Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

H Damai Hari Lubis, S.H., M.H., (pengacara dan aktivis organisasi kemanusian) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Arvid Martdwisaktyo, S.H., M. Kn, dkk. yang merupakan advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Aliansi Anak Bangsa, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian aspek formil dalam proses pembentukan UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.4] Menimbang bahwa meskipun permohonan a quo menjadi kewenangan Mahkamah dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan dalam pengujian formil, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.4.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 9 Mei 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 11 Mei 2022.
Bahwa setelah mempelajari secara saksama perbaikan permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Berkenaan dengan syarat permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK menyatakan:
Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian;
b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan
c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci.
Terhadap hal tersebut, selanjutnya Pasal 10 ayat (2) huruf b PMK 2/2021 menyatakan:
Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
b. uraian yang jelas mengenai:
1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan;
2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan
3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945.
2. Pemohon pada bagian kedudukan hukum tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU 3/2022. Uraian pada bagian kedudukan hukum hanya menjelaskan mengenai kerugian Pemohon sebagai advokat yang memiliki hak untuk melakukan kontrol/monitoring atas setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dengan berpindahnya ibu kota negara yang letak geografisnya sangat jauh dari kehidupan masyarakat perkotaan yang modern sangat dimungkinkan sulitnya mengakses informasi. Oleh karenanya segala kebijakan yang akan diambil dalam mengelola pemerintahan nantinya tidak bersifat terbuka. Kerugian demikian menurut Mahkamah tidaklah relevan dijadikan alasan dalam kaitannya dengan proses pembentukan sebuah undang-undang dalam menjelaskan kedudukan hukumnya. Oleh karena uraian tersebut tidak menjelaskan adanya keterkaitan mengenai kerugian pembentukan undang-undang a quo dengan anggapan kerugian Pemohon baik secara aktual maupun potensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon.
3. Pada bagian alasan permohonan (posita), Pemohon tidak menguraikan mengenai di mana letak persoalan konstitusionalitas proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah argumentasi yang bersifat umum, yaitu hanya menyebutkan hal-hal yang bersifat pokok tanpa menguraikan secara rinci alasan pertentangannya dengan UUD 1945. Antara lain, misalnya, argumentasi berkenaan dengan pembahasan rancangan UU 3/2022 yang terlalu cepat karena hanya butuh waktu 42 hari, Pemohon di dalam positanya tidak menguraikan lebih lanjut mengenai pada pembahasan tingkat mana yang dianggap cepat dan bagaimana proses yang sudah dilakukan dalam tahapan pembahasan UU 3/2022, sehingga menyimpulkan pembahasan rancangan undang-undang a quo cepat. Kemudian berkenaan dengan argumentasi adanya 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana UU 3/2022 yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang, Pemohon di dalam positanya juga tidak menyebutkan pasal-pasal mana saja dalam UU 3/2022 yang merupakan perintah pendelegasian yang seharusnya dimuat dalam undang-undang. Selain itu, berkenaan dengan argumentasi minimnya partisipasi masyarakat, Pemohon juga tidak menguraikan lebih lanjut mengenai uraian pihak-pihak yang telah didengar pendapatnya sehingga menyimpulkan bahwa pembentukan rancangan undang-undang a quo minim partisipatif, sehingga menurut Mahkamah, posita yang demikian menjadi tidak relevan bagi Mahkamah untuk menilainya.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum dan pokok permohonan. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur).
[3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.