Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. yang memberikan kuasa kepada Faisal Al Haq Harahap. S.H., Leon Maulana, Mirza Pasha,S.H., Hans Poliman, S.H., Ni Komang Tari Padmawati, Ramadhini Silfi Adisty, S.H., Sherly Angelina Chandra, S.H., Alya Fakhira, Asima Romanian Angelina, dan Dixon Sajaya, S.H., tim pada kantor hukum Leo & Partners,untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, permasalahan konstitusionalitas norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947.
Untuk menjawab masalah konstitusional di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa dalam konteks penegakan hukum ada tiga unsur fundamental yang menjadi titik tolak keberhasilan yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Terkait dengan kepastian hukum erat hubungan dengan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara dalam menjalankan kekuasaannya. Sementara itu berkenaan dengan keadilan adalah adanya nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban di depan hukum. Sedangkan berkaitan dengan kemanfaatan adalah terciptanya manfaat atau kegunaan yang sebesar-besarnya untuk masyarakat yang memberikan rasa tertib, tenteram, dan bahagia atas adanya kepastian hukum dan keadilan. Demikian halnya dalam perspektif putusan badan peradilan, dalam praktik, implementasi ketiga unsur tersebut acapkali masih menimbulkan persoalan sehingga diperlukan adanya upaya hukum guna mendapatkan sebuah putusan badan peradilan yang dapat memenuhi ketiga unsur tersebut di atas.
Bahwa upaya hukum (rechtsmiddel) merupakan upaya yang diberikan oleh hukum, dalam hal ini peraturan perundang-undangan, kepada seseorang dalam suatu hal tertentu untuk melakukan perlawanan terhadap putusan hakim (pengadilan). Secara doktriner dalam ilmu hukum dikenal ada dua upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah hak perlawanan yang meliputi banding atau ulangan dan kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa meliputi peninjauan kembali, kecuali undang-undang secara khusus menentukan upaya hukum secara terbatas. Upaya hukum banding atau ulangan merupakan upaya hukum biasa yang diberikan oleh undang-undang kepada para pihak yang berperkara, termasuk dalam hal ini pihak penggugat atau tergugat maupun pihak turut tergugat, di mana atas putusan hakim yang telah diputuskan oleh pengadilan, salah satu pihak atau kedua belah pihak yang merasa tidak puas dapat menggunakan upaya hukum banding. Artinya, banding merupakan salah satu instrumen upaya hukum yang disediakan bagi para pihak yang tidak menerima atau menolak putusan pengadilan pada tingkat pertama.
Lebih lanjut ketentuan mengenai upaya banding, khusus untuk wilayah Jawa dan Madura diatur dalam UU 20/1947 yang mencabut ketentuan banding yang terdapat pada Herziene Inlandsche Reglement (HIR). Sementara itu, untuk wilayah di luar Jawa dan Madura ketentuan banding diatur dalam Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg). Baik UU 20/1947 maupun Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 RBg memberikan ketentuan mengenai upaya hukum banding untuk memberikan kesempatan kepada para pihak yang berperkara mengajukan upaya hukum apabila menganggap terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam putusan pengadilan tingkat pertama pada pengadilan tingkat banding (pengadilan ulangan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan Pemohon, sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 tidak mengatur tenggang waktu penyerahan dan pengajuan berkas memori banding dan kontra memori banding pada pengadilan tingkat banding sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum dan menciderai perlindungan yang dijamin oleh negara melalui ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa secara normatif ketentuan norma Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 yang menyatakan “Permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permintaan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri, yang menjatuhkan putusan, dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan”, hanya memberikan batas waktu kepada pemohon banding untuk mengajukan permohonan pemeriksaan ulangan (banding) dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya setelah putusan diucapkan/diberitahukan kepada para pihak. Tenggang waktu tersebut diberikan agar ada kepastian hukum bagi pemohon banding, baik itu penggugat maupun tergugat/turut tergugat. Demikian halnya ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU 20/1947 dihubungkan dengan Pasal 233 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, juga hanya mengatur berkenaan dengan batas waktu pengajuan permohonan pemeriksaan banding atau ulangan. Artinya, apabila putusan pengadilan tingkat pertama setelah diucapkan atau diberitahukan tidak ada permintaan untuk dilakukan pemeriksaan banding atau ulangan, maka putusan pengadilan tingkat pertama tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Bahwa berkenaan dengan proses pengajuan permohonan banding yang dipersoalkan oleh Pemohon harus dipersyaratkan adanya pembatasan waktu dalam mengajukan memori banding bagi pemohon banding dan kontra memori banding bagi termohon banding hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik perkara banding yang esensinya perkara yang masih dapat dinilai oleh pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan dari aspek fakta-fakta hukum maupun dalam tataran praktik termasuk penerapan hukumnya. Artinya pengadilan tinggi sebagai pengadilan ulangan mempunyai kewenangan untuk menilai fakta-fakta hukum maupun penerapan hukum tanpa tergantung dari materi keberatan atas putusan pengadilan tingkat pertama dari pemohon banding. Dengan demikian, karena pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan masih mempunyai kewenangan sebagaimana pengadilan tingkat pertama (sebagai judex factie), maka hal ini merupakan alasan filosofis dan ratio legis bahwa memori banding dan kontra memori banding tidak dijadikan syarat formil dalam pengajuan permohonan banding. Dengan kata lain, pengadilan tinggi sebagai pengadilan ulangan baik ada maupun tidak ada memori dan kontra memori banding memiliki kewenangan untuk menilai fakta-fakta hukum yang ada untuk memutus perkara banding yang diajukan. Lebih dari itu, kewenangan untuk menilai fakta-fakta hukum diberikan kepada pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan adalah bentuk pengejawantahan dari sistem peradilan di Indonesia yang menganut stelsel berjenjang, yang di dalamnya terkandung fungsi pengawasan, atas putusan pengadilan yang lebih tinggi terhadap putusan pengadilan di bawahnya.
