Resume Putusan MK - Menyatakan Menolak, Tidak Dapat Diterima


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-resume.phtml on line 66
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-04-2022

Endang Kusnandar, Asyriqin Syarif Wahadi, Kahono Wibowo, Mohamad Abdurrahman, Yusran, Pipit Haryanti, S. EI., dan Rusmanto, yang memberikan kuasa kepada Deny Syahrial Simorangkir, S.H., M.H., dkk., para advokat pada Kantor LBH Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia (LPM RI) untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 25, Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 48 UU 6/2014

Pasal 18 ayat (2), 18 ayat (6), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 25, Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 48 UU 6/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas maka dengan bersandar pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK dimaksud;

[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan halhal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa UU 6/2014 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) yang menyatukan pengaturan desa dengan pemerintahan daerah. Untuk menguatkan keberadaan desa dan sejalan dengan maksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, maka desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, perlu diatur dalam undang-undang tersendiri. Adanya pengaturan tersebut akan memberikan landasan yang kuat terhadap keberadaan desa termasuk desa adat karena selama ini kesatuan masyarakat hukum adat menjadi bagian dari wilayah desa, sehingga tidak dapat secara maksimal melaksanakan hak-hak asal usulnya, terutama terkait dengan pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Dengan dipertegasnya keberadaan desa adat maka untuk pengaturan pengangkatan kepala desa dan masa jabatannya ditentukan sendiri oleh masyarakat desa adat. Hal inilah yang membedakan antara penyelenggaraan pemerintahan desa adat dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Walaupun antara desa dan desa adat melakukan tugas yang hampir sama, namun untuk pengaturan mengenai pengangkatan dan masa jabatan kepala desa dilakukan sesuai dengan UU 6/2014 [vide Bab V tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Penjelasan Umum, dan Pasal 109 UU 6/2014].
[3.11.2] Bahwa salah satu tujuan dibentuknya UU 6/2014 adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa. Adanya pengakuan dan penghormatan tersebut harus dilandasi oleh asas keberagaman sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, UU 6/2014 memberikan penekanan yang kuat terhadap keberagaman dengan menyatakan “desa atau yang disebut dengan nama lain”. Oleh karena itu, dalam Pasal 6 UU 6/2014 dinyatakan penyebutan desa atau desa adat dapat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Selanjutnya, dijelaskan dalam Pasal 6 UU 6/2014, adanya pengaturan desa dan desa adat tersebut adalah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan desa adat dalam 1 (satu) wilayah sehingga dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat desa atau desa adat.

[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 25 UU 6/2014 yang menentukan penyebutan “Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain” telah menimbulkan ketidakpastian sehingga Pemohon I sampai dengan Pemohon VI mengalami diskriminasi perlakuan akibat adanya penyebutan kepala desa, misalnya dengan sebutan Kuwu atau Petinggi sebagaimana Surat Keputusan Pengangkatannya oleh Bupati.
Terhadap dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan esensi Pasal 25 UU 6/2014 yang pada pokoknya penyebutan kepala desa pada suatu desa tidak harus “kepala desa” tetapi dapat digunakan sebutan lain sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Sebagaimana halnya juga penyebutan desa dapat digunakan dengan penyebutan nama lain. Penggunaan nama lain tersebut diakomodasi dalam UU 6/2014 sejalan dengan amanah dan semangat yang melatarbelakangi perumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga menjadi dasar pemikiran yang melandasi pembentukan UU 6/2014 bahwa:
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerahdaerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hakhak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. [vide Penjelasan Umum UU 6/2014]
Bertolak dari pemikiran tersebut, desa atau yang disebut dengan nama lain tersebut tidak datang secara tiba-tiba tetapi penyebutan tersebut sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka yang kemudian dilestarikan sebagai wujud asas rekognisi terhadap hak asal usul desa. Namun, dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia sehingga berlaku sepenuhnya UU 6/2014. Sedangkan, untuk Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa. Berkenaan dengan adanya frasa “dengan nama lain”, pilihan demikian menunjukkan fleksibilitas dalam pengaturan yang dalam praktik dapat disesuaikan dengan keberagaman dalam pengelolaan pemerintahan desa di Indonesia.
Berkenaan dengan dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang beranggapan bahwa adanya penyebutan lain dari Kepala Desa telah menimbulkan ketidakpastian dan pada faktanya sering kali menimbulkan kesulitan administrasi karena sebutan tersebut harus tertera dalam kop surat maupun stempel, di mana tidak setiap instansi memahami sebutan di luar penyebutan kepala desa yang sudah umum digunakan, menurut Mahkamah, persoalan tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari penerapan norma yang mengharuskan kepala desa atau yang disebut dengan nama lain beserta perangkatnya melakukan, misalnya sosialisasi atas sebutan lain dari kepala desa tersebut sesuai dengan Surat Keputusan pengangkatannya. Dengan kata lain, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 25 UU 6/2014.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon I sampai dengan Pemohon VI mendalilkan juga ketentuan masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun dalam norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) UUD 1945 karena adanya pembatasan masa jabatan tersebut tidak mencukupi bagi kepala desa dalam melaksanakan visi dan misinya sehingga seharusnya menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VI, masa jabatan kepala desa ditentukan sendiri oleh desa sesuai dengan adat istiadat desa.
Terhadap dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI a quo, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menjelaskan secara utuh ketentuan mengenai masa jabatan kepala desa dalam UU 6/2014. Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 menyatakan, “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan”. Selanjutnya, dalam ayat (2) menyatakan, “Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”. Sementara itu, terkait dengan Penjelasan kedua ayat tersebut pada alinea pertama menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘terhitung sejak tanggal pelantikan’ adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun”. Selanjutnya berkenaan dengan Penjelasan alinea kedua, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021, bertanggal 20 September 2021, telah dinyatakan konstitusional bersyarat yang amar putusannya menyatakan sebagai berikut:
“Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undangundang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”.
Berkaitan dengan uraian di atas, UU 6/2014 telah terang benderang menghendaki masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan apabila terpilih kembali maka yang bersangkutan dapat menduduki jabatannya hingga 3 (tiga) periode atau sama dengan maksimal 18 (delapan belas) tahun baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Hal ini yang membedakannya dengan kepala desa dari Desa Adat di mana masa jabatan kepala desanya tidak mengikuti ketentuan Pasal 39 UU 6/2014 melainkan berdasarkan ketentuan Pasal 109 UU 6/2014 yang menyatakan, “Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi”. Dalam hal ini, dijelaskan untuk pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah [vide Penjelasan Umum UU 6/2014]. Oleh karena itu, dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang menginginkan agar masa jabatan kepala desa ditentukan oleh desa itu sendiri justru akan menimbulkan tumpang tindih dengan pengaturan bagi Desa Adat di mana sepanjang memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 97 UU 6/2014, desa adat dapat mengatur sendiri masa jabatan kepala desanya yang dapat tidak mengikuti ketentuan periodesasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 UU 6/2014. Sementara, yang dimohonkan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon VI adalah masa jabatan Kepala Desa yang bukan Desa Adat di mana kepala desanya dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk desa yang memenuhi persyaratan sehingga bagi Kepala Desa tersebut berlaku periodesasi sebagaimana ketentuan Pasal 39 UU 6/2014 yang Penjelasan alinea keduanya telah diberikan pemaknaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021. Jika hal ini dihilangkan dan diatur sendiri oleh masyarakat desa, justru akan menimbulkan ketidakjelasan perbedaan antara desa dan desa adat. Oleh karenanya, persoalan ketidakcukupan waktu bagi kepala desa dalam menjalankan visi dan misinya selama periode masa jabatan 6 (enam) tahun sebagaimana dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Terlebih, jika dibandingkan dengan masa jabatan pejabat publik lain yang juga dipilih secara langsung, yakni ditentukan hanya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih lagi untuk sekali masa jabatan sehingga jika menjabat 2 (dua) kali masa jabatan menjadi maksimal 10 (sepuluh) tahun. Sementara, masa jabatan Kepala Desa dapat maksimal hingga 18 (delapan belas) tahun sehingga seharusnya Kepala Desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika yang bersangkutan terpilih kembali. Dengan demikian, persoalan stabilitas politik yang didalilkan Pemohon I sampai dengan Pemohon VI karena Kepala Desa yang telah menjabat tersebut harus berkompetisi kembali untuk masa jabatan berikutnya sesungguhnya merupakan ekspresi dari kekhawatiran Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014.

