Anita Natalia Manafe, S.H. yang memberikan kuasa kepada Alvin Lim, S.H., M.Sc, dkk, advokat pada Law Firm LQ Indonesia, untuk selanjutnya disebut Pemohon
Pasal 5 ayat 1 huruf (a) KUHAP
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 ayat 1 huruf (a) KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali.
[3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
[3.10.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 5 KUHAP, yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 126/PUU-XIII/2015, bertanggal 22 Maret 2016. Dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, dan Pasal 28H UUD 1945, sedangkan Pemohon dalam perkara a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 126/PUU-XIII/2015 berargumentasi Pasal 5 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena adanya penggunaan laporan yang telah dicabut/dibatalkan/tidak berlaku masih digunakan sebagai dasar bagi kepolisian untuk melakukan penyidikan, sedangkan Pemohon dalam perkara a quo berargumentasi Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena ketiadaan frasa “tidak mengadakan penghentian penyelidikan“ tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam memperjuangkan haknya untuk mendapat keadilan.
[3.10.3] Bahwa walaupun objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon a quo sama dengan Perkara Nomor 126/PUU-XIII/2015, namun perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan juga memiliki alasan yang berbeda, yaitu agar penghentian penyelidikan ditambahkan ke dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP. Oleh karena itu, dengan adanya perbedaan sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.10.2] di atas, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah penghentian penyelidikan oleh penyelidik apabila tidak ditambahkan sebagai kewenangan penyelidik yang “tidak mengadakan penghentian penyelidikan“ dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa terkait dengan isu konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas yang didalilkan dalam permohonan-permohonan sebelumnya, yaitu Permohonan Nomor 9/PUU-XVII/2019 dan Nomor 53/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, terlebih dahulu Mahkamah perlu menegaskan kembali pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 yang kemudian dikutip atau ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIX/2021, khususnya dalam Paragraf [3.14] yang pada pokoknya sebagai berikut:
[3.14] ……pada tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia) yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan.
Pertimbangan Mahkamah a quo semakin menegaskan definisi dari Penyelidikan yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”
Oleh karena itu, dengan mencermati arti sesungguhnya dari penyelidikan dapat diperoleh kesimpulan bahwa proses penyelidikan adalah suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana untuk dapat atau tidaknya ditindaklanjuti dengan penyidikan. Dengan demikian, meskipun dalam proses penyelidikan tidak dikenal secara tegas adanya penghentian penyelidikan, namun dengan adanya bagian proses penyelidikan yang memberikan kewenangan kepada penyelidik untuk menentukan serangkaian tindakan penyelidik dapat atau tidaknya ditindaklanjuti dengan proses penyidikan, hal tersebut menunjukkan bahwa penyelidik diberi kewenangan untuk membuat keputusan dapat atau tidaknya penyelidikan tersebut ditingkatkan ke dalam tahap penyidikan. Sehingga, meskipun tidak dicantumkannya penghentian penyelidikan dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, hal tersebut bukan berarti tidak ada kewenangan bagi penyelidik untuk menghentikan penyelidikan. Justru terhadap proses penyelidikan yang tidak memenuhi syarat-syarat normatif dan tidak dilakukan penghentian penyelidikan maka hal tersebut dapat menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.
[3.11.2] Bahwa adalah benar Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak mengatur mengenai penghentian penyelidikan, namun apabila kemudian terjadi tindakan penghentian penyelidikan karena peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana ternyata tidak memenuhi unsur-unsur adanya peristiwa pidana, maka hal tersebut tidak serta merta menjadi bertentangan dengan UUD 1945 khususnya kepastian hukum yang adil.
Hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di antaranya adalah menjamin adanya kepastian hukum yang adil, sehingga menurut Mahkamah, penghentian penyelidikan terhadap peristiwa yang bukan merupakan tindak pidana justru memberi kepastian hukum. Hal itu dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 khususnya Sub-paragraf [3.13.1] hlm. 22 yang menyatakan:
“… Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksudkan pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana. Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut diperlukan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya. Meskipun secara formal tentang penghentian penyelidikan tidak dikenal dalam KUHAP, namun sesungguhnya hal tersebut tidak serta-merta menjadikan laporan atau pengaduan yang telah ditindaklanjuti dengan penyelidikan tersebut tidak dapat dibuka kembali. Hal ini karena secara substansial sepanjang pada perkembangan selanjutnya apabila terhadap laporan atau pengaduan tersebut ditemukan bukti baru maka hal itu dapat menjadi alasan bahwa penyelidikan tersebut dapat dilanjutkan kembali.”
Dengan berdasarkan pertimbangan Mahkamah tersebut di atas, maka tindakan penghentian penyelidikan oleh penyelidik meskipun tidak secara tegas diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih setiap laporan adanya dugaan tindak pidana setelah dilakukan penyelidikan tidak terdapat cukup bukti untuk ditindaklanjuti ke dalam tahap penyidikan. Demikian pula terhadap proses penyelidikan yang sudah dilakukan penghentian penyelidikan tidak tertutup kemungkinan dapat dilakukan penyelidikan kembali sepanjang terhadap laporan adanya dugaan tindak pidana yang bersangkutan ditemukan alat bukti baru. Dengan demikian, penghentian penyelidikan yang tidak diatur secara khusus ke dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai Pelapor untuk mendapatkan keadilan.
Bahwa secara doktriner dan apabila dikaitkan dengan prinsip hukum administrasi negara, in casu meskipun terhadap penghentian penyelidikan tidak dikenal atau tidak diatur di dalam KUHAP, namun hal tersebut tetap memberikan diskresi (asas freies ermerssen) kepada pejabat tata usaha negara dalam hal ini adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), yaitu menggunakan kebijakannya untuk mengatur hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundangan dengan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Terlebih, terkait dengan penghentian penyelidikan, Kapolri sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, misalnya telah menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyelidikan. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai legalitas Surat Edaran Kapolri sebagaimana tersebut di atas telah ternyata di dalam Surat Edaran Kapolri tersebut telah mengatur tentang tata cara dan tahapan dalam penghentian penyelidikan.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, meskipun norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak ditambah dengan frasa “tidak mengadakan penghentian penyelidikan” sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon ternyata norma a quo telah memberikan kepastian hukum yang adil sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430