[3.11.2] Bahwa dengan memperhatikan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, apabila dalam mengajukan permohonan banding diberlakukan syarat adanya pembatasan tenggang waktu penyerahan memori banding dan kontra memori banding sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, maka hal tersebut dapat berakibat hukum memori banding dan kontra memori banding berubah menjadi syarat formil yang harus dipenuhi oleh pemohon banding maupun termohon banding. Sebab, pembatasan waktu demikian tidak dapat dipisahkan dari implikasi yuridis terhadap perkara yang dimohonkan pengajuan banding dipandang belum memenuhi syarat formil dikarenakan tergantung ada atau tidak ada memori banding dan kontra memori banding. Lebih dari itu, pembatasan waktu mengajukan memori banding dan kontra memori banding tanpa adanya sanksi apabila melewati tenggang waktu yang ditentukan maka hal tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Di samping itu, menjadikan memori banding dan kontra memori banding seolah-olah menjadi syarat formil dalam mengajukan permohonan banding dapat menggeser kewenangan pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan menjadi kehilangan karakter sebagai pengadilan judex factie dan hal tersebut jelas bertentangan dengan aspek filosofis dan ratio legis sebagaimana dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.11.1] tersebut di atas.
[3.12] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan adanya ketidakjelasan rumusan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 yang secara nyata menunjukkan bahwa negara telah merampas serta mengabaikan hak asasi pemohon banding (pembanding) dan termohon banding (terbanding) dalam menyerahkan memori banding dan kontra memori banding sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa esensi dari Pasal a quo adalah penegasan jika pengajuan permohonan banding tidak wajib disertakan memori banding dan kontra memori banding, akan tetapi hakikat yang sesungguhnya adalah Pasal a quo mengatur tentang tenggang waktu untuk mengajukan permintaan banding atau pemeriksaan ulangan. Oleh karena itu, pasal tersebut dalam memberikan batas tenggang waktu dimaksud, Mahkamah berpendapat, telah memberikan kepastian hukum, termasuk di dalamnya memberikan pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta hak konstitusional warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Sementara itu, terhadap dalil Pemohon mengenai ketiadaan jangka waktu upaya hukum banding, dalam hal ini penyerahan kontra memori banding, menunjukkan kelemahan hukum acara perdata saat ini yang sudah tidak mampu lagi mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman sehingga bertentangan dengan asas peradilan cepat dan sederhana. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, upaya hukum banding tanpa adanya syarat formil yang harus disertai dengan memori banding dan kontra memori banding justru akan mempercepat penyelesaian proses pengajuan permohonan banding kepada pengadilan tinggi atau pengadilan ulangan. Sebab, pengajuan permohonan banding berkas perkaranya dapat segera dikirim oleh pengadilan tingkat pertama kepada pengadilan tingkat banding atau pengadilan ulangan tanpa tergantung syarat ada atau tidak adanya memori banding dan kontra memori banding. Dengan demikian, hal ini justru mengaktualisasikan terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman karena dimulainya pemeriksaan di tingkat banding tidak tergantung ada atau tidak adanya memori banding dan kontra memori banding. Dengan demikian, jika pemeriksaan banding telah berjalan, kemudian pengadilan tinggi menerima memori banding dan/atau kontra memori banding maka memori banding dan/atau kontra memori banding tersebut turut dipertimbangkan, sepanjang permohonan pemeriksaan banding belum diputus. Sedangkan, persoalan yang dialami oleh Pemohon dan menjadi bagian dari dalil Pemohon, yaitu adanya penyerahan kontra memori banding dari terbanding setelah 3 (tiga) bulan dari pembanding mengajukan permohonan banding maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, menurut Mahkamah, kontra memori banding tersebut menjadi kewenangan pengadilan tinggi di mana permohonan banding (pemeriksaan ulangan) diajukan untuk menilainya atau mempertimbangkannya. Namun demikian, apapun penilaian pengadilan tinggi terhadap penyerahan kontra memori banding setelah 3 (tiga) bulan dari pembanding mengajukan permohonan banding, sebagaimana yang dipersoalkan oleh Pemohon, hal tersebut adalah persoalan implementasi norma dan bukan berkaitan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat (1) UU 20/1947 telah ternyata memberikan kepastian hukum, pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta hak konstitusional warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430