Dr. (Can.) Dewi Nadya Maharani, S.H., M.H., Suzie Alancy Firman, S.H., Moch Sidik, Rahmatulloh, S.Pd., M.Si., Mohammad Syaiful Jihad, dan Nian Syarifudin yang memberikan kuasa kepada Dr. Sulistyowwati, S.H., M.H., dkk, Para Advokat/Konsultan Hukum yang tergabung dalam Sulistyowati & Partners Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.
Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016
Pasal 1 Ayat (2), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan para Pemohon, oleh karena norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon saling berkaitan erat dan esensinya tidak berbeda yakni mengenai penunjukan penjabat dalam jabatan ASN sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya dan tidak diisi dengan kepala daerah hasil pemilihan maka Mahkamah akan mempertimbangkan secara bersamaan norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 a quo.
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan UU 10/2016 sebagai penjabaran Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”, serta pelaksanaannya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang (UU 1/2015) dan telah diubah terakhir kali dengan UU 10/2016 pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan agar dapat menguatkan kedaulatan rakyat dan demokrasi.
[3.12.2] Bahwa berdasarkan UU 1/2015, politik hukum penyelenggaraan Pilkada dilakukan secara serentak. Pelaksanaan Pilkada secara langsung yang dilakukan serentak tersebut dimaksudkan untuk mengefisienkan biaya dan waktu serta upaya meminimalkan kemungkinan potensi konflik. Oleh karena itu, pada awalnya, Pelaksanaan Pilkada serentak didesain secara bergelombang, di mana untuk pertama diselenggarakan pada 9 Desember 2015, yaitu berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015). Kemudian, berdasarkan UU 10/2016, penyelenggaraan Pilkada serentak dilanjutkan pada tahun 2017 dan tahun 2018. Tidak hanya itu, UU 10/2016 secara tegas telah mengatur, penyelenggaraan Pilkada serentak secara menyeluruh akan dilaksanakan pada tahun 2024.
[3.12.3] Bahwa jika dirunut dari perjalanan pengaturan Pilkada serentak, telah diatur sejak UU 1/2015 yang kemudian telah diubah oleh UU 8/2015, desain pengaturan pilkada serentak nasional yang dimaksud dalam UU 8/2015 adalah:
1. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir tahun 2015 dan Januari sampai dengan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015;
2. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017;
3. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018;
4. Pemungutan suara serentak kepala daerah, hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada tahun 2020;
5. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022;
6. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023; dan
7. Pemungutan suara serentak nasional Pilkada di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027 [vide. Pasal 201 UU 8/2015].
Selanjutnya, agar lebih sederhana rentang waktu penyelenggaraannya, desain keserentakan nasional yang diatur dalam UU 8/2015 ditata kembali dalam Pasal 201 UU 10/2016 sebagai berikut:
1. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015;
2. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017;
3. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022;
4. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018;
5. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023;
6. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020;
7. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024; dan
8. Pemungutan suara serentak nasional kepala daerah di seluruh wilayah Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI) dilaksanakan pada bulan November 2024 [vide Pasal 201 UU 10/2016].
[3.12.4] Bahwa berkenaan dengan ketentuan Pilkada serentak nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 telah ternyata berimplikasi pula pada penundaan pelaksanaan Pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023, sehingga masa jabatan kepala daerah yang selesai pada tahun 2022 dan 2023 tersebut harus diisi oleh penjabat yaitu orang yang secara sementara waktu menduduki jabatan gubernur/bupati/walikota, agar tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah yang akan berdampak pada ketidakberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, ditentukan pengangkatan penjabat kepala daerah di masing-masing daerah tersebut sampai dengan terpilihnya kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Pengaturan mengenai kekosongan jabatan ini sejatinya telah didesain sejak tahun 2015 melalui UU 1/2015, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 ayat (6) dan ayat (7) UU 1/2015 yang pada pokoknya menyatakan:
(6) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2016 dan tahun 2017 diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2018.
(7) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2019, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2020.
Ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pejabat yang akan diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Baru, dalam perubahan UU 1/2015 melalui UU 8/2015 yang kemudian diubah lagi melalui UU 10/2016 ditentukan kategori siapa yang dapat diangkat sebagai penjabat gubernur dan penjabat bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) yang esensinya mengatur mengenai pengisian kekosongan jabatan gubernur dengan mengangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sedangkan untuk pengisian kekosongan jabatan bupati/walikota diangkat penjabat bupati/walikota dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan gubernur/bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan dalam UU 8/2015 diatur kembali dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016.
[3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan pengangkatan penjabat kepala daerah dalam norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa dalam menjelaskan persoalan konstitusional norma yang didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai pasal yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang telah mengalami tiga kali perubahan, semula diatur dalam UU 1/2015 diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), dinyatakan dalam Lampiran II ihwal “Ketentuan Peralihan” sebagaimana dimaktubkan pada angka 127 bahwa:
“Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundangundangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Artinya, sejalan dengan tujuan “Ketentuan Peralihan” tersebut, keberadaan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuju pada kebijakan hukum Pilkada serentak nasional tahun 2024 karena telah ternyata masa jabatan kepala daerah tidak berakhir pada waktu yang sama sehingga perlu desain konstitusional yang dituangkan dalam materi muatan ketentuan peralihan agar dapat menghantarkan pada tujuan yang dimaksud. Oleh karenanya, berlakunya ketentuan peralihan tidak untuk selamanya namun bersifat transisional atau sementara dan sekali saja serta dengan memberi perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak karena berlakunya kebijakan hukum pilkada serentak nasional tahun 2024. Jika masa jabatan kepala daerah tidak sampai 5 (lima) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 162 UU 10/2016 maka kepala daerah yang bersangkutan sebagai kepala daerah yang terdampak memeroleh kompensasi. Oleh karena itu pula jika masa jabatan kepala daerah tersebut pada akhirnya berkurang maka harus pula oleh ketentuan peralihan ditentukan pengaturan yang dapat menjamin tidak terjadinya kekosongan hukum.
[3.13.2] Bahwa berkenaan dengan hak konstitusional para Pemohon dalam menentukan pilihan kepala daerah sesungguhnya telah diimplementasikan pada waktu penyelenggaraan Pilkada di masing-masing daerah sejalan dengan asasasas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Namun, tidak dilaksanakannya Pilkada berikut setelah masa jabatan kepala daerah berakhir untuk Pilkada tahun 2022 dan 2023 sesuai dengan agenda menuju kenormalan karena adanya kebijakan hukum Pilkada serentak nasional 2024, di mana hal demikian tidaklah melanggar hak konstitusional para Pemilih. Terlebih, Mahkamah telah pula menyatakan Pilkada serentak nasional adalah konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 pada Paragraf [3.18]. Oleh karena itu, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh para Pemohon dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga Pilkada serentak nasional 2024 sebagaimana dalil para Pemohon, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Hal ini disebabkan sejatinya masa jabatan kepala daerah terpilih tersebut telah berakhir. Terlebih lagi, kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023 dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Sebagai ketentuan peralihan yang sifatnya transisional atau sementara, apabila ketentuan peralihan tersebut telah dilaksanakan maka untuk Pilkada selanjutnya kembali menerapkan keseluruhan ketentuan umum penyelenggaraan Pilkada, termasuk di dalamnya penentuan masa jabatan yang kembali pada ketentuan Pasal 162 UU 10/2016, yakni 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Demikian pula halnya jika terjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan sehingga terjadi kekosongan jabatan telah pula ditentukan mekanisme normal pengisian jabatan yang kosong tersebut tidak lagi menggunakan ketentuan peralihan [vide Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, dan Pasal 176 UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016].
[3.13.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan tahun 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023 menjadi penjabat kepala daerah agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah dan penjabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan pilkada serentak 2024, sehingga hak konstitusional para Pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh kepala daerah hasil pemilihan sebelumnya. Terkait dengan dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional 2024 oleh pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur [vide Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016] dan oleh pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016] merupakan kebijakan pembentuk undang-undang. Mahkamah dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Namun demikian, dalam kaitan dengan pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota, Mahkamah perlu terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), yang menentukan jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama dimaksud adalah bagian dari jabatan pimpinan tinggi yang termaktub dalam ketentuan Bab V UU 5/2014 yang mengatur mengenai jabatan ASN [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Dalam kaitan ini pula Mahkamah dapat memahami istilah yang para Pemohon gunakan dalam menguraikan alasan-alasan permohonan (posita) dengan menggunakan istilah “pejabat ASN”, padahal yang dimaksud adalah jabatan ASN. Lebih lanjut, UU 5/2014 menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014]. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian" dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri.
Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.
Berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi tersebut, UU 5/2014 juga telah menentukan fungsinya yaitu: 1) memimpin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; 2) pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN [vide Pasal 19 ayat (2) UU 5/2014]. Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/walikota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, penjabat gubernur/bupati/walikota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asas-asas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas yakni setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah untuk menjamin terjaganya netralitas ASN tersebut.
Bahwa dari semua hal tersebut di atas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur/bupati/walikota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik. Selain itu, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara. Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Hal demikian juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.14.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, bertanggal 20 April 2022 yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.
[3.13.4] Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan para Penjabat kepala daerah yang ditunjuk menggantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang habis masa jabatannya diragukan dalam membuat rencana pembangunan daerah yakni apakah telah sesuai atau tidak dengan visi misi RPJP daerah dan juga sesuai dengan kebutuhan daerah. Menurut Mahkamah, kekhawatiran para Pemohon tersebut dapat dipahami sehingga dalam penunjukkan penjabat kepala daerah harus dipertimbangkan secara cermat bahwa penjabat dimaksud mampu menjalankan rencana pembangunan daerah yang bersangkutan sesuai dengan visi misi RPJP daerah dimaksud. Terlebih lagi, penjabat kepala daerah yang diangkat tersebut mempunyai kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kepemimpinan penjabat kepala daerah sesuai dengan ketentuan peralihan tersebut tetap berupaya mencapai agenda pembangunan di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430