Almizan Ulfa, S.E., M.Sc., Santi Lisana, S.E., MBA, Drs. DB Ali Syarief dan Ir. Petir Amri Wirabumu., MM., untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.
Pasal 222 dan Pasal 223 UU Pemilu
Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 194 dan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 dan Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi berikutnya telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pecalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
[3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki hak kerugian konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.”
[3.6.2] Bahwa selanjutnya, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang 96 memiliki hak untuk memilih dalam Pemilu atas berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-XX/2022, bertanggal 29 Maret 2022 dan Putusan-Putusan Mahkamah berikutnya telah mempertimbangkan sebagai berikut:
“ [3.6.5.2]…, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019 dimana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu, terkait anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon karena terhambatnya haknya untuk memilih (right to vote) kandidat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki lebih banyak pilihan, menurut Mahkamah, Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain para Pemohon tidak memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara norma a quo dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon untuk memilih (right to vote)”
[3.6.3] Bahwa berkenaan dengan adanya anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017 yang disebabkan oleh ketidakpahaman dan ketidakmengertian para Pemohon akibat kurangnya sosialisasi tentang hasil Pemilu anggota DPR 2014 akan digunakan untuk memenuhi persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden 2019, menurut Mahkamah hal demikian bukanlah merupakan permasalahan konstitusionalitas norma namun lebih merupakan permasalahan implementasi atas norma a quo yang sebagaimana diakui sendiri oleh para Pemohon, seringkali dipengaruhi oleh suasana kebatinan serta dinamika sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017;
[3.6.4] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.1] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sedangkan, dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya;
[3.7] Menimbang bahwa terhadap pengujian norma Pasal 223 UU 7/2017, sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam mengajukan permohonan dalam pengujian norma Pasal 223 UU 7/2017 dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.7.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada Kamis, 14 April 2022 dan dalam persidangan tersebut Majelis Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang di antaranya berkaitan dengan bagian perihal Permohonan, Posita, dan Petitum Permohonan. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum acara, para Pemohon diberi waktu 14 (empat belas) hari untuk memperbaiki permohonan a quo (vide risalah Sidang Perkara Nomor 42/PUU-XX/2022 tanggal 14 April 2022). Terhadap nasihat Majelis Hakim Panel tersebut, para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 28 April 2022 yang kemudian pada 9 Mei 2022 dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan;
[3.7.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama perbaikan permohonan para Pemohon, telah ternyata para Pemohon dalam bagian perihal Permohonan menyebutkan pengujian Pasal 222 dan Pasal 223 UU 7/2017, kemudian pada uraian kedudukan hukum para Pemohon menguraikan kerugian konstitusional para Pemohon atas berlakunya Pasal 222, Pasal 223 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017, selanjutnya pada bagian alasan pengajuan permohonan (Posita), para Pemohon menyebutkan pokok permasalahan yang dilakukan pengujiannya adalah terhadap Pasal 222 dan Pasal 223 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 7/2017 [vide Perbaikan Permohonan para Pemohon angka 40 halaman 26], namun uraian keseluruhan terkait dengan pengujian Pasal 223 a quo hanya berisikan uraian terkait dengan alasan pengujian terhadap Pasal 223 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017 saja;
[3.7.3] Bahwa selain ketidakkonsistenan sebagaimana dijelaskan di atas, pada bagian Petitum Permohonan angka 3, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 223 sepanjang frasa “sesuai mekanisme internal partai politik yang bersangkutan” dan frasa “sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon tidak menyebutkan secara rinci pada bagian mana (ayat berapa) dari Pasal 223 a quo yang dimintakan pembatalannya, hal demikian menjadikan apa yang dimintakan oleh para Pemohon menjadi tidak jelas dikarenakan ketentuan Pasal 223 a quo terdiri dari 4 (empat) ayat;
[3.7.4] Bahwa para Pemohon juga dalam Petitum angka 4 meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 sepanjang frasa “cukup jelas” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam permohonan tersebut, para Pemohon tidak menguraikan alasanalasan permohonan untuk membatalkan ketentuan Penjelasan Pasal 223 a quo. Terhadap permohonan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, fungsi dari Penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menerangkan bahwa Penjelasan dari suatu pasal atau ayat dalam undang-undang merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksudnya. Dituliskannya frasa “Cukup jelas” dalam Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 karena pembentuk undang-undang menganggap rumusan Pasal 223 a quo sudah cukup jelas atau tidak memerlukan penjelasan lagi baik terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan kata maupun istilah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 223 a quo. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon yang meminta pembatalan terhadap Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 yang oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dinyatakan telah cukup jelas tanpa disertai dengan argumentasi mengapa frasa tersebut dimintakan bertentangan dengan UUD 1945, hal demikian menurut Mahkamah adalah permohonan yang tidak jelas atau kabur, terlebih lagi terhadap permohonan para Pemohon tersebut Majelis Hakim Panel telah memberikan nasihat namun para Pemohon tetap pada pendiriannya;
[3.7.5] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 223 UU 7/2017 adalah kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan;
[3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan permohonan para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 223 adalah kabur atau tidak jelas; [3.9] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sepanjang pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dan permohonan para Pemohon tidak jelas atau kabur sepanjang pengujian Pasal 223 UU 7/2017, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan;
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430