Desy Puspita Sari , dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu para Advokat pada Lembaga Advokasi & Bantuan Hukum Riau (LABH-R).
Pasal 59 ayat (7) sepanjang frasa “demi hukum”, Pasal 86 ayat (1) huruf b
sepanjang frasa “moral dan kesusilaan” dan Pasal 86 ayat (1) huruf c
sepanjang frasa ”perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama” UU Ketenagakerjaan.
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
Kuasa Hukum Pemohon, Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI.
1) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan
frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003 bertentangan
dengan UUD 1945 karena tidak memberi kepastian hukum, Mahkamah
berpendapat bahwa makna “demi hukum” yang terkandung dalam Pasal
59 ayat (7) UU 13/2003, sesungguhnya telah jelas dan tegas karena
berkait dengan norma yang tertuang dalam ayat-ayat sebelumnya dari
Pasal 59 UU 13/2003, yang rumusan lengkapnya telah dikutip pada
paragraf [3.5] di atas, yaitu bahwa:
Pertama, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak boleh dibuat atau
diberlakukan untuk semua jenis pekerjaan melainkan hanya untuk
pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu;
Kedua, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak boleh diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap;
Ketiga, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu boleh diperpanjang atau
diperbaharui;
Keempat, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh diadakan untuk
jangka waktu paling lama dua tahun dan meskipun dapat diperpanjang
namun perpanjangan itu hanya boleh dilakukan satu kali untuk waktu
paling lama satu tahun;
Kelima, apabila pengusaha bermaksud memperpanjang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu tersebut, maksud itu harus sudah diberitahukan kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan paling lambat tujuh hari sebelum waktu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu itu berakhir;
Keenam, terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu meskipun dapat
diadakan atau dilakukan pembaharuan namun pembaharuan itu hanya
dapat diadakan atau dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu
tiga puluh hari berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang lama, di
mana pembaharuan tersebut hanya boleh dilakukan satu kali dan paling
lama dua tahun;
Ketujuh, apabila keempat persyaratan atau keadaan sebagaimana
disebutkan di atas tidak terpenuhi maka, menurut Pasal 59 ayat (7) UU
13/2003, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu itu, demi hukum, menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
2) Dengan demikian, telah terang bahwa tidak terdapat alasan apa pun
untuk menyatakan bahwa norma hukum yang termuat dalam Pasal 59
ayat (7) UU 13/2003 tersebut tidak memberikan kepastian hukum.
Sebaliknya, justru dengan adanya frasa “demi hukum” itu norma a quo
tegas menjamin kepastian hukum. Dengan kata lain, dengan frasa “demi
hukum” (by law atau ipso jure) tersebut, Undang-Undang a quo
memerintahkan bahwa apabila terdapat suatu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu tidak memenuhi syaat sebagaimana dikemukakan di atas maka
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut menjadi Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu. Hal itu bahkan diakui dan disadari oleh Pemohon sendiri
sebagaimana tertuang dalam posita permohonannya dengan menyatakan,
“Bahwa ketika undang-undang telah menyatakan secara tegas perubahan
status seorang pekerja, yakni tersurat dalam frasa ‘demi hukum’, maka
tidak ada alasan hukum apa pun lagi untuk tidak melaksanakannya,
sehingga tidak lagi terjadi perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu
yang tidak berujung”
3) Dengan rumusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 59 ayat (7) UU
13/2003 tersebut tidak ada satu celah pun yang memberi kemungkinan
untuk ditafsirkan berbeda selain sebagaimana yang telah secara tegas
dan jelas dirumuskan dalam norma a quo. Adanya fakta bahwa dalam
praktik terjadi pelanggaran terhadap norma dimaksud, sebagaimana
dikatakan dialami oleh Pemohon, hal itu bukanlah disebabkan oleh
inkonstitusionalnya Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003. Oleh karena itu, jika
Pemohon menganggap telah terjadi pelanggaran terhadap norma
dimaksud, upaya hukum yang dapat ditempuh adalah dengan mempersoalkannya kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang a quo dan bukan ke Mahkamah Konstitusi.
4) Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “moral dan
kesusilaan” dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b dan frasa “perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”dalam
Pasal 86 ayat (1) huruf c UU 13/2003 bertentangan dengan UUD 1945,
Mahkamah berpendapat bahwa norma Undang-Undang a quo justru
menegaskan perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh. Oleh karena
itu sungguh ganjil dan tidak dapat diterima oleh nalar kalau norma a quo,
yang hendak memberikan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh,
justru didalilkan bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, secara a
contrario, dengan mendalilkan norma yang termuat dalam Pasal 86 ayat
(1) huruf b dan huruf c bertentangan dengan UUD 1945 berarti Pemohon
tidak menghendaki adanya perlindungan atas hak-hak dimaksud. Padahal,
hak-hak tersebut, khususnya hak atas perlindungan moral dan kesusilaan
serta hak atas perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama, justru merupakan hak-hak mendasar
yang harus dilindungi bukan hanya dalam konteks hubungan kerja tetapi
dalam seluruh aspek kehidupansehari-hari. Adanya peristiwa konkrit
berupa dugaan pelecehan seksual yang dialami Pemohon, jika benar
terjadi, adalah bukti pelanggaran terhadap hak-hak tersebut bukan bukti
inkonstitusionalnya norma Undang-Undang a quo. Tidak adanya sanksi
yang dijatuhkan terhadap pelaku yang diduga melakukan pelecehan
seksual, sebagaimana didalilkan Pemohon, adalah persoalan penerapan
norma undang-undang yang sepenuhnya merupakan kewenangan aparat
penegak hukum karena telah menyangkut persoalan pidana.
5) Bahwa persoalan efektivitas norma undang-undang harus dibedakan
dengan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang. Tidak
efektifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma
undang-undang itu bertentangan dengan Konstitusi. Dalam konteks
permohonan a quo, jika Pemohon berpendapat bahwa norma undang-
undang yang dimohonkan pengujian tidak efektif karena tidak adanya
sanksi, baik pidana maupun administratif, hal itu merupakan kewenangan
penuh pembentuk undang-undang untuk menilainya. Terkait hal ini
Mahkamah tidak berwenang merumuskan atau menambahkan sanksi
tertentu terhadap suatu norma undang-undang yang diuji
konstitusionalitasnya, sebagaimana dimohonkan Pemohon dalam petitum
permohonannya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430