijadikan alasan untuk mengajukan usul legislative review kepada pembentuk undang-undang dan bukan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
[3.11.3] Menimbang bahwa oleh karena ketidakjelasan dimaksud, menurut Mahkamah permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 4A ayat (2) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf a sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf b sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 4A ayat (3) huruf g sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 angka 1 beserta Penjelasannya, Pasal 7 ayat (1) dalam Pasal 4 angka 2, Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 6 beserta Penjelasannya dalam Pasal 4 angka 6, Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dalam BAB V PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA WAJIB PAJAK, kata “dapat” dalam Pasal 40B ayat (3) dalam Pasal 14 angka 2 dan kata “dapat” dalam Pasal 64 ayat (1) dalam Pasal 14 angka 3 UU 7/2021 adalah menjadi tidak jelas atau kabur.
[3.12] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 3 angka 3 beserta Penjelasannya, Pasal 17 ayat (2) dalam Pasal 3 angka 7, Pasal 7 ayat (4) dalam Pasal 4 angka 2 beserta Penjelasannya, Pasal 13 ayat (4), Pasal 13 ayat (10) beserta Penjelasannya, Pasal 13 ayat (11) beserta Penjelasannya, Pasal 13 ayat (15) beserta Penjelasannya dan Pasal 4 ayat (2) dalam Pasal 14 angka 1 beserta Penjelasannya dalam UU 7/2021 yang menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 oleh karena tidak melibatkan atau mengikutsertakan DPD dalam berbagai proses pembentukan peraturan perundangan di bawah undang-undang yang terkait dengan pajak serta mengesampingkan fungsi, tugas dan peranan DPD dalam hal memberikan pertimbangan dan pengawasan di bidang perpajakan sehingga melanggar ketentuan Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap hal-hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terkait dalil a quo, persoalan konstitusionalitas yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah dengan tidak dilibatkannya DPD dalam proses pembentukan peraturan di bawah undang-undang terkait dengan pajak telah mengesampingkan fungsi, tugas, dan peranan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
[3.12.2] Bahwa terkait dengan persoalan tersebut Mahkamah perlu kembali menegaskan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 27 Maret 2013, yang pada pokoknya menyatakan bahwa DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, dalam pertimbangan tersebut, Mahkamah juga menegaskan bahwa DPD memiliki hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana telah diatur Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Begitupun dalam penyusunan prolegnas, keterlibatan DPD dalam penyusunan prolegnas juga semakin menegaskan bahwa DPD juga memiliki hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR.
Hal utama yang menurut Mahkamah penting untuk kembali ditegaskan terkait dengan persoalan konstitusionalitas dalam permohonan a quo adalah bahwa DPD sudah diberikan hak untuk memberikan pertimbangan dalam pembahasan atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, namun makna memberikan pertimbangan tersebut tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Hal terpenting menurut Mahkamah adalah bahwa adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, Pendidikan dan agama. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dalam Sub-paragraf [3.18.5], sehingga dengan demikian keikutsertaan dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang terkait dengan pajak bukanlah menjadi bagian dari kewenangan DPD untuk ikut membahasnya.
[3.12.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, secara konstitusional DPD hanya diberi hak untuk memberikan pertimbangan dalam membahas rancangan UU APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Sementara itu, keterlibatan DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang berkenaan dengan pajak telah dibatasi secara eksplisit hanya sebatas konsultasi [vide Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 3 angka 3 dan Pasal 13 ayat (10) UU 7/2021]. Hal utama yang harus juga ditegaskan oleh Mahkamah terkait dalil Pemohon a quo adalah bahwa DPD tetap dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang terkait dengan pajak yang hasil pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Hal tersebut telah sejalan dengan Pasal 22D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, dalil Pemohon tentang UU 7/2021 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak melibatkan atau mengikutsertakan DPD dalam berbagai proses pembentukan peraturan perundangan di bawah undang-undang yang terkait dengan pajak serta mengesampingkan fungsi, tugas, dan peranan DPD dalam hal memberikan pertimbangan dan pengawasan di bidang perpajakan adalah tidak bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.