[3.14] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon VII yang mempersoalkan norma Pasal 48 UU 6/2014 yang menyeragamkan penyebutan Perangkat Desa sehingga bertentangan dengan otonomi desa dan menimbulkan multitafsir sebagaimana dijamin oleh Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena masyarakat tidak mengenal istilah Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) dan Sekretaris sebagai bagian dari perangkat desa, tetapi lebih mengenal sebutan misalnya Pamong Desa atau Modin, Bayan, Jogoboyo, Ulu-ulu, Lebe, Raksa Bumi, Juru Tulis, Carik, Kebayan, Ladu, Kamituwo, Petengan, Bekel. Oleh karena itu, menurut Pemohon VII dalam proses seleksi Perangkat Desa, banyak calon Perangkat Desa yang tidak mengetahui tugas dan kewajiban atas jabatan yang akan dilamar karena perubahan penyebutan Perangkat Desa yang tidak sesuai dengan kearifan lokal. Berkenaan dengan dalil Pemohon VII a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa esensi Pasal 48 UU a quo yang mengatur khusus mengenai Perangkat Desa yang merupakan unsur staf dengan tugas membantu kepala desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam sekretariat desa, dan unsur pendukung tugas “kepala desa” dalam pelaksanaan kebijakan yang diwadahi dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan. Oleh karena itu, unsur Perangkat Desa terdiri atas sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis. Untuk pengangkatan Perangkat Desa, “Kepala Desa” harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan camat yang bertindak atas nama Bupati/Walikota. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai Perangkat Desa bertanggung jawab kepada “Kepala Desa”.
Selanjutnya berkenaan dengan persoalan penyebutan Perangkat Desa yang menurut Pemohon VII tidak sesuai dengan kearifan lokal karena diseragamkan, sebagaimana pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.11] di atas, sesungguhnya penyebutan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain didasarkan pada hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia [vide Pasal 1 UU 6/2014]. Bahkan, untuk pengaturan perangkat desa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana yang Pemohon VII dalilkan. Hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya UU 6/2014 yang menyatakan salah satunya adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, UU 6/2014 tidak melakukan upaya penyeragaman penyebutan. Bahkan, desa dapat menggunakan sebutan lain yang didasarkan pada hak asal usul desa yang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat desa. Dengan demikian, desa dapat lebih mudah melakukan kewajibannya untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa, dan memberikan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa [vide Pasal 67 ayat (2) huruf d dan huruf e UU 6/2014]. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 48 UU 6/2014. Sementara itu, berkaitan dengan dalil Pemohon VII mengenai ketidaktahuan calon Perangkat Desa terkait tugas dan kewajiban yang akan dijabat karena adanya penyeragaman penyebutan Perangkat Desa, hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma.