Muhammad Busyro Muqoddas; Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum; Yati Dahlia; Dwi Putri Cahyawati; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diwakili oleh Rukka Sombolinggi; dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili oleh Zenzi Suhadi dan M.Ishlah, yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Ahmad Fauzi, S.H., Alif Fauzi Nurwidiastomo, S.H., Aprillia Lisa Tengker, S.H., dkk, yang merupakan para Advokat dan Pembela Hukum Publik yang tergabung dalam Tim Advokasi UU IKN, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon
-
-
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian formil UU IKN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan:
“Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang 41 perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;”
2. Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan:
“Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.”
3. Bahwa berkenaan dengan hal di atas, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022, pada Paragraf [3.3] angka 3 sampai dengan angka 5 yang menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:
“3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUVII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;
4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/ AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUUXX/2022;
5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak Undang-Undang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas”.
4. Bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan pada angka 3 terdapat dua peristilahan terkait dengan waktu pengajuan 45 (empat puluh lima) hari pengujian formil yaitu “setelah” dan “sejak” suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
5. Bahwa berkenaan dengan pengajuan permohonan pengujian secara formil yang diajukan “sejak” undang-undang yang dimohonkan pengujian formil diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia menurut Mahkamah untuk memberikan kepastian hukum dalam mengajukan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945. Apabila pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan “setelah” diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dapat atau berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, meskipun makna “setelah” dapat ditafsirkan sebagai sesaat setelah undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, namun dapat pula ditafsirkan setelah beberapa waktu kemudian. Hal demikian berbeda dengan makna “sejak” yang bersifat lebih pasti dan konkret yaitu penghitungan berlaku sejak saat undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 hari “sejak” undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022;
6. Bahwa dalam Perkara a quo, para Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU 3/2022 ke Mahkamah Konstitusi pada 1 April 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 49/PUU/PAN.MK/ AP3/04/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 7 April 2022 dengan Nomor 54/PUU-XX/2022. Sementara itu, 43 UU 3/2022 diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, maka dengan demikian permohonan para Pemohon diajukan pada hari ke 46 (empat puluh enam) sejak UU 3/2022 diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766;
7. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena itu permohonan para Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 3/2022 terhadap UUD 1945 diajukan telah melewati tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak UU 3/2022 diundangkan. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi.
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil para Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil para Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430