Sindi Enjelita Sitorus dan Hesti Br. Ginting, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.
Pasal 7 UU 23/2004
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 UU 23/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.3.5] Bahwa Mahkamah melihat adanya kerancuan pada bagian petitum yang bersifat kumulatif dan saling bertentangan, karena pada petitum angka 2 para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 UU 23/2004 bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan pada petitum angka 3 memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 UU 23/2004 sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang frasa “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang” diubah menjadi “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, dengan memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan psikis: umpatan, penghinaan, pelabelan negatif, atau sikap dan gaya tubuh yang merendahkan, membatasi, atau mengontrol korban agar memenuhi tuntutan pelaku”. Menurut Mahkamah, Petitum demikian justru menyulitkan bagi Mahkamah untuk memahami apa sesungguhnya yang diinginkan oleh para Pemohon. Sebab, pada satu sisi para Pemohon memohon agar Pasal 7 UU 23/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun pada sisi lain meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan terhadap Pasal 7 UU 23/2004 secara bersyarat (conditionally constitutional). Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan, kecuali para Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif;
Terlebih lagi, berkenaan dengan permohonan a quo, para Pemohon juga tidak melampirkan bukti salinan undang-undang yang dimohonkan pengujian dan salinan UUD 1945, padahal berdasarkan Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 12 ayat (5) PMK 2/2021 bahwa alat bukti yang diajukan terdiri atas sekurang-kurangnya: a. salinan undang-undang atau Perppu, setidak-tidaknya bagian atau bab yang dimohonkan pengujian termasuk halaman depan dan halaman yang memuat tanggal pengundangan dari salinan undang-undang atau Perppu; b. salinan UUD 1945;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka permohonan a quo tidak jelas (kabur).
[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon, namun oleh karena permohonan para Